webnovel

Chapter 24 - Hilang Arah & Tak Punya Tujuan

Ken menatapku dengan pandangan yang membuatku bingung. Ia melirik ke kanan dan kiri hingga napsuku mendadak menurun drastis. "Lupakan yang kukatakan barusan," kataku akhirnya.

"Mayleen, apa kau sangat membutuhkan seks? Kau berpikir aku mau bercinta dengan orang yang baru saja kukenal?"

"Siapa yang tahu. Tapi yah, seperti yang kubilang, lupakan."

Sial! Kini aku merasa malu karena mungkin aku terlalu agresif meminta diawal. Kupikir dengan gaya bicaranya seperti itu, ia mau bercinta denganku. Tapi ternyata, ia menolakku. Secara tidak langsung.

"Aku mendatangimu karena kau kelihatan butuh teman. Teman yang kumaksud bukan berarti teman ranjang, Mayleen," katanya dengan pikiran bijaknya.

Aku tidak membalas ucapannya. Aku malu, tapi pada diriku sendiri. Sepertinya aku terlalu murahan untuk menjadi agresif di depan pria.

Tiba-tiba Ken memberikan kartu namanya padaku. Di sana tertera bahwa ia adalah seorang CEO. Kennedy Lincoln. Ada nomor ponselnya juga dan alamat perusahaannya. Tapi aku tak segera meraihnya karena masih kesal dengan diriku sendiri dan penolakan darinya.

"Aku tak bisa berlama-lana. Hubungi aku bila kau perlu," katanya mulai keluar dari kursinya.

"Oh, maksudku bukan saat kau perlu, tapi kembalikan jasku jika kau sudah siap menemuiku lagi. Sampai bertemu."

Ken meninggalkanku dengan jasnya yang masih melekat pada tubuhku. Ia sengaja menjadikan jasnya sebagai alasan agar aku bertemu dengannya, bahkan setelah menolakku.

Kuhela napasku dan mulai keluar dari kafe mal. Aku memakai jas Ken dengan benar dan menutupi tubuhku. Hasrat ingin melakukan one night stand sudah hilang. Digantikan oleh aku yang merasa lelah dan mengantuk. Sebaiknya aku pulang saja ke rumah.

Keheningan mulai terjadi lagi saat aku sudah di kamarku. Aku merasa jengah dengan kehampaanku. Salahku sendiri ketika masih banyak kawan, aku tak berniat memiliki teman. Sekarang, aku butuh teman bicara. Setidaknya mengisinya dengan keramaian. Mayleen yang malang.

Kutatap kartu nama yang Ken tinggalkan padaku. Menatapnya dan membolak-balikkannya. Aku sudah mencuci jasnya dengan segera dan melipatnya serta menaruhnya di lemariku. Tapi kapan aku akan bertemu dengannya?

Kejadian akhir-akhir ini membuatku terlihat suram. Piknik bersama sangat tidak membantuku. Melihat kartu nama Ken, membuatku berpikir, apakah aku harus melamar pekerjaan di perusahaannya? Mungkin aku harus melakukannya sebelum bertemu dengannya. Jadi aku mencoba membuat lamaran dan mengirimnya ke emailnya sendiri.

***

Seperti biasa aku bangun pagi. Mandi lalu sarapan dan berangkat kerja. Hidup yang monoton. Kadang, hal-hal seperti ini membuatku kehilangan arah. Apa yang harus kulakukan ke depannya? Aku ingin memiliki pacar, tapi aku tidak tahu harus memulainya dari mana.

Ketika kemarin bertemu Ken, bahkan aku sudah berlagak menjadi jalang hingga ia menolakku. Dan ternyata, sebuah penolakan itu menyakitkan.

"Mayleen," suara seorang yang sudah lama tak kudengar membuatku menoleh.

"Demico?" sapaku tak percaya. Ia ternyata sudah menepikan mobilnya dan malah mengejarku dengan kakinya.

"Kau keberatan jika aku mengantarmu bekerja?" tanyanya.

"Tidak."

"Kalau begitu, naiklah ke mobilku." Dan aku memang naik ke mobilnya.

Berada di dalam mobil Demico masih tetap sama saat aku masih bersamanya. Parfum mobil dengan desain bagian dalam mobilnya tak berubah. Aku bahkan tak mencium bau-bau wanita di dalam sini.

"Kenapa kau berjalan kaki?" tanyanya.

"Sekalian olahraga."

"Hmm well, aku ada sesuatu untukmu," katanya lalu mengambil sesuatu di dashboard, di hadapanku.

Sebuah kertas cukup tebal dengan ukiran-ukiran ia berikan padaku. Aku melihat namanya dan Andrea tertera di sana. Tulisannya terasa timbul-timbul dan elegan.

Sudah jelas sekali isi kertas itu. Maksudku, ini adalah kartu undangan. Undangan pernikahan Demico dan wanita bernama Andrea yang tak kukenal.

***

Masih pagi saja kepalaku sudah pusing. Mungkin aku terlalu memikirkan hal-hal yang seharusnya tak kupikirkan. Mantan kekasihku akan menikah dengan wanita yang dijodohkan oleh keluarganya. Tapi Demico tidak terlihat seolah tidak senang. Ia bahkan terlihat bahagia. Sementara aku? Belum satu pun pria memiliki komitmen padaku. Rasanya aneh ketika tahu mantan kekasihku akan menikah mendahuluiku.

"Kau sialan! Kau meniduri wanitaku, hah!"

Suara teriakan dan makian membuatku tersentak saat aku di dalam divisiku. Membuat semua rekan kerjaku lantas keluar dan tak lupa aku pun juga demikian.

"Brengsek! Bos macam apa kau?!" Itu suara Aaron! Astaga!

Aku melihat Aaron sudah berada di atas Steven. Memukul wajahnya berkali-kali dan Steven membalasnya juga. Keduanya sama-sama sudah berdarah di bagian pelipis dan ujung bibir serta hidung mereka. Aku membelalak kaget dan kutatap Grace yang hanya diam tanpa melerai.

"Pisahkan mereka, Grace! Apa yang kau lakulan dengan berdiam seperti itu, hah?!" seruku padanya.

Grace tampak gemetar, tapi aku tidak peduli padanya. Malah, aku yang memisahkan dua laki-laki ini. "Stop! Berhenti kalian berdua!" teriakku. Sialan! Bahkan aku tak melihat petugas keamanan di pos mereka.

Aaron bernapas dengan menderu. Steven pun juga demikian. Mereka sama-sama menahan rasa perih pada wajah mereka. Aku sudah bisa menebak arah permasalahan mereka.

"Well, Mayleen ... kurasa kau sudah tahu bukan, bahwa mantan kekasihmu ini tidur dengan kekasihku? Maka dari itu kau memutuskannya?" tanya Aaron. Ia bahkan tidak malu pada semua rekan kerjaku yang menonton. Tidak ada yang tahu bahwa aku sudah putus dengan Steven. Bahkan sebenarnya yang memutuskanku adalah Steven.

"Jangan bawa-bawa Mayleen," tiba-tiba Steven berbicara.

"Grace! Apa kurangku? Kau ... " Aaron menahan ucapannya yang terdengar seperti sesak untuknya. Dan aku bisa merasakan hal itu. Grace hanya menangis dan diam di tempatnya. Bagaimana bisa ia sebodoh ini?

"Ini urusan kita, Aaron. Jangan libat-"

"Bughhh!" satu pukulan kembali menghantam wajah Steven, membuatnya tersungkur dan aku kembali menjauhkan Aaron.

"Aaron, cukup! Kau akan menyakiti seseorang dan kau juga!" bisikku agar ia segera berhenti.

Ia menatapku dengan tatapan perih. Matanya berkaca-kaca dan merah. Pasti sangat sulit baginya menerima kenyataan yang ia baru ketahui saat ini. Aku menggelengkan kepalanya untum berhenti.

"Dia ... " Aaron menujuk Grace dan juga Steven. "Sialan kau, Grace! Aku pikir selama ini kita adalah sesuatu yang spesial!" sentaknya.

Aku menatap semua rekan kerjaku agar mereka segera bubar dan beberapanya pun akhirnya mengikuti perintahku. Hal seperti ini tidak seharusnya menjadi pertunjukkan bagi siapapun.

"Mayleen, kau tersakiti juga, kan? Apa ... apa kau melihat secara langsung?" tanyanya. Mataku tak bisa berbohong. Bahkan air mataku sudah menumpuk dan menunggu satu kedipan untuk terjatuh.

Kuanggukkan kepalaku karena apa yang Steven dan Grace lakukan saat itu, masih membekas di memoriku. Sebab hal-hal kesakitan memang akan selalu melekat, bagaimana pun kau mencoba untuk menutupinya.

Kutatap wajah Steven hingga ia sadar akan sesuatu. Bahwa aku saat itu sudah memiliki hati untuknya.

Next chapter