Ruri terlihat menangis dengan mata yang terpejam, duduk bersandar dengan posisi nyaman untuk tidur. Tiada ucapan apapun yang keluar dari mulutnya. Hanya tubuh yang bergetar diikuti isak tangis yang begitu dalam.
Lita begitu terhanyut akan sikap yang Ruri perlihatkan. Baginya ada begitu banyak pertanyaan yang belum terjawab. Namun, ia tak memiliki kuasa untuk bertanya. Terus berdiri dan menatap ke arah Ruri, Lita sangat berharap ada titik terang dari tindakan yang sedang mereka lakukan.
"Ruri, dengarkan saya! Tenangkan dirimu, atur napasmu dan keluarkan dari mulut. Dengar jentikan saya dan bangunlah!" ucap seorang Dokter yang kini duduk tepat di depan Ruri.
"Ctik!"
Suara jentikan membangunkan Ruri. Ia terlihat bingung menyadari keadaannya saat ini.
"Apa aku menangis? Apa saja yang aku katakan?" tanyanya dengan penuh semangat. Ia dan Lita memiliki harapan yang sama, yaitu kembali mengingat memorinya yang hilang.
"Maaf saudara Ruri, mungkin ini terlalu cepat, kita bisa coba kembali nanti," jelas Dokter itu kemudian pergi.
"Dok, dok ...."
"Tenanglah, kita akan mencoba kembali nanti. Ada masih banyak cara yang bisa dilakukan untuk mengembalikan ingatanmu," jelas Lita sembari menyerahkan tisu untuk menyeka air matanya yang jatuh.
"Berapa lama? Berapa lama lagi? Apa kau yakin ingatanku bisa kembali?" tanya Ruri dengan penuh keputus asaan. Baginya, ini hanyalah tindakan bodoh yang tak akan memberikan arti apa-apa. Hanya luka dan tangis yang sama sekali tak dimengerti.
"Ruri, kamu harus percaya kalau ingatanmu bisa kembali. Seperti yang saya katakan. Ada banyak cara dan kami akan menggunakan semua cara itu untuk mengembalikan ingatanmu. Percaya padaku," ungkap Lita yang mulai mendorong kursi roda Ruri keluar. Sedangkan dari ujung pintu terlihat Dokter Leo menatap ke arah mereka dengan tatapan tenang diiringi senyuman tipis disudut bibirnya.
Sudah tiga kali melakukan hipnoterapi, namun tak kunjung memberikan hasil. Ruri masih belum bisa mengingat apapun, bahkan hanya sekilas. Ini membuat ia merasa begitu kecewa. Terlebih tak ada yang mengenal dirinya, apalagi mengunjunginya di sana.
Kini keadaan fisik Ruri sudah jauh lebih baik. Ia sudah bisa berjalan dengan menggunakan kedua kakinya. Meskipun begitu, suster Lita tetap saja menggunakan kursi roda jika ingin membawa Ruri terapi dan pemeriksaan.
"Aku ingin pergi dari rumah sakit ini," ucap Ruri dengan penuh emosi, wajahnya menunjukkan ambisi dan tekad yang sangat bulat.
"Itu tidak mungkin. Kamu mau kemana? Sedangkan kamu tidak mengingat apapun?" tegas Lita dengan tatapan cemas.
"Aku mohon ... aku harus mengembalikan ingatanku!"
"Saya tau, Ruri. Tapi kamu tidak mungkin bisa keluar begitu saja dari rumah sakit ini."
"Kamu bisa bantu aku kabur dari sini," pinta Ruri dengan penuh harap.
"Aku tidak yakin kalau cara ini bisa membantu. Tapi akan kita coba," ucap Lita tegas. Lalu berlalu pergi setelah mengatakan, "Tapi janji! Jangan kabur, oke!"
Ruri setuju, ia kembali duduk di kursi rodanya dan menatap ke arah jendela. Terlihat seorang pria tua tengah menatap dalam ke arah ruangannya. Awalnya ia mengira hanya sekedar menatap, namun lambat laun ia sadar. Pria itu sudah dari jauh hari sering melihat ke arahnya, menatap dengan serius seakan menguntit dirinya. Meskipun ia tau pria tua itu sering berada di area rumah sakit sebagai pemungut sampah.
"Mungkin dia tau siapa aku!" ucap Ruri yang kemudian segera pergi mendekati pria tua. Ia berjalan dengan sangat hati-hati dari sisi lain gedung. Ia mencoba menangkap pria tua itu, lalu menanyainya.
Pria tua itu masih saja menatap ke arah ruangan Ruri. Ia berulang kali mencuri pandang untuk memastikan Ruri masih berada di dalam ruangannya. Sedangkan Ruri sendiri kini sudah berada di samping taman guna mendekatinya.
"Srak, srak, srak!"
Suara gesekan daun menyadarkan pria tua. Ia segera berpindah membawa goni besar di tangannya, meski tau masih banyak sampah berserak di sana.
Ruri yang menyadari kepergian si bapak tua pun bergegas lari, langkahnya lemah dan tubuhnya berulang kali sempoyongan. Namun, ia terus saja berlari mendekati pria tua itu. Tak disangka, meski tua, pria itu sangatlah sehat dan cekatan. Ruri kehilangan dirinya karena terjatuh. Sebuah batu kecil merobohkan langkahnya. Ruri hanya bisa terbaring menahan sakit sambil terus menatap si pria tua.
"Ruri, apa yang kamu lakukan?" tanya Lita yang segera menghampirinya. Berlari sigap mendapati Ruri yang kini terbaring di antara pepohonan.
"Anu, aku ...."
"Sudah, ayo bangkit. Dokter Leo menunggumu. Aku sudah mengatakan niatanmu yang ingin pergi meninggalkan rumah sakit ini," jelas Lita sembari menggotong tubuh Ruri dengan lengannya.
Ruri masih saja meringis dan mencoba berjalan dengan salah satu kakinya. Kaki yang terluka membuat ia kesulitan hingga nyaris tak bisa digerakkan.
"Saya akan mengobati lukamu terlebih dahulu. Baru kita akan menemui Dokter Leo," jelas Lita yang kini membawa Ruri kembali ke ruangannya.
Ruri hanya diam dan menurut. Membiarkan celananya digulung agar Lita bisa membersihkan luka dan mengobatinya. Duduk di bibir ranjang sambil sesekali meringis kesakitan.
"Ada apa? Mengapa kamu melihatku seperti itu?" tanya Lita dengan dahi mengernyit. Ia merasa risih akan tatapan Ruri kepadanya. Tatapan aneh dan sulit diartikan.
"Entahlah! Aku merasa pernah diperlakukan begini dengan seseorang," jelas Ruri yang terdiam sesaat sebelum menjawab pertanyaan Lita.
"Apa orang itu perempuan juga?" pertanyaan Lita membuat Ruri tersenyum tipis.
"Ada apa dengan pertanyaanku?"
"Aku juga pernah merasa ditanyai seperti itu. Aku rasa orang itu juga seorang perempuan," jelasnya dengan wajah tak merasa bersalah.
"Kamu aneh!" ucap Lita dengan nada manja.
Sepertinya keduanya menjadi sangat dekat. Lita sering menceritakan tentang dirinya, awal ia bekerja di rumah sakit ini, hingga kedekatannya dengan banyak pasien. Sedangkan Ruri hanya mendengarkan dan sesekali memberikan tanggapan. Tidak ada yang bisa Ruri ceritakan, ia telah hilang ingatan.
"Oh ya, bagaimana caramu merayu Dokter Leo agar mengizinkanku pergi?"
"Maaf Ruri ... kamu tidak benar-benar pergi. Dokter Leo hanya mengizinkanmu pergi untuk kembali."
"Maksudmu?" tanya Ruri dengan tatapan bingung.
"Yah, kamu hilang ingatan dan tak tau harus kemana. Namun, aku meyakinkan Dokter Leo untuk membiarkanmu melihat dunia luar agar ingatanmu bisa kembali terangsang. Tetapi ... kamu diminta kembali ke sini disetiap malamnya, sampai kamu benar-benar menemukan seseorang yang merupakan keluargamu. Hanya itu yang bisa saya lakukan, Ruri," ungkap Lita dengan nada lemah. Sepertinya ia merasa tak puas akan keputusan yang diberikan Dokter Leo akan permintaannya.
"Terima kasih, terima kasih Lita," ungkap Ruri dengan penuh bahagia. Tanpa sadar ia melayangkan kedua tangannya ke tubuh Lita. Membuat Lita terdiam dengan jantung yang berdetak tak karuan.
Di ruang lain terlihat Dokter Leo tengah berbicara melalui telepon dengan seseorang. Suaranya terdengar pelan seakan tak ingin didengar oleh orang lain.
"Aku menemukan seseorang yang hilang ingatan. Tetapi ... nama dan fotonya tidak tercantum dalam peserta. Aku yakin dia salah satu dari mereka karena ingatannya tak kunjung pulih meski telah dilakukan terapi ingatan," ungkapnya dengan nada penasaran.