webnovel

BUKAN DARAH DAGINGMU

Dara hanya menghela napas panjang dan menundukkan kepalanya. Selama ini dia tidak pernah bisa untuk membantah atau mengutarakan apa yang ia ingin katakan. Ibu selalu tau apa yang terbaik. Dan, seorang anak sebaiknya mengikuti apa yang dikatakan orang tuanya.

"Baiklah, setelah wisuda nanti, aku akan bekerja di perusahaan ayah."

"Begitu baru anak ayah. Kau kan tau,kalau kakakmu tidak mau bekerja di sana. Sudahlah, aku pergi dulu. Ingat janjimu tadi, Melinda."

Hans langsung bergegas pergi setelah memeluk si bungsu Arsea. Melinda hanya menatap punggung suaminya dengan tatapan yang sulit dimengerti.

"Ibu mau apa?" tanya Tania.

"Ayahmu meminta ibu membelikan kakak tirimu itu perhiasan."

"Enak sekali hidupnya, calon suaminya kan kaya raya bagaimana bisa ayah masih saja membelikan dia perhiasan. Serakah sekali hidupnya," komentar Tania dengan pedas.

"Yang penting, ayahmu itu melupakan kejadian kemarin. Ayolah, habiskan makanmu dan cepat berangkat sekolah, antarkan dulu Arsea."

Tania mengendikkan bahunya dan langsung menyambar tas sekolah dan kunci mobilnya. Sementara Dara langsung membantu membereskan piring, namun Melinda langsung memukul tangan Dara.

"Pantas saja kau ini tidak bisa pintar! Ini bukan pekerjaan untukmu! Buat apa pembantu di rumah ini digaji?! Biiik, cepat bersihkan meja!"

Dara hanya mengembuskan napasnya perlahan, ia pun memilih untuk kembali ke kamarnya sementara Melinda pergi entah kemana.

**

"Sesekali kau harus membawa Arsea. Bagaimana dia bisa dekat denganku jika kau jarang membawanya padaku."

"Aku takut jika nanti Hans curiga kalau Arsea sering aku ajak keluar."

"Kau kan ibunya. Bilang saja kalau kau membawanya arisan atau apapun."

"Iya, nanti aku akan membawanya. Lagi pula dia sekarang kan sekolah. Mana bisa terlalu sering aku ajak pergi."

"Aku tidak mau tau jika kau tidak membawa Arsea bertemu denganku secara rutin aku akan membongkar pada Hans bahwa Arsea adalah anakku."

Melinda menatap lelaki yang saat ini sedang memeluknya. Lelaki itu bernama Andi salah seorang rekan bisnis Hans. Sudah hampir 7 tahun ini mereka bermain di belakang Hans. Bahkan Arsea sebenarnya bukanlah anak dari Hans. Tetapi anak kandung Andi. Bahkan jika diperhatikan wajah Arsea memilki banyak persamaan dengan Andi.

"Kau kan tau kalau aku belum bisa meninggalkan Hans. Aku belum mengeruk semua hartanya. Dia membuat dua rekening yang satu khusus untuk uang perusahaan dan yang satu baru keuntungan perusahaan yang biasa aku pegang."

"Kalau begitu kau harus bergerak cepat untuk mengeruk semua harta milik Hans."

"Iya, tidak bisa terburu-buru. Aku akan secepatnya untuk membuat Hans bangkrut dan kita akan hidup di kota lain seperti rencana kita kan?"

"Iya, aku janji kita akan hidup bertiga dengan anak kita Arsea. Tapi, bagaimana dengan ketiga anakmu yang lain? Apa kau tidak akan merasa berat meninggalkan mereka?"

"Mereka sudah dewasa, tidak perlu dipikirkan." Andi tersenyum dengan seringai licik mendengar jawaban Melinda.

Setelah bertemu dengan Andi, Melinda bergegas menuju ke toko berlian langganannya. Ia memilih satu set perhiasan yang diminta oleh Hans. Harganya cukup lumayan sehingga membuat Melinda mengerucutkan bibirnya.

**

Hans tersenyum saat melihat Melinda memperlihatkan berlian yang baru saja dia beli.

"Kau membelinya kapan?"

"Siang tadi, aku tadi sempat pergi arisan. Pulang arisan, aku langsung membeliknya. Apa cocok?"

"Iya,kau simpan di kamar. Dan nanti ketika pernikahan kita bawa ke sana."

"Iya, sayang. Ya sudah, kau mandi dulu Mas. Aku sudah menyiapkan air hangat. Kau mau aku masakkan apa untuk makan malam?"

"Apa saja, terserah. Di mana anak-anak?"

"Arsea sedang belajar bersama Dara. Tania dan Mahendra belum pulang."

Hans menghela napas. "Aku ingat Tania mengatakan bahwa Gadis sering pulang malam. Tapi, aku perhatikan sekarang Tania hampir setiap hari pulang malam. Ke mana, dia?"

"Dia kan sudah kelas tiga, Mas. Sebentar lagi ujian, banyak tugas yang harus ia kerjakan bersama teman-temannya. Jadi, maklumi sajalah jika dia pulang sedikit lebih malam."

"Iya, aku mengerti hal itu, tiga hari lalu dia sampai tidak pulang. Dan kau tidak menegurnya sama sekali?"

Melinda menelan saliva, namun cepat ia tersenyum sambil mengusap bahu Hans.

"Dia sudah pamit kepadaku kok, saat dia menginap di rumah kawannya."

"Jangan terlalu kau manjakan. Ingat dia itu adalah anak perempuan."

"Iya, Mas. Kau tidak usah cemas. Anak-anak kita adalah anak-anak yang pintar menjaga kehormatan keluarga."

"Pegang kata-katamu."

"Iya, Mas. Ayo mandilah, bisa dingin airnya nanti. Aku masak dulu, nanti kita bisa makan malam bersama."

Setelah mandi dan berganti pakaian, Hans langsung menuju ke ruang keluarga. Dilihatnya Dara dan Arsea sedang membuat kerajinan. Mungkin itu adalah tugas sekolahnya. Sementara Mahendra duduk sambil menonton televisi dan menikmati secangkir teh hangat.

"Bagaimana sekolahmu hari ini, jagoan?" sapa Hans pada Arsea. Bocah itu tersenyum dan langsung memeluk Hans.

"Hari ini aku belajar untuk membuat keterampilan dan juga mewarnai. Lihatlah ini, ayah pasti suka," ujarnya sambil memperlihatkan hasil karyanya. Hans tampak senang saat melihat hasil pekerjaan Arsea. Bocah itu menggambar 6 orang. Ada 3 orang yang duduk di kursi dan 3 orang yang sedang berdiri.

"Siapa saja ini?" tanya Hans.

Yang duduk di tengah itu Ayah, yang duduk di pangkuan Ayah itu aku di samping kita itu Ibu. Dan yang tiga orang sedang berdiri di belakang kita itu Mas Hendra, kak Dara dan kak Tania.

"Kenapa tidak ada kak Gadis dan Ibu Kirana?" tanya Hans.

"Aku tidak suka pada mereka. Setiap kali mereka datang ke rumah kita pasti Ayah akan berteriak. Dan selalu ada keributan."

"Kau tidak boleh berkata seperti itu, Sea!" kata Mahendra.

"Aku kan hanya bicara apa adanya, Mas."

"Sudah- sudah tidak usah ribut. Sepertinya Ibumu sudah selesai memasak. Ayo kita makan," kata Hans menengahi.

Betul saja, saat mereka ke ruang makan, Melinda sedang menata meja. Malam ini ia sengaja memasak berbagai makanan yang enak yang merupakan favorit Hans juga Arsea. Mereka pun makan bersama, meski suasana terasa begitu sepi. Mahendra biasanya akan banyak bicara pada Melinda. Namun, malam ini pemuda itu makan dalam kebisuan.

"Ibu sudah membelikan satu set perhiasan untuk Gadis, Hen," kata Melinda mencoba membuka percakapan. Mahendra melirik kemudian mengangguk.

"Baguslah Ibu, memang sudah seharusnya Ibu membelikan hadiah untuk Gadis setelah Ibu mencuri uang miliknya dan Ibu Karina," jawab Mahendra sinis dan langsung menyudahi makannya kemudian segera beranjak menuju ke kamarnya. Melinda dan Hans saling pandang, "Dia akan kembali membaik, mungkin dia butuh waktu. Kau harus minta maaf secara pribadi kepadanya," kata Hans.

ตอนถัดไป