webnovel

Hasan Menceritakan Kepada Orang Tuanya Tentang Hubungan Asmaranya Dengan Aurel

Di sebuah rumah sederhana yang dikelilingi bunga-bunga mekar nan harum semebrak, suara gemricik air mengalir seakan menjadi lantunan musik di malam hari, terlihat seorang pemuda duduk sendiri di depan rumah sedang memandang ke arah yang jauh menembus gelapnya malam, terlihat pula matanya sayup, kedua tangan memegang kepala, mungkin galau sebutan yang pantas untuk Dia.

Iya Hasan itu, pemuda yang sedang mengalami problem berat menurutnya, yang sulit di atasinya, di sela-sela Ia sedang duduk termenung, datang lah Ibunya dari dalam rumah.

"Krieeek ...!" suara pintu terbuka.

"Hasan ...! Anak Ibuk yang ganteng," panggil Ibu pada Hasan, sambil mendekat dan selanjutnya duduk di sampingnya, tak lupa juga memberi senyuman manis.

"Kok duduk termenung sendiri di sini, lihat tuh mata, wajah dan tubuhmu terlihat tak bergairah, Apa yang terjadi?" tanya Ibu, sambil memegang tangan Hasan lalu di ciumnya.

"Ayo, di dalam saja, lihat tuh sudah larut malam," imbuh Ibu untuk bujuk Hasan.

"Iya Ibu, tidak ada apa kok, Ibu duluan saja nanti Hasan menyusul," sahut Hasan, sambil membalas dengan senyuman dan mencium tangan Ibunya.

"Ya udah Ibu masuk dulu, jangan lama-lama di sini." emmuah cium Ibu pada kening Hasan sebelum masuk ke dalam rumah.

"Ya Allah, Bagaimana ini? haruskah aku cukupi hubunganku dengan Aurel! Terus Bagaimana nasibnya kalau saya putus? Ya Allah, mengapa harus terjadi pada saya," kata Hasan berbicara dalam hatinya.

Cahaya rembulan yang terang menyinari wajah Hasan menambah ketampanannya, bintang-bintang menghiasi cakrawala tak henti-henti memancarkan kedipan cahayanya, seakan menghibur hati Hasan yang lagi galau.

Dalam keadan seperti ini bakat terpendamnya dimunculkan sang pujangga itulah predikat yang pantas untuknya, ia lantunkan syair-syair penghibur hatinya.

"Ku pandang langit yang penuh bintang, rembulan tersenyum sesekali dia malu bersembunyi di balik awan, nyanyian serangga terdengar begitu indah di telinga, daun-daun berjoget ria terterpa angin malam, sekaan mengajak aku melepas beban penat yang berputar-putar di memori otak, air mata mulai membasahi pipi, hati tak menentu, gelisah, sedih menjadi satu, ku coba berjalan menyusuri gelapnya malam, sendiri dan selalu sendiri hanya ditemani cahaya lampu senter yang tak begitu terang, setapak demi setapak ku lalui demi menuju tempat yang membuatku bahagia, tapi apalah daya semua tak sesuai harapan, bunga mekar yang ku idam-idamkan harus ku tinggalkan, kurelakan madunya dihisab kumbang, ku berdoa semoga tak layu karna kumbang jalang. Maafkan daku jika nantinya membuatmu layu ... layu dan layu" rintihan isi hati Hasan yang galau.

Selesai bersenandung Hasan pun masuk rumah dan menemui Ayah dan Ibunya ingin mengutarakan problem yang menyebabkan enggan menuruti orang tuanya.

Maju dan mundur hati Hasan ingin bercerita karena takut Ayahnya marah, tetapi Hasan tetap memberanikan diri menemuinya.

"Tok ... tok ... tok," suara bunyi ketukan pintu terdengar pelan, "Assalamu'alaikum, Ibu ini Hasan," sapa Hasan dengan memberanikan diri.

"Wa'alaikumsalam, Iya San, Ada apa?" sahut Ibunya sambil menuju pintu dan lalu membukanya.

Kreek ...!

Bunyi pintu terbuka

"Sudah malam San, Ada apa?" tanya Ibunya.

"Anu Bu, itu ..." Dengan mengangkat-ngangkat jari dan membelokkan badan kekanan dan kekiri, Hasan terlihat gelisah.

"Anu apa San? kok kamu gelisah, Ada apa?" tanya Ibu pada Hasan.

"Itu Bu saya mau bercerita sama Ibu dan Ayah," jawab Hasan, sambil menyembunyikan wajahnya.

"Cerita apa?" sahut Ibunya.

"Ya udah, kamu masuk aja," imbuh Ibunya.

"Ayah ada Bu," tanya Hasan, sambil merundukkan punggung.

"Tuh, ada di dalam," sahut Ibunya

"Ayo Masuk saja," ajak Ibu pada Hasan sambil masuk ke dalam kamar.

"Assalamu'alaikum," sapa Hasan pada Ayahnya.

"Wa'alaikumsalam," jawab Ayah

"Sini ... sini Ada apa San," imbuh Ayah sambil bangun dari tempat tidur dan selanjutnya duduk.

"Hasan mau cerita tentang masalah yang saya pendam dalam hati," tutur Hasan, terlihat tertekuk kepalanya ke lantai.

"Memang ada masalah apa, cerita saja tidak apa-apa, Ayah siap mendengar cerita Hasan yang ganteng ini," ungkap Ayah, sesekali dia mencubit kecil pipi Hasan.

"Gini Yah, saya bukannya tidak mau menuruti keinginan Ayah untuk ke pesantren, jujur saya mau ke pesantren, tapi ..." ungkap Hasan, sambil meremat ujung pojok bajunya.

"Tapi ... apa San?" sahut Ayahnya dengan nada lembut.

"Aku ... aku ... hmm tapi jangan marah ya Yah, kalau Hasan jujur." Hasan serasa sulit mengatakannya.

"Iya, janji Ayah tidak marah, yang penting Hasan jujur," bujuk Ayah agar Hasan mau bercerita.

"Benar ya Yah, Ayah Tidak marah," tanggap Hasan, Mulai tumbuh keberanianya bercerita.

"Iya," sahut Ayahnya.

"Yah, baru saja Hasan jadian dengan Aurel," tutur Hasan, masih posisi menundukkan kepalanya.

"Oh itu, alasan Hasan tidak mau ke pesantren," sahut Ayahnya dengan nada lembut, membuat Hasan semakin berani bercerita.

"Apa Aurel anaknya Bapak Sumarji, Bapak kepala desa itu," imbuh Ayahnya.

"Iya, kalau Hasan putusin rasanya tidak tega Yah, baru saja 3 bulan jadian, terus Bagaimana nasibnya? pasti sedih, soalnya dia sangat suka sama Hasan," lanjut cerita Hasan.

"Memang Hasan sudah mau menikah? Atau cuman sebatas pacar?, Gini San, justru jika Hasan kalau cumak sekedar pacaran saja, nantinya malah menyakiti, kamu kan juga baru berumur 17 tahun, masa depanmu masih panjang, belum tentu juga Aurel ketika nanti kamu sudah waktunya nikah mau menikah sama kamu, la Dia saja orang terpandang bisa saja dia dijodohkan orang tuanya, Apa orang tuanya juga tahu kalau kamu jadian," tutur Ayah. sambil memegang bahu Hasan, sesekali mengusap kepalanya.

"Kayaknya belum tahu juga orang tuanya," sahut Hasan, sambil menegakkan kepala untuk memandang wajah Ayahnya dan kemudian menundukkannya lagi.

"Nah itu, orang tuanya aja belum tahu," sahut Ayahnya.

"Udah, biarkan saja Dia!, Hasan menimba Ilmu di pesantren saja, Insya Allah kalau soal jodoh sudah ada yang mengatur," tutur Ayahnya, sambil memeluknya, dan lalu dilepaskan.

"Iya Ayah, Hasan mau ke pesantren tapi tunggu masalahnya selesai Ya Yah," pungkas Hasan, dan pindah ke dekat Ibunya kemudian memeluknya.

"Ibu ...! Maafin Hasannya Bu, jika selama ini Hasan membantah keinginan Ayah dan Ibu," Ungkap Hasan masih terlihat memeluk Ibunya kemudian mencium pipi Ibunya yang sudah mulai keriput.

"Ya udah Bu, Hasan ke kamar dulu, saya sudah mengantuk," pungkas Hasan, sekali lagi mencium pipi Ibunya lalu pergi, dan sekejap tak terlihat lagi tubuhnya karna terhalang tembok warna putih.

"Huhf ..." Suara hentaan nafas Hasan.

"Alhamdulillah, rasanya plong, fikiran menjadi fress, hati mulai bahagia, tinggal menyelesaikan permasalahan dengan Neng Aurel." Ungkapan dalam hati Hasan, sambil melepas kopyah kemudian diletakkannya di meja dan membaringkan tubuhnya di atas ranjang.

"Apa Neng Aurel saya telpon ya? Ah saya coba," kata Hasan berbicara pada hatinya sendiri, sambil menganmil Androidnya.

Tut ... tut ... tut!

Bunyi suara ketikan Androidnya.

"Maaf nomer yang anda tuju sedang tidak aktif, coba sekali lagi atau tinggalkan pesan suara." Panggilan tak terjawab.

"Ya udah besok saja, mungkin dia sudah terlelap dalam tidurnya," gumam Hasan di tengah rasa gundahnya.

Tak lama kemudian, suasana menjadi hening hanya terdengar suara serangga menyanyi.

Krik ... Krik ... Krik!

Cahaya lampu yang menyinari wajah Hasan yang tampan sesekali dia menggeliyat ke kanan dan ke kiri, bukti dia sudah terlelap dalam tidurnya, bersuka cita dalam dunia hayal.

Bagaimana keseruan kelanjutan ceritanya

Akankah Hasan dapat menemui Aurel pujaan hatinya? Apakah Hasan mampu mengatakan putus pada Aurel?

Jangan lewatkan kisah selanjutnya.

ตอนถัดไป