Dorr ... Dorr ... Dorr ...
Ribuan peluru terus melesat dari masing-masing senjata api otomatis. Semua orang berusaha mati-matian untuk melindungi bagian utara markas yang baru saja diterobos oleh seseorang.
Namun tak peduli sekeras apapun mereka berusaha, peluru dari senjata api yang mereka tembakkan seakan tak pernah mengenai sang penerobos itu.
Gerakannya terlalu cepat. Seluruh peluru itu dihindari. Sudah pasti dia bukanlah manusia biasa.
Duakkk!~ ...
Kevan melayangkan pukulan kanan yang keras pada seseorang, merebut senjata api dari tangan orang itu dan kembali berlari untuk menghindari peluru. Sembari berlari, dia menembakkan peluru itu kepada orang-orang yang ingin menghentikannya.
Yap, orang itu adalah Kevan Hanindra.
Semenjak mendapatkan kekuatan dari batu kristal yang berasal dari kepala zombie-zombie yang telah ia bantai, Kevan sudah mengetahui sedikit tentang perubahan tubuhnya. Tak hanya kekuatan dan kecepatan, namun ia juga merasakan peningkatan pada seluruh inderanya.
Ctang~ ... Ctang~ ...
Peluru yang tak terhitung banyaknya itu masih berhasil ia hindari. Tak ada satupun yang mengenainya. Dengan peningkatan seluruh indera di dalam tubuhnya, Kevan merasa bisa membaca arah lesatan peluru dari posisi ujung moncong senjata api yang ditembakkan oleh lawan-lawannya.
"Matilah kau!" teriak salah seorang yang sedari tadi berusaha untuk menghentikan Kevan. Namun, orang itu mati seketika saat sebuah peluru tertanam di kepalanya secara tiba-tiba.
Itu adalah peluru yang ditembakkan dari senjata api yang saat ini dipegang oleh Kevan. Meski sedari tadi Kevan berusaha untuk menghindari semua peluru-peluru yang dilesatkan kepadanya, ia juga terus mencoba menumbangkan musuh-musuhnya di saat yang bersamaan.
"Apa yang kalian lakukan? Dia hanya sendirian! Bunuh dia!" teriak seseorang lagi.
Dari awalnya terdapat puluhan anggota organisasi dibawah kepemimpinan Benedict Rivano yang berusaha menghentikannya, kini hanya tersisa tujuh orang. Sedangkan yang lainnya, mereka semua telah terkapar tak bernyawa.
Duakkk!~ ... "Aaakkkh ... "
Kevan berhasil menumbangkan satu orang dengan menghantamkan senjata api yang ia pegang ke kepala orang itu. Membuat musuhnya tersisa enam orang.
Bukkk~ ...
Kevan menunduk untuk menghindari peluru, berlari ke arah orang selanjutnya dan menumbangkannya hanya dengan satu pukulan keras di perutnya. Kini musuhnya tersisa lima orang.
Dorrr ... Dorrr ... Dorrr ...
Dengan menggunakan tubuh orang terakhir yang ia kalahkan sebagai tameng, Kevan berhasil menghalau hujan peluru yang mengarah kepadanya. Ia melempar tameng manusianya itu sekuat tenaga, membuat seseorang jatuh tertimpa. Kembali melesat dengan cepat, Kevan berlari dan menendang wajah orang yang jatuh itu. Kepalanya hancur seketika.
Musuhnya tersisa empat orang.
Duakkk!~ ...
Tiga orang.
Bukkk!~ ...
Dua orang.
Dengan sisa dua orang terakhir, Kevan menatap mereka dengan tatapan mata yang sangat tajam.
Tk ... Tk ... Tk ... "Sial, aku kehabisan peluru!"
"Aku juga!"
Kedua orang itu saling beradu pandang. Setelah menganggukkan kepala mereka seakan telah menyetujui sesuatu, kedua orang itu menarik keluar belati dari sarung senjata yang terpasang di pinggang mereka. Atau lebih tepatnya, sebuah pisau golok yang sepertinya didesain khusus oleh siapapun yang membuatnya.
Golok itu bernama Kukri. Kukri adalah pisau tradisional Nepal yang memiliki mata pisau unik berbentuk melengkung. Pisau ini biasanya digunakan sebagai alat pemotong maupun sebagai senjata di Nepal dan di beberapa negara sekitarnya. Pisau ini menjadi ciri khas dari Angkatan Darat Nepal dan Resimen Gurkha di seluruh dunia.
"Mati kau!"
Kedua orang itu menerjang ke arah Kevan secara bersamaan. Tentu saja mudah bagi Kevan untuk menghindari ayunan golok dari kedua orang itu.
Kevan menghindar ke samping saat sebuah golok diayunkan ke arahnya secara vertikal. Melompat satu langkah ke belakang untuk menghindari golok kedua yang menyerangnya secara horizontal.
Ia terus menghindari semua serangan yang dilayangkan oleh kedua orang itu.
Dan saat Kevan melihat celah, ia mengepalkan tinju kirinya, maju selangkah, dan dalam gerakan yang sangat cepat, tinjunya telah mematahkan leher satu dari dua musuhnya.
Krakkkk~ ...
Bunyi tulang leher yang patah terdengar jelas. Orang itu tumbang seketika. Orang terakhir berusaha menyerang Kevan. Yang Kevan lakukan adalah membungkuk untuk menghindari ayunan golok secara horizontal, mendaratkan pukulan kanan keras di perutnya yang membuat orang itu terbatuk memuntahkan darah segar dari mulutnya.
Dengan cepat Kevan melayangkan kombinasi dua kali pukulan keras ke arah dadanya, kiri, kanan, satu pukulan ke arah dagu, dan mengakhirinya dengan tendangan memutar yang mendarat tepat di ulu hati orang tersebut.
Duakkk!~ ...
Orang itu terpental beberapa meter ke belakang, dan berakhir terbaring tak bernyawa.
Kini tersisa Kevan sendirian di sana. Dengan tubuh penuh bercak darah dari semua musuh yang telah ia bantai, Kevan berdiri dengan tatapan mata yang masih setajam di awal.
Pokk ... Pokk ... Pokk ... Sebuah suara tepukan tangan terdengar. Kevan menoleh ke arah sumber suara. Dan di sanalah ia bertemu dengan seorang lelaki yang sudah lama ia kenal.
"Kau tak pernah berubah. Dari dulu, kau memang yang terhebat."
Di belakang lelaki itu, empat gadis yang berusaha Kevan selamatkan dari awal berdiri.
"Kak Kev—"
Duakkk!~ ...
Belum sempat Rea berteriak, Kevan dan Benedict sudah saling mendaratkan pukulan di tubuh satu sama lain. Hal itu terjadi terlalu cepat, bahkan keempat gadis itu hampir tak menyadarinya.
Tinju kanan Kevan berada di perut Benedict, sedangkan tinju kanan Benedict berada di pipi kiri Kevan.
"Beginikah caramu menyapa teman lama?" tanya Benedict dengan kepalan tangan kanan Kevan masih berada di perutnya.
"Aku akan membunuhmu." balas Kevan, dengan kepalan tangan kanan Benedict masih berada di pipi kirinya.
"Hm ... Menarik. Aku ingin lihat bagaimana kau akan melakukannya." ucap Benedict, berusaha memprovokasi Kevan.
"Lihat saja sendiri." balas Kevan. Dan selanjutnya, mereka sudah bertarung dengan tangan kosong.
Pukulan di balas pukulan. Tendangan dibalas dengan tendangan. Kombinasi serangan dilancarkan oleh mereka berdua. Pertarungan itu terlalu brutal untuk dilihat oleh siapapun.
Rea menoleh ke arah ketiga gadis lainnya, "Apakah tidak ada cara untuk menghentikan mereka?"
Semuanya menggelengkan kepala menanggapi pertanyaan Rea. Rea pun menatap Kayla dengan ekspresi penuh kekhawatiran. Ia khawatir kakak yang sangat ia sayangi itu terluka, "Kak Kayla, bisakah kau membujuk kakakku untuk menghentikan hal ini?"
"Kenapa kau bertanya kepadaku?"
"Tentu saja," jawab Rea dengan nada penuh keyakinan, "Kakakku memerhatikanmu dengan cara yang berbeda. Kita semua tahu hal itu dengan jelas. Jadi kupikir, kau lah yang bisa menghentikannya."
Duakkk!~ ... Bukkk!~ ...
Kevan dan Benedict termundur beberapa langkah setelah menerima serangan maisng-masing. Di salah satu sudut bibir mereka sudah ada setetes darah yang mengalir keluar.
"Tenang saja," sahut Nadine memotong pembicaraan Rea dan Kayla. "Apa kau tak bisa melihatnya dengan jelas? Mereka tak sedang benar-benar bertarung."
Mendengar perkataan Nadine membuat Kayla, Yurisa dan Rea mengarahkan pandangan mereka ke arah Kevan dan Benedict yang masih saling serang itu.
Awalnya, mereka bertiga tak mengerti apa yang dimaksud oleh Nadine. Namun, setelah memerhatikannya dengan teliti, mereka akhirnya mengerti.
Meskipun Kevan dan Benedict saling serang secara brutal, namun sebuah senyuman secara perlahan mengembang di bibir mereka berdua.
Seakan, pertarungan yang kelewat brutal itu hanya hal biasa yang dilakukan oleh dua orang sahabat yang sudah lama tak bertemu.
Melihat hal itu, Rea pun melupakan kekhawatirannya.
Bukkk!~ ...
Ya, Kevan dan Benedict, mereka berdua tersenyum lepas di tengah pertarungan sengit mereka.