Aku ingin lari dari situasi ini...
Benar-benar ingin lari...
"Ayo Juan... Sudah 5 menit berlalu dan kamu membuang waktu kami..."
Aku bisa melihat wajah mupeng beberapa dari mereka.
Sesuai ucapan Muzo. Akulah yang terpilih menjadi 'Nude Model' dan...
kau bisa melihat wajah suram Koko dan Yoffi.
"Nah, sekarang tinggal melepas kaos dan boxermu, ayo Juan jangan malu-malu."
Kenapa sekarang malah terkesan bu Margaretta yang kelihatan mupeng banget.
Kedua tanganku bergerak menutupi kemaluanku, walaupun aku masih menggunakan boxer.
Sruttt!!
Oh tidak!
Sensasi dingin menembus bokong hingga pahaku.
Seseorang menurunkan boxerku dengan kuat dan cepat dalam hitungan detik, dan aku yakin, itu pasti Muzo.
Aku tak bisa menahan kekuatannya dan sekarang beberapa cewek yang duduk disamping kanan dan kiri pasti sudah melihat bagian tubuh rahasiaku ini.
Hening...
Tenang...
Setidaknya kuharap kejadian seperti ini tidak terulang lagi.
Setelah hiruk-pikuk kelas karena mereka memaksaku untuk melepas seluruh pakaianku. Akhirnya seiring berjalannya waktu aku mulai terbiasa menerima takdirku. Takdir tubuhku yang sudah tidak menjadi rahasia lagi.
Tak bisa sembarangan bergerak, aku hanya bisa melirik kearah yang terbatas, dan dari situ aku paham bahwa beberapa dari cewek-cewek itu melihatku dengan tatapan penuh nafsu.
Setelah kejadian itu, keesokan harinya, gadis yang kuidolakan, Silvilla mendekatiku dan mengajakku pulang sekolah bareng.
"Setiap hari kamu selalu bawa kaos dan celana sepak bola ya, Juan?"
Setelah selesai berlatih futsal dengan beberapa siswa dari kelas lain tiba-tiba Silvilla duduk disebelahku.
"Yo'i Sil, kelihatan banget ya?"
"Iya, dikelas kita cuma ada 5 cowok, dan gampang untuk mengingat kebiasaan kalian masing-masing."
"Apa itu artinya cewek-cewek sering ngomongin kami berlima?"
"Hihihi, Jelas sekali 'kan, Juan. Di sekolah kita, yang paling sedikit pelajar cowoknya cuma kelas kita, 'Kelas Seni', sementara yang paling banyak pelajar cowoknya 'Kelas Tehnik'...."
Silvilla menunjuk kearah para cowok yang bergurau bebas dan liar yang lewat dihadapan kami, para 'Cowok Tehnik'.
"Buat kami para cewek, masuk ke kelas seperti itu rasanya seperti 'Bunuh Diri', Juan..."
Silvilla melanjutkan kata-katanya.
"Kok bisa, Sil?"
"Iya, bayangin ya, memang sih banyak cowok menarik disana, tapi kamu pasti paham kan seusia kita pikiran cowok pada mesum semua."
Silvilla mengalihkan pandangannya kearahku, dan aku melihat pergerakan matanya yang awalnya melihat wajahku, perlahan-lahan turuh kearah dada, perut, hingga selangkanganku, membuat bulu kudukku merinding dan membangunkan 'Senjata-ku'.
Benar saja, Silvilla sepertinya merasakan bahwa aku pasti gugup. Ia malah mendekat dan menempelkan dadanya kearah lengan kiriku, kini kami seperti sepasang kekasih yang nekat berduaan ditengah sekolah.
Aku menoleh dan melihat kebawah, kearah 'Senjata-ku' dengan meneguk ludah dan keringat dingin.
Itu yang terjadi kemarin.
Dan kini, dalam situasi yang mendesak ini sungguh-Penisku-terus terang saja, mengeras sampai pada titik yang tak mampu kutahan lagi.
Silvilla dengan wajah imutnya yang merasa ketakutan, melirik kearah bawah, aku yakin penisku menyentuh tubuhnya, entah bagian mana itu. Dan itu membuatku semakin panas, membuat tubuhku semakin meriang. Nafasku berat.
"Juan, mereka..."
Dengan cepat kututup mulut Silvilla dengan kedua tanganku, mengisyaratkan kepadanya agar tidak bersuara.
Kami dikejar-kejar oleh kumpulan 'Cowok Tehnik' karena sebuah kesalahpahaman.
Tidak, ini bukan kesalahpahaman. Silvilla yang tak kusangka ternyata cewek yang berani dan bernafsu tinggi, meledek dan memicu gairah para cowok tadi persis diakhir jam pelajaran sekolah.
Akhirnya pemimpin dari Kelas Tehnik, Donny, Terpicu nafsunya dan mengajak Silvilla untuk bersenang-senang bersama.
Aku tidak terima dengan ucapan itu dan mengajak gadis itu untuk mengabaikannya, rupanya Donny marah dan tiba-tiba menghantamkan pukulan kearahku.
Silvilla menghentikannya, memasang badan diantara kami, lalu seorang diantara teman Donny menariknya kearah kawanan itu dan mengajaknya ke Kelas Tehnik.
Donny mengangkat tubuhku, lalu menghantamkan satu pukulan lagi. Tekadku untuk menjauhkan Silvilla dari mereka membuatku tak jatuh kali ini, malah dengan sigap berlari kearah Kelas Tehnik.
Didepan mataku sebagian Pelajar sudah membuka seragam mereka. Aku melihat sekeliling, berharap ada seorang guru yang bisa menyelamatkan kami. Tapi sia-sia.
Akhirnya aku menerjang kawanan itu dan menarik Silvilla keluar dari ruang itu.