Bugh..!
Bugh..!
Tias menghentikan kegiatanya menyipakan hidangan makan malam, kala telinganya mendengar pintu mobil Eza yang baru saja ditutup. Ia berlari ke arah luar, untuk menyambut kedatangan sahabatnya.
"Maa..! Eza sudah pulang tu," Tias berteriak, memberi tahu ibunya Eza sambil berjalan ke arah ruang tamu.
Tidak cuma dengan Eza Tias dekat, sama ibunya Ezapun Tias sangat akrab. Keakraban itu yang membuat Tias menganggap ibunya Eza seprti ibunya. Sehingga sudah tidak sungkan lagi Ia memanggilnya mama. Eza dan ibunya pun tidak merasa keberatan. Justru mereka senang mendengar itu, hubungan yang hangat seprti layaknya keluarga.
Ibu Sekar, atau mamanya Eza menghentikan kegiatan memasak, guna menyambut kedatangan putranya itu.
Eza dan ibu Sekar hanya tinggal berdua, ayahnya sudah meninggal sejak Eza masih duduk di bangku SMA. Tapi Meskipun, begitu soal ekonomi mereka tidak pernah kesulitan, lantaran kedua orang tua Eza yang berasal dari keluarga berada atau kaya.
Kehadiran Tias yang sering bermain kerumah Eza, membuat suasana rumah menjadi ramai dan terasa hangat. Ibu Sekar juga sudah menganggap Tias seperti putrinya sendiri.
"Lama amat su, belanja nya?" Kata Tias sambil mengambil belanjaan dari tangan Eza, membantu membawa belanjaan mereka. "Belanja apa aja banyak banget?" Tanya Tias seraya melenggang berjalan ke ruang tengah.
Saking lelahnya Eza dan Arga tidak menjawab pertanyaan Tias. Lagipula juga mereka sudah tahu kalo Tias bertanya cuma sekedar basa-basi.
"Duduk dulu Ga," titah Eza, seraya menempelkan pantatnya di sofa ruang tamu.
Belum sampai pantat Arga menempel di sofa, ia kembali berdiri lantaran melihat wanita paru baya berjalan memasuki ruang tamu. Melihat penampilan dari penampilan wanita itu, Arga sudah sangat yakin jika yang sudah berdiri di samping Eza adalah ibunya Eza.
"Bu..." sapa Arga sambil mengangguk penuh takjim.
"Eh mama." ucap Eza yang baru menyadari keberadaan ibu Sekar disampingnya.
Senyum keibuan terbit di bibir wanita paru baya namun masih terlihat cantik itu, "baru pulang jam segini."
"Biasalah ma, kaya ngak tau kerjaan Eza aja" jawab Eza seadanya. "Ohiya ma, Kenalin ini temen kantor Eza yang baru, namanya Arga," ucap Eza sambil menunjuk Arga dengan wajahnya.
Arga meraih mengulurkan tangan ibu Sekar, lalu mencium punggung tangannya.
"Iya mama udah tau, Tias udah cerita tadi." Ucap ibu Sekar. "Duduk nak Arga," titah ibu Sekar yang langsung dituruti sama Arga.
"Ma, mama temenin Arga dulu, aku mandi lengket banget ni badan." Ucap Eza, kemudian ia beranjak dari duduknya berjalan menuju kamar, meninggalkan Arga dan ibu Sekar.
"Kamu sekalian aja mandi nak Arga, kamar mandinya ada dua kok." Titah ibu Sekar setelah ia mendudukan dirinya di sofa, di depan Arga.
"Saya mandi di rumah aja Bu, lagian nggak bawa salin," jawab Arga.
"Eh, jangan gitu mumpung belum terlalu malam. Nggak bagus mandi kalo mandinya malem-malem. Baju Eza juga banyak, kamu pake baju dia aja dulu." Ujar ibu Sekar, "Lagian sudah tengah malem, mending minep sini aja, kan besok bisa berangkat ke kantor bareng."
Tanpa mendengar keputusan dari Arga, ibu Sekar berdiri dari duduknya seraya berkata, "bentar ibu ambilkan perlengkapan mandi dulu."
Ibu Sekar berjalan menuju kamarnya, meninggalkan Arga yang sedang menatap punggungnya. Tidak lama setelah itu, ibu Sekar kembali menemui Arga dengan membawa perlengkapan mandi, lengkap dengan sikat giginya.
"Sudah jangan sungkan sana mandi," titah ibu Sekar sambil memberikan perlengkapan mandi yang diperuntukan untuk Arga.
Meski merasa canggung dan sungkan, namun karena sikap ibu Sekar yang kelewat ramah, akhirnya Arga menuruti saran ibu Sekar.
"Yaudah bu, terima kasih," ucap Arga sambil menerima perlengkapan mandi dari ibu Sekar. "Ohiya bu kamar mandinya di sebelah mana?"
"Ada di deket dapur, yuk ibu antar," jawab ibu Sekar, kemudian ia berjalan ke arah dapur, diikuti sama Arga dibelakangnya.
===
Malam itu ruang makan ibu Sekar terasa ramai, tidak seperti malam biasanya yang hanya ada Eza dan ibu Sekar yang hanya mengisi ruang makan itu.
Apa lagi ada Tias, mulutnya tidak mau berhenti berkicau meskipun masih penuh dengan makanan. Suasana makan malam jadi terlihat penuh warna. Celotehan Tias juga terkadang membuat mengundang gelak tawa mereka.
Sambutan dari ibu Sekar yang hangat, juga membuat Arga menjadi merasa tidak cangung lagi. Arga merasa jauh lebih nyaman sekarang.
Eza mengambil segelas air minum di depannya, meminumnya hingga tandas, untuk mengakhiri makan malamnya, "Su. Kamu bawa motor kan? Aku capek ngak bisa antar kamu pulang."
"Iya... nggak usah kuatir aku bawa motor," ucap Tias ketus, ia juga sudah menghabiskan makan malamnya, ia berdiri dari duduknya untuk membantu menumpuk piring-piring kotor sisa makan malam mereka.
"Kamu jadi nginep sini kan? Nak Arga?" Tanya ibu Sekar saat melihat Arga baru menghabiskan segelas air mineral.
Arga terdiam, ia memutar kepala nya menoleh ke arah Eza yang sedang duduk disebelahnya.
Begitupun dengan Eza, ia juga menoleh ke arah Arga, menunggu untuk menunggu jawabannya. "Udah nginep aja, besok berangkat ke kantornya bisa bareng." Usul Eza.
"Yaudah kalo gitu, tapi maaf ni bu jadi ngerepotin."
"Santai," ucap Eza sambil menepuk pelan pundak Arga. "Su, ati-ati ya kalo mau pulang, aku mau tidur ngantuk. Yuk Ga..." Eza berdiri dari kursinya, berjalan menuju ke arah kamar.
"Ya...!" Jawab Tias berteriak lantaran ia sudah berada di dapur membantu asisten rumah tangga Ada mencuci piring.
"Bu saya tidur duluan," pamit Arga kepada ibu Sekar.
"Iya nak Arga silahkan, semoga nyenyak tidurnya."
Arga tersenyum nyengir, lalu ia berjalan menyusul Eza yang sudah lebih dulu masuk ke dalam kamarnya.
"Capek...." kelu Eza sambil menggeliat di atas tempat tidurnya. Setelah otot-otot persendiannya sudah agak mendingan, Eza melihat Arga yang masih duduk di tepi ranjangnya. "Kamu nggak capek?"
Arga seperti tidak mendengar pertanyaan Eza, ia masih melamun sambil mengedarkan pandangannya di kamar Eza. Sedikit norak memang, tapi ia benar-benar kagum dengan apa yang ada di dalam kamar. Fasilitas yang ada di kamar Eza, tidak Arga miliki di kamarnya. Lebih tepatnya kamar pamannya, Arga cuma numpang.
'Kenapa hidup Eza sangat enak sekali ya Tuhan. Sepertinya Engkau terlalu banyak memberinya kemudahan. Tidakkah Engkau ingin menyisahkannya untuk? Meski hanya sedikit.' Keluh Arga dihatinya.
Bugh!
Lamunan Arga dibuyarkan oleh lemparan bantal empuk yang tepat mengenai punggungnya. Siapa lagi yang melakukannya kalau bukan Eza.
"Malah ngelamun, kamu nggak ngantuk?"
Arga hanya tersenyum simpul, ia mengambil bantal yang baru saja digunakan oleh Eza untuk melempari dirinya. Menaruh diatas pangkuan, lalu memeluk bantal tersebut.
"Za..." panggil Arga.
"Hem," Jawab Eza singkat, sambil memejamkan matanya.
"Kamu masih capek ya?" Tanya Arga.
"Jangan ditanya, capek banget. Makanya buruan tidur." Jelas Eza sambil kembali merenggangkan otot-ototnya yang kaku.
"Mau dipijit nggak? Ngomong-ngomong punya bakat jadi tukang pijit ni." Tawar Arga.
"Serius? Ngerepotin nggak ni?"
"Kalo ngrepoti aku nggak nawarin Za," balas Arga.
Eza tersenyum nyengir, memamerkan deretan giginya yang putih terawat. "Yaudah, Kalo gitu tunggu apa lagi?" Ucap Eza sambil membuka kasus yang ia kenakan, kemudian tidur tengkurap bersiap merasakan pijatan Arga.
Arga terdiam saat melihat punggung Eza, ia sedikit kagum bercampur, kenapa ada laki-laki yang kulitnya terlihat sangat putih dan mulus.
"Kok masih diam?" Protes Eza, lantaran Arga masih belum memulai pijitannya.
"Tanganku kasar, kok aku jadi takut," ucap Arga.
"Takut kenapa?"
"Takut, kalo aku menyetuhmu akan membuat tubuh terluka," canda Arga. "Liat aja, kulit kamu mulus gitu."
"Ha... ha..." Eza terbahak mendengar candaan Arga yang garing. "Bisa aja kamu, biar mulus gini adu tenaga sama kamu juga pasti menang. Buruan ah, lama." Protes Eza supaya Arga memulai pijitannya.
"Iya... iya..."
Beberapa detik kemudian, tanpa ragu lagi Arga duduk tepat di atas bokong gempal milik Eza, supaya ia lebih mudah untuk melihatnya. Beberapa saat kemudian, Arga langsung memamerkan keahliannya dalam memijat.
Ternyata Arga tidak berbohong, Arga membuktikan kata-katanya kalau ia memang pandi memijit. Lihat saja, Eza terlihat sangat keenakan, menikmati tiap-tiap tekanan di bagian punggungnya.
"Ugghm... enak Ga," ucap Eza, suaranya terdengar melenguh, lantaran punggungnya masih ditekan-tekan sama Arga.
Arga hanya tersenyum nyengir, sambil terus memijat Eza. "Mau punggungnya aja apa mau seluruh badan?" tanya Arga saat ia hampir menyelesaikan pijitannya di punggung Eza.
"Kalo badanya aja berapa? kalo seluruh badan berapa? trus kalo pake plus plus berapa?" Goda Eza ditengah rasa nikmat yang sedang ia rasakan.
"Ha... ha... sialan, emang tukang pijit plus-plus," protes Arga sambil jemari nya menggelitik bagian pinggang Eza, sebagai balasan untuk Eza yang sudah menyebut nya tukang pijit plus-plus.
Sementara itu Eza yang sangat sensitive jika bangian pinggangnya disentuh oleh seseorang, maka secara reflek memutar tubuhnya hingga terlentang. Dan pada saat ia memutar tubuhnya secara otomatis tangan Arga tertarik, dan membuat Arga reflek menghamburkan tubuhnya memeluk Eza. Sialnya, gerakan yang begitu cepat membuat keduanya kehilangan kontrol, hingga membuat bibir mereka akhirnya saling bersentuhan.
Keduanya terdiam dan saling melebarkan matanya masing-masing. Beberapa saat kemudian secara reflek memainkan bibirnya. Ia mulai melumat, bagian bawah bibir Eza. Hingga akhirnya Arga mulai hilang kendali. Ia begitu agresif menikmati bibir merah Eza.
Sementara Eza sendiri hanya diam, ia sempat terkejut dengan apa yang dilakukan Arga padanya. Hingga akhirnya.
Plaaak....!!
Secara reflek Eza mendaratkan tamparannya di wajah Arga.
====
Tbc