Tangannya terasa dingin di sana. Atau mungkin Arion lah yang kepanasan, meskipun AC di salah satu kamar itu jelas sudah menyala.
Gerah. Gelisah. Ragu. Tapi Arion sendiri menginginkannya, sampai-sampai rasanya dia ingin membuang kewarasannya jauh-jauh. Tidak memedulikan semuanya, termasuk apa yang sekiranya akan terjadi besok dan seterusnya. Yang terpenting hanyalah saat ini, begitulah bisik salah satu sudut pikiran Arion.
"Arion." Panggilan itu terdengar lebih merdu daripada yang sudah-sudah. "Walau saya perempuan, kalau saya kurang ajar, kamu tetap bisa menendang atau memukul saya kalau saya sudah kelewatan."
Kinanti, di bawahnya, mengecup paha dalam Arion, kemudian ganti mengecup miliknya yang sudah sangat tegang sampai-sampai memerah. Arion buru-buru menyentak kepala Kinan agar menjauh dari miliknya.
"Jangan!" seru Arion. Sudah cukup dia merasa malu karena Kinan sudah melihat miliknya. Jangan sampai dia merasa malu lebih dari ini ketika wanita ini hendak… melakukan apa padanya?
Sebenarnya wanita ini hendak melakukan apa pada dirinya? Arion tidak tahu. Namun sepertinya Kinan sangat yakin (dan, anehnya, bersemangat) dengan apa yang akan dilakukannya.
Kinan tertawa kecil. "Kenapa?" tanyanya dengan kepala terkulai di paha Arion, sementara tangannya bergerak mengurut kembali milik Arion, membuatnya menahan napas, menahan entah apa pun di dalam dirinya. "Yah, saya sendiri bukan penggemar oral seks tanpa kondom, sih. Lagi pula itu juga tidak baik untukmu dan saya."
"Hah? Apa?"
Mata Arion sontak membulat melihat Kinan membuka bungkus dengan tonjolan lingkaran itu.
Sepolos-polosnya dia, Arion tahu itu bungkus apa. Dia sendiri pernah melayani transaksi penjualan kondom saat dia bekerja sebagai kasir minimarket dulu. Dengan sedikit malu dan kikuk, tentunya. Dia tidak menyangka jika suatu saat nanti, yakni hari ini, Arion akan melihat benda itu lagi. Terbuka pula bungkusnya.
"Jangan terbelalak begitu," tegur Kinan geli. "Saya kan sudah bilang, oral seks tanpa pengaman itu tidak higienis."
Kedengarannya seperti Kinan akan memakaikan kondom itu pada Arion. Tapi, sungguh, dia tidak menyangka jika wanita yang baru-baru ini dikenalnya akan memakaikan benda itu menggunakan mulut.
"Tu-tunggu!" cegah Arion. "Apa... kenapa?"
"Arion," desah Kinan tak sabaran. "Menurutmu kenapa kondom ada rasanya?" Salah satu misteri dalam hidup Arion terjawab sudah. "Yah, walau ujung-ujungnya pasti ada aroma karetnya, sih."
Dan dalam satu gerakan luwes, Kinan mulai memasang kondom itu pada milik Arion. Di mulai dari ujung, terus kebelakang. Hangat lidah dan mulut Kinan membuat jantung Arion bertalu-talu seperti mau copot dari tempatnya. Susah payah dia menahan napasnya.
Ketika Arion pikir semuanya sudah selesai, di bawahnya Kinan justru mempermainkannya dengan lidahnya. Sesekali wanita itu membawanya keluar dari mulut, berusaha menyesuaikan besar Arion dengan rongga mulutnya. Kemudian dibawanya masuk kembali dengan lebih dalam. Semakin lama semakin dalam saja.
Panas. Saking panasnya, Arion sampai tidak tahan lagi. Dia meremas-remas selimut lembut di kamar asing itu, sementara jemari kakinya bergerak-gerak gelisah di antara bulu-bulu karpet mahal.
"Kinan..." Arion membekap mulutnya sendiri saat menyebut namanya. Baru dia sadari napasnya memberat. Panas. "Jangan diteruskan..."
Tidak merasakan adanya tanggapan dari Kinan, Arion melirik ke bawah.
Pemandangan yang tersaji membuat Arion tersiksa dalam berbagai arti. Kinan menatapnya dengan mata indah itu dan milik Arion setengah perjalanan menuju mulut Kinan. Kondom yang membalut miliknya basah, jelas air liur Kinan yang juga membasahi sekitaran mulutnya.
Arion bisa merasakan dirinya berdenyut-denyut semakin menjadi. Siap untuk meledak, mengeluarkan sesuatu.
Terutama saat tiba-tiba saja Kinan mengisapnya keras.
Akhirnya Arion meloloskan desahan pertamanya. Dalam hidupnya barangkali.
Hilang sudah segala rasa malu yang ditahan-tahannya. Arion sudah tidak tahan lagi. Ditambah lagi dengan jemari Kinan yang merambati perut dan pinggangnya, mau tak mau Arion harus menyerah.
Arion menggertakkan giginya erat-erat saat melakukan pelepasan. Kulitnya menggelenyar, lega setelah diam dalam menit-menit menegangkan.
"Hmmm, not bad," gumam Kinan sambil mengusap ujung bibirnya.
Arion diam saja, masih berusaha menenangkan diri dan mencerna semua ini. Apa yang baru saja dilakukannya? Dia melakukan apa dengan siapa?
"Kamu kelihatan kebingungan." Kinan menjulurkan kedua tangannya ke atas, seakan hendak meminta pelukan pada Arion. Karena masih belum sadar sepenuhnya, Arion membungkukkan badannya, membiarkan Kinan merangkul lehernya. "Yang pertama bagimu?"
Akhirnya Arion pun sadar. Dia mengembuskan napas panjang-panjang. Ada banyak yang ada di pikirannya. Tapi yang keluar dari mulutnya justru, "Kamu tidak apa-apa?"
"Seharusnya saya yang bertanya begitu," kata Kinan. Tangannya mengusap-usap kepala Arion. "Kamu tidak apa-apa?"
Pertanyaan itu diajukan bersamaan dengan pijatan dari tangan Kinan pada milik Arion.
Arion kaget setengah mati dibuatnya. "Kinan," erangnya malu.
"Saya melepas kondommu, Arion." Kinan tidak sepenuhnya berbohong. Masalahnya... "Tapi, kelihatannya saya harus memakaikan yang lain lagi."
"Kamu bilang rasanya seperti karet, kan?" Arion meringis.
"Itu benar. Tapi yang biasa, yang normal, saya tidak tahu bagaimana rasanya." Kerutan di alis Arion membuat Kinan melanjutkan, "Yang ada rasanya tidak boleh digunakan untuk vaginal seks karena PH-nya tidak sesuai untuk kulit. Itu sebabnya kan, kondom dibuat bermacam-macam sesuai kebutuhan."
Rasanya Arion tahu ke mana arah pembicaraan ini berjalan. "Apa? Tu-tunggu—"
Namun Kinan sudah keburu membungkam mulutnya. Dan mungkin karena desakan dari bawah sana, Arion menerima ciuman itu begitu saja. Dia bahkan membalas ciuman Kinan, memeluknya, meremas rambut halusnya, merasakan desakan untuk tidak membiarkan wanita itu pergi.
Pertahanan Arion runtuh sudah. Dia membiarkan Kinan melakukan apa pun itu. Termasuk saat wanita itu menidurkan dan mendudukinya di kasur, melepas atasan mereka berdua, mencumbu leher dan dadanya, meremas-remas miliknya di bawah sana. Arion bahkan sudah tidak sungkan-sungkan lagi mendesah, atau lebih tepatnya menggeram.
"Arion..." Satu kecupan lain Kinan berikan pada pipinya. "Lakukan seperti apa yang saya lakukan padamu."
Meski dipenuhi dengan keraguan, Arion melakukannya. Mula-mula dia mengecup bibir Kinan sekilas, kemudian melihat reaksi wanita itu. Kinan tersenyum tipis, tampak menunggu. Arion pun memberanikan diri menyampirkan rambut panjang Kinan ke balik bahu, membiarkan buah dadanya terekspos.
Arion menelan ludah. Sekali lagi menatap Kinan, sebelum dia menurunkan ciumannya ke leher. Tangannya sendiri membelai sebelah wajah Kinan, terus turun ke pundak, ke tengah dadanya. Kulit Kinan terasa sangat lembut, padahal Arion pikir kulitnya sendiri sudah lembut. Kulit Kinan juga wangi, manis dengan sedikit bau buah-buahan. Arion jadi betah mengendusnya.
Meneladani Kinan tadi, Arion memberanikan diri mengusap buah dadanya. Di antara semua kulit Kinan, rasanya ini adalah bagian kulit yang paling lembut.
"Arion..."
Ringisan dari Kinan itu membuat Arion kaget. "Kamu tidak apa-apa?" tanyanya segera.
Kinan menggeleng. "Lanjutkan saja," ucapnya tertahan.
Maka Arion melanjutkannya.
Dan dia tahu ini akan lama.