webnovel

Insiden Di Kebun Jagung

"Lo denger 'kan kata Aarav tadi? Acio sama Genta liat gimana Kak Gendra kecelakaan karena vidcall."

"Gue tau, Mashiho..."

"Kenapa mereka gak bilang? Itu bisa jadi bukti kuat supaya kasusnya Kak Gendra gak ditutup. Berita pembunuhan itu bener, Kak Gendra gak meninggal karena kecelakaan."

"Lo gak inget apa kata Evan? Kasusnya ditutup karena ada yang bayar. Kalau lo mau kasusnya dibuka, ya lo harus bayar juga tapi lebih besar biayanya."

Mashiho tak habis pikir. Dua temannya tahu menahu tentang hari itu, tapi tutup mulut dan bersikap seperti tidak terjadi apapun, terutama Genta. Apa yang dipikirkan oleh mereka? Apa mereka tidak memikirkan orang tua Gendra yang masih tak terima anaknya sudah tiada?

"Gue bakal bayar biar kasusnya dibuka," ucap Mashiho menggebu-gebu, seratus persen yakin dengan ucapannya.

Aksa tercengang. "Punya duit lo?"

"Ya punya lah! Kalau gak punya duit mana mungkin gue jadi tetangga lo."

"Gue bakal bantu deh, nanti malem gue gesek kartu di bank."

"Ya udah, gue balik dulu ya."

Mashiho meregangkan otot tangannya, pegal juga duduk lama di kursi. Omong-omong, dia di rumah Aksa setelah berkumpul tadi siang, dan sekarang sudah sore.

"Michio, Nares belum kasih kabar apapun tentang Acio sama Genta?" Tanya Aksa tiba-tiba, menahan Mashiho pulang.

"Belum, mungkin nanti malem. Interogasi temen dan adik sendiri itu gak gampang, Kak. Apalagi, dua-duanya psikopat," jawab Mashiho.

"Hah? Psikopat?! Lo tau darimana?!"

Sial, Mashiho keceplosan. Dia 'kan sudah berjanji pada Asahi untuk merahasiakannya. Aish, kalau sudah begini bisa dibunuh dia oleh dua psikopat itu.

"Chio, lo gak ngarang 'kan?!" Tanya Aksa mendesak.

"I-iya, gue ngarang," jawab Mashiho berbohong, semoga Aksa tidak melihat rasa gugupnya.

"Gue kira beneran," Aksa mendengus. "Bercanda lo gak lucu, kalau orangnya tau bisa dimarahin lo, apalagi sama si Nares. Tau sendiri dia sayang banget sama adiknya."

"Hehe, gue balik dulu ya."

Mashiho langsung lari ke rumahnya, daripada ditanya-tanya lagi dan berujung kelepasan bicara. Aksa geleng-geleng kepala, kenapa sih teman-temannya menyembunyikan banyak hal.

Dia 'kan tahu beberapa... eh?

•••

"Gue mengidap kepribadian ganda sejak kecil, gue punya trauma," jelas Yoshi kepada Tama.

Akhirnya setelah menunggu berjam-jam Yoshi mau bicara juga. Tenang, Aarav sudah diambil alih kembali oleh Yoshi. Tama tidak takut lagi seperti sebelumnya.

"Aarav orangnya gimana?"

"Kalau kata bunda, Aarav anaknya ceria, blak-blakan kalau ngomong, kadang sikapnya kayak preman, kadang kayak anak kecil. Menurut gue setelah denger itu, Aarav aneh. Aarav seumuran sama Acio, kata bunda dia jarang panggil 'Kak' ke orang yang lebih tua, semau maunya aja."

"Wow, beda banget sama lo, Kak," kata Tama. "Selama ini, dia gak ngelakuin yang aneh-aneh 'kan?"

"Gue gak tau, tapi kayaknya pernah. Dua bulan lalu, gue di rumah sendiri. Bunda sama Ayah pergi ke luar kota karena ada acara keluarga, tapi gue gak ikut karena tugas dari dosen. Pas gue bangun tidur, tau-tau ada burung merpati mati di kasur gue..."

Oke, Tama mulai negative thinking. Masa iya sih Aarav... psikopat? Masa iya yang menyebabkan Gendra kecelakaan adalah Aarav?

Tama berpikir begini. Kepribadian Aarav muncul, lalu membunuh Gendra. Atau mungkin yang lain. Gendra terkejut karena Yoshi berganti menjadi Aarav. Bisa saja 'kan? Banyak kemungkinan yang terjadi.

Tapi, kalau benar begitu... berarti Aarav termasuk salah satu impostornya dong? Berarti kalau ketahuan Yoshi juga yang mengalaminya, ya ampun.

"Lo disuruh siapa gali informasi tentang gue?" Tanya Yoshi, beralih dari baksonya.

"Eum... gak ada sih... gue cuma penasaran aja. Soalnya waktu itu lo panggil Kak Gendra pake Kak, padahal lo seumuran."

"Seperti yang gue bilang, Aarav itu bersikap semaunya. Biarin aja asal gak kelewat batas."

"Maksud lo? Lo tau Kak kalau Kak Aarav suka berbuat hal buruk?"

"Gak tau."

"Sekarang lo sendirian di rumah?"

"Iya, kenapa?"

"Kalau ada apa-apa telpon gue atau yang lain ya, Kak. Bentar lagi malem, situasi sekarang gak aman."

"Tam..." Yoshi tersenyum. "Ada yang mau gue tanyain ke lo, semoga aja dugaan gue salah."

"A-apa?"

"Tadi malem, gue liat lo sama Galaksi berdarah-darah di jalan. Gue juga liat Yetfa ngeliatin kalian berdua dari jauh. Kalian ngapain?"

Sudah Tama duga Yoshi akan bertanya. Dia melihat Yoshi tadi malam, dan dia sudah berpikir kalau Yoshi akan bertanya padanya.

"Lo beneran mau tau, Kak? Tapi, lo percaya sama gue gak?"

"Gue selalu percaya sama lo, karena lo anak baik-baik."

Tama mendekat sedikit ke Yoshi. "Tadi malem, gue liat Kak Galaksi duduk di pinggir jalan, jatuh dari motor. Perutnya di tusuk orang, walaupun gak dalem tusukannya. Asal lo tau aja Kak, gue gak kasih tau itu ke Kak Yetfa karena dia masuk ke kandidat impostor, Kak Bara yang bilang."

•••

Malam-malam begini, seharusnya Evan menonton film di laptopnya. Tapi, persediaan cemilan sudah habis. Mau tak mau dia ke Alfajuli terdekat, tak tahunya malah bertemu Nares yang sedang jajan indosusu.

Tumben sekali seorang Nares keluar jam segini, biasanya 'kan tidur. Oh, Evan lupa. Nares 'kan jauh lebih sibuk dari yang lain, mungkin dia beli indosusu untuk menahan kantuk disela mengerjakan tugas.

"Ngapain lo ngeliatin gue kayak gitu?" Tanya Nares sinis, memeluk tas belanjanya seperti takut dicuri.

"Gak apa-apa, tumben banget lo mau keluar rumah jam segini. Sendirian lo?" Heran Evan lanjut memasukkan cemilan ke keranjang belanjanya, lalu berjalan menuju kasir.

"Gue sama Acio, tuh orangnya lagi di mobil. Dia minta jajan, ya udah gue anterin. Sekalian beli stok susu," jawab Nares.

"Oh."

"Dih? Sok cuek banget lo."

Evan melotot. Nares langsung kabur. Dasar.

"Ck, gak jelas. Mba, nih saya mau bayar."

"Ada kartu—"

"Gak ada, buruan gak pake lama."

Si mba kasir tersenyum saja, tapi dalam hati dia memaki-maki Evan. Dengan tidak ikhlas dia menghitung barang belanjaannya, saat memasukkan barang tersebut ke tas belanja saja ogah-ogahan.

"Totalnya dua ratus ribu."

"Nih, gak usah kembali," kata Evan, meletakkan dua lembar uang berwarna merah.

Mba kasir tadi kesal. "Masnya kalau mau bercanda salah orang."

"Siapa yang bercanda? Mbaknya aja yang sensian."

"Kurang ajar!"

"Apa lo! Ntar gue sebarin ke orang-orang kalau yang jaga kasir galak, biar gak ada yang dateng terus lo dipecat hahaha!"

"Mas, mba, awas jodoh," celetuk seorang satpam sambil bersiul.

"Hiih, ogah amat!"

Evan langsung pergi sambil menenteng tas belanjanya. Daripada berlama-lama disana dan membuat kepala panas, lebih baik dia pulang untuk menonton film favoritnya.

Rumahnya tidak terlalu jauh kok, berbeda dengan rumah Nares dan Acio yang agak jauh dari Alfajuli. Makanya dia jalan kaki, kalau ada begal tinggal dia keluarkan kemampuan karatenya.

"Tapi, serem juga kalau jalan sendirian begini," gumam Evan mempercepat langkah.

Saat dia ingin berbelok ke jalan menuju rumahnya, dia melihat mobil Nares terparkir di pinggir jalan, mesinnya masih menyala.

Dia mengernyitkan keningnya, kenapa mobilnya ada disamping kebun jagung yang tinggi itu?

Firasatnya mendadak buruk, dia berlari ke arah mobil tak lupa tas belanjanya. Rupanya ada Acio di dalam, sedang bermain ponsel.

"Woi! Keluar lo!" Seru Evan menyuruh, mengetuk-ngetuk jendela mobil dengan keras. Acio sampai terkejut, membuka pintu mobil dengan segera.

"Apaan sih? Berisik!"

"Mana Nares? Kalian ngapain disini?"

"Kak Nares ke kebun, tadi gak sengaja liat orang jalan ke sana—"

"Kenapa lo gak temenin dia hah?! Bego, kalau dia kenapa-kenapa gimana?!"

"Gue dilarang sama dia, makanya gue gak ikut!"

Aduh, Evan ini memancing keributan sekali. Padahal sudah malam loh... mengganggu orang tidur saja.

"Aduh, si Nares 'kan matanya minus. Malem-malem begini mana bisa dia liat sekitar dengan jelas," gumam Evan khawatir.

"Kak Evan, perasaan gue kok gak enak ya..." Ucap Acio sama khawatirnya, padahal awalnya biasa saja.

"Tuh 'kan! Ayo kesana, susul Nares. Semoga dia—"

`Srak srak srak srak`

Perkataan Evan terhenti. Suara gesekan daun terdengar, seperti langkah yang terseret. Dia menatap Acio yang entah sejak kapan memegang obeng untuk berjaga-jaga.

Tenang, Nares itu selalu membawa kotak perkakas di mobilnya supaya saat mogok atau apapun itu tidak perlu panik. Bukan untuk hal lain kok.

"Ada yang gak beres," ucap Acio lalu berjalan ke kebun.

Namun baru dua langkah, ia berhenti. Napasnya tercekat, obeng ditangannya jatuh bebas ke tanah. Evan mematung, terkejut melihatnya.

Dari dalam kebun, Nares berjalan terseok-seok, menyeret kakinya sekuat tenaga. Mulutnya robek hingga ke pipi, kaos putihnya ternodai warna merah, terdapat bekas tusukan di perutnya, mengeluarkan darah yang cukup banyak. Sebelum akhirnya, dia ambruk ke tanah, dan kelopak matanya menutup sempurna.