webnovel

How Does It Feel 6

"Ya ... gua gak nyangka juga ternyata lu yang namanya Raynald Devil. Gua kira lu keluar malem karena bener-bener main, nyatanya membunuh." Kami pun saling tertawa sekeras mungkin. Merasa lucu dengan semua kejadian aneh ini.

"Oh ya, Yo. Gimana kalo kita kerja sama? Gua yakin polisi bakalan kesulitan cari kita dan kewalahan buat nanganin kita. Dengan begitu, lama kelamaan mereka bakalan nyerah juga," usul Ray. Aku menghela nafas. Aku sudah tahu bagaimana sifat Ray. Dia pasti ingin melakukan suatu hal yang lebih menantang dan gila. Aku akui aku sangat menginginkan itu, tapi di sisi lain hatiku berkata tidak. Seperti sebuah petaka yang akan datang jika aku menyetujui usulan Ray itu. Walaupun dulu aku juga sempat menginginkan kerja sama ini, tapi aku rasa aku harus memikirkan kembali risiko yang akan kami dapatkan.

"Sorry, Ray. Sebenarnya gua juga pengen bareng-bareng membunuh, gua pengen kita kerja sama biar orang yang kita benci dan polisi semakin takut sama kita. Sayangnya hati gua bilang enggak Ray, gua gak bisa gabung sama lu. Kita gak bisa bareng-bareng membunuh," tolakku. Ray menatapku kecewa.

"Emangnya kenapa, Yo?" tanyanya pelan.

"Gua gak mau jika suatu saat nanti kita ketangkap dan dipenjara bersama. Lalu kita gak bisa keluar dan menyelamatkan diri. Kalau masing-masing, kita bisa saling selamatin satu sama lain. Misalnya gua ketangkep dan lu enggak, nah lu yang ada di luar penjara kan bisa buat selamatin dan ngeluarin gua dari sana begitupun sebaliknya. Iya kan? Semoga lu bisa ngerti Ray," jawabku. Ray mengangguk.

"Gua ngerti kok, Yo. Jadi itu sebabnya lu gak mau kerja sama? Tapi ada benernya juga sih," balasnya.

"Iya," kataku. Ku lihat Ray kembali melahap daging panggang manusia itu. Aku pun menghela nafas dan menatap jam, ternyata sudah jam 01.30 A.M. Aku dan Ray belum pulang ke rumah, belum tidur pula. Aku pun mengajak Ray untuk pulang. Sebelum pulang, Ray membereskan tempat makanannya itu. Setelah selesai, kami pun segera pulang dan tidur.

***

Pagi ini aku sedang berbicara dengan orang tuaku. Mereka bercerita kalau ada teman bunda yang memiliki café baru. Di café itu, si pemilik sedang mengadakan promosi dan diskon. Mereka juga membutuhkan seorang karyawan muda. Bunda menyuruhku untuk bekerja di sana. Entah apa yang bunda pikirkan, kenapa anak seusiaku harus bekerja? Saat ku tanya alasannya, dia hanya berkata kalau aku harus hidup mandiri. Ayah juga menyetujui usulan bunda. Sejujurnya aku tak mau bekerja seperti orang dewasa. Tugasku sebagai anak 13 tahun adalah belajar dan melakukan hal lain sesukaku, bukannya malah sibuk bekerja di tempat orang lain. Bunda juga bilang aku akan digaji dan uang hasil kerja kerasku bisa ku gunakan untuk membeli apapun yang aku inginkan. Apa-apaan ini? Seharusnya aku tak melakukan hal tersebut. Bukankah ayah dan bunda akan memberiku uang? Bukankah mereka akan membelikan apapun yang aku mau? Naïf sekali. Aku bersikeras untuk menolak tawaran bunda.

"Ayolah, Rio! Gak ada salahnya kamu bekerja. Bahkan di luaran sana aja, anak umur 10 tahun udah bisa cari uang sendiri, masa kamu gak mau. Jangan kalah dong sama anak umur 10 tahun!" ujar bunda mencoba meyakinkan aku sekaligus mengejek.

"Iya, Rio. Lagian kamu udah Ayah ajarin nyetir di usia muda loh. Sekarang kamu dong menuruti apa yang diperintahkan orang tua kamu. Kalau kamu gak betah, kamu bisa keluar dari sana. Lagian kerja di sana gak terlalu berat dan santai, Yo. Mereka juga pasti bakalan kasih kamu kerjaan yang mudah. Apa sih yang sebenernya ngebuat kamu gak mau?" Ayah malah mengatakan hal itu daripada membela atau membantuku keluar dari percakapan ini. Aku pun menghela nafas.

"Kebebasan aku bakalan berkurang, Bun, Yah. Aku gak mau sesibuk itu dan ak–"

"Bunda gak mau anak-anak Bunda jadi manja. Bunda pengen kamu dan Ray mandiri dari sekarang. Kalau kamu mau, nanti Bunda yang bicara sama atasannya. Tenang aja! Kamu gak akan dikasih pekerjaan yang susah, bahkan bisa dibilang santai. Bunda juga bakalan minta kamu kerja dari jam pulang sekolah sampai sore. Jadi ada sisa buat kamu bebas dari sore sampai malam. Segini Bunda masih memberi kamu keringanan ya? Jadi, jangan merengek!" omel bunda lalu pergi begitu saja. Aku memasang wajah memelas kepada ayah, berharap dia bisa membantuku.

"Gini aja deh, kalau kamu bersedia kerja di sana dan kinerjanya bagus, gak malas-malasan apalagi kalau menjaga nama baik Ayah dan Bunda, Ayah pastiin kamu bakalan dapat uang jajan tambahan ditambah apapun yang kamu mau Ayah turuti. Asalkan kamu juga mau menuruti permintaan Ayah dan Bunda." Aku membelalakkan mataku. Sial! Ayah malah menawarkan hal berat kepadaku. Kedua orang tuaku itu sulit sekali untuk ditaklukkan. Apapun yang aku inginkan tak akan mudah mereka kabulkan. Kalau akau bekerja berarti ini kesempatan emasku, kan? Aku ingin membeli beberapa barang yang sudah ku targetkan sejak dulu. Baiklah! Sepertinya tak ada salahnya aku mencoba untuk menghasilkan uang dengan tenagaku sendiri. Aku akan mencobanya!

Aku pun menyutujui apa yang diucapkan ayah. Dia juga berjanji akan menepati apa yang dia katakan barusan. Dengan begini, aku pasti akan mendapatkan barang-barang yang ku inginkan. Tentu saja barang-barang tak penting.

Setelah menyetujui aku akan bekerja di sana, bunda mengajakku untuk bertemu dengan seorang bos, pemilik café tersebut. Sesampainya di bangunan itu, aku cukup terkagum-kagum dengan interior ruangannya yang lumayan estetik dan rapi. Dinding-dinding café yang terbuat dari kayu pohon jati berwarna kecoklatan dengan beberapa pot bunga tergantung di dinding tersebut. Membuat ruangan tampak asli dengan beberapa tanaman hias dan dipenuhi barang-barang yang terbuat dari kayu. Ada sebuah pohon besar yang menjadi hiasan bangunan ini. Letak pohon itu tepat di tengah-tengah café. Sayangnya pohon tersebut tampak seperti pohon buatan, terbukti dari bagian tengah batang pohon yang diubah menjadi tangga untuk akses menuju ke lantai dua. Di dekatnya ada beberapa meja dan kursi yang tertata rapi. Di pojokan tak jauh dari sana, ada perpustakaan mini yang diisi oleh buku-buku. Mungkin buku-buku tersebut disimpan di sana agar dapat dibaca oleh pengunjung saat mereka menunggu pesanan agar tak bosan. Di dekat pintu masuk, ada meja kasir dan dua pintu. Aku dan bunda masuk ke salah satu pintu itu untuk menemui si pemilik café. Mungkin pintu satunya lagi adalah ruangan karyawan.

Sesampainya di depan si pemilik café, bunda meminta agar aku tak bekerja terlalu berat. Dia tak ingin aku kecapean apalagi kalau aku mengeluhkan pekerjaan ini. Pemilik café menyetujuinya dan berharap aku akan betah. Dia juga tak mempermasalahkan umurku, asalkan aku bisa bekerja dengan baik, dia pasti akan memberiku gaji. Pekerjaanku hanya menjadi seorang waiter. Aku akan mendapatkan pelatihan terlebih dahulu agar tak melakukan kesalahan kalau ada pelanggan yang memanggilku. Jujur saja, pekerjaan ini mudah tapi merepotkan. Walaupun begitu aku harus menerimanya agar bundaku senang.

Aku bisa bekerja mulai Minggu depan, untuk sekarang aku hanya akan ditugaskan sebagai penyebar pamflet karena café ini masih mengadakan promosi agar tamu yang datang semakin banyak sekaligus mengikuti pelatihan. Tak lama, pembicaraan kami dengan si pemilik café berakhir. Bunda pun mengantarkan aku ke rumah sedangkan dia pergi bekerja.

Bersambung …

ตอนถัดไป