"Halo, halooooo! Pak, halooooo!" teriak Bianka dengan ketegangannya. Eluhnya sudah mulai berjatuhan di dahinya. Dia sungguh ketakutan, bahkan sesekali mengelap eluhnya secara cepat. Tubuhnya gemetaran dengan hebatnya dan seketika teleponnya pun terlolos begitu saja di genggaman tangannya. Sampai-sampai Bianka tak sadar kalau ponselnya tergeletak di lantai dan sudah sedikit retak.
Bianka yang tak kuasa dengan semua itu, langsung duduk bersimpuh, rasanya kakinya melemas dan tak bisa menahab beban beratnya, lalu Bianka memanggil kedua orang tuanya dengan sekeras mungkin. Suaranya sungguh sangat serak dan terbata-bata karena menahan air matanya.
"I—Ibuuuu, A—Ayaaaaah. To—tolong Biankaaaa, hiks, hiks, hiks." Kini Bianka sudah mulai menangis. Dadanya terasa sesak sekali. Tangannya meremas-remas tepat di bagian jantungnya. Sungguh dia bagaikan mimpi di pagi hari. Hatinya seperti tertancap beribu-ribu pedang yang sangat tajam. Ia pun membatin.
'Apa salah dan dosaku, Tuhaaaan. Kenapa ini semua terjadi? Aku mohon, Tuhaaaan. Selamatkanlah dia, kalau tidak pastinya aku tidak akan bisa hidup lagi karena sudah tentu aku akan menjadi janda. Hiks, hiks, kabulkanlah doaku, Tuhaaaan. Aku mohoooon.'
Tadinya memang kedua orang tua Bianka sudah mendengar teriakan Bianka sewaktu menerima telepon. Namun, mereka mengira Bianka hanya acting untuk mengelabui mereka agar mereka segera secepatnya keluar dan tak di dapur saja, seperti sedang mengganggu kedua orang tuanya berpacaran. Tapi, saat mendengar jeritan Bianka untuk yang kedua kalinya. Mereka pun bergegas untuk menuju ke arah Bianka, berhamburan dengan cepat, takut anaknya kenapa-kenapa, sampai-sampai ibu Bihana tak mematikan kompornya.
Ada apa, Nak? Kamu kenapa? Apa ada masalah?" tanya ayah Burhan dengan khawatir, saat mendapati anaknya sudah duduk bersimpuh dan memprihatinkan seperti itu.
Ibu Bihana juga sama khawatirnya. Beliau langsung ikut duduk bersimpuh dan kedua tangannya memegang pundak Bianka dengan lembut. Menatapi Bianka, melihat kesedihan di dalam matanya.
"Nak, jawab Ayah! Ada apa? Apa Betran kurang ajar? Dia tak jadi pulang? Begitukah? Benarkah begitu? Kalau iya biar Ayah maki dia nanti di telepon, mana teleponmu biar Ayah maki dia." Suara ayah Burhan sudah semakin meninggi. Itu artinya beliau sudah tegas dan pertanyaannya wajib dijawab. Saking tidak sabarnya, beliau ikut duduk bersimpuh dan meraih bahu Bianka, mencengkeramnya erat. Menggoyangkan bahunya dengan cepat, supaya putrinya segera berucap.
Akhirnya Bianka pun membuka bibirnya, akan menceritakan semuanya. Digelengkan kepalanya, tak setuju dengan tindakan Ayah Burhan. "Bu—bukan, Ayah. Ibuuuu. Ini semua tidak mungkiiiin, hiks, hiks, mas Betran, dia ... dia katanya kecelakaan, di kota X, bagaimana ini? Aku takut dia ... dia pergi meninggalkanmu, huaaaa hiks." Setelah menjelaskan itu. Bianka menangis kembali dengan sesenggukan, menunduk penuh ketidakberdayaan. Ibu Bihana dan ayah Burhan pun langsung memeluknya erat.
"Apa semua ini benar? Apa yang meneleponmu bukan penipu? Kebanyakan kan penipu, Nak, zaman sekarang," tanggap ibu Bihana yang juga ikut gemetaran takut. Namun, beliau mencoba tenang supaya putrinya itu bisa tenang.
Sementara ayah Burhan sudah tegang dan tak bisa mengucapkan sepatah kata pun, ternyata firasatnya yahg tidak enak dari kemarin adalah ini. Jadi terjadilah sudah sekarang, rasa marah, kesal, sedih, bercampur menjadi satu. Rasanya beliau tak habis pikir dengan putrinya yang dulunya penurut, kini melawannya. Jadi semua yang terjadi menurutnya adalah kesalahan Bianka sendiri karena keputusan yang diambil sendiri. Itulah akibatnya apabila tidak patuh kepada orang tua.
Tapi tetap saja ayah Burhan hanya bisa menyalahkan putrinya di dalam hatinya saja, beliau tak akan tega mengeluarkan unek-uneknya, apalagi memarahi anaknya, apalagi sekarang lagi sedih-sedihnya, jadi beliau hanya bisa memendamnya saja. Dan mencoba menenangkannya.
"Mungkin lagi diberi musibah sama, Allah, Nak. Kamu yang sabar saja! Lebih baik kita pastikan saja ke tempat kejadian perkara itu, agar tau itu benar atau hanya penipuan, tapi tetap kamu harus bisa tabah kalau itu benar-benar terjadi, mungkin itu sudah takdirmu, coba kamu patuh kepada Ayah dan Ibu kemarin, pastinya tidak akan seperti ini," terang ayah Burhan.
Awalnya beliau memberikan ketenangan untuk anaknya, tapi kalimat terakhir beliau membuat Bianka sakit hati dan menyesali perbuatannya sesaat. Juga membuat Bianka semakin meneteskan air matanya dengan deras. Tapi bagaimana lagi? Bianka bisa apa, hanya bisa pasrah dan mencoba menerima kenyataan yang ada kalau beneran kejadian nanti.
"Sudah, Ayah! Jangan dimarahi dulu putri kita, kita lihat ke sana dulu untuk memastikan, sekarang bukan saatnya untuk saling menyalahkan, nanti saja kalau sudah pasti dan sudah reda bisa kita bicarakan baik-baik lagi," sela ibu Bihana. Beliau bukan berniat membela Bianka, hanya saja ingin mendinginkan suasana hati masing-masing. Agar tidak saling menyalahkan terlebih dahulu.
Dan ketika ayah Burhan sudah reda rasa di hatinya, beliau pun mengangguk saja, menyetujui ucapan istrinya. Tidak berbicara lagi dan mereka semua pun bangkit dari duduknya. Berencana untuk menuju ke kota X tersebut agar semakin jelas semuanya. Mereka pun berjalan bersama ke arah luar. Mencoba mencari bus di jalan raya sana. Agar bisa ke kota X itu, karena ke kota X butuh waktu satu jam lamanya kalau naik bus, berbeda dengan naik ojek, pastinya cepat naik ojek. Namun, mereka kan bersama-sama jadi naik bus lebih nyaman. Karena memang mereka tidak mempunyai mobil, biasa orang kampung dan hidup sederhana, di kampung itu orang yang mempunyai mobil juga hanya 3 orang saja.
Di dalam bus sesekali Bianka melihat jam yang melingkar di lengannya. seluruh tubuhnya masih gemetaran bahkan dia hampir saja terjerembah, untungnya ayah Burhan berada di sampingnya, jadinya beliau langsung memeganginya erat-erat.
"Kamu tidak apa-apa, Nak? Apa kita pulang saja? Tidak jadi ke sana?" tawar ayah Burhan yang takut putrinya itu kenapa-kenapa. Jadi memberikan tawaran seperti itu.
Bianka hanya menggeleng, karena dia ingin memperjelas semuanya, kalau pulang jelasnya dia tidak akan tau dengan mata kepalanya sendiri. Makanya sekarang dia mencoba menenangkan hatinya, supaya bisa kuat sampai ke sana. Bisa-bisa diajak pulang ayahnya beneran kalau dia tidak kuat dan cengeng.
"Ya sudah, kalau enggak mau pulang, yang sabar dulu, Nak, semoga saja semua ini tidak benar, amin, kamu aja kesehatan," lanjut ayah Burhan. Memang beliau kesannya suka kesal orangnya, karena sifatnya tegas dan agak kaku, tapi sebetulnya beliau sangat menyayangi Bianka, bahkan melindungi keluarganya dengan sebaik mungkin. Makanya ketika Bianka tak patuh beliau tak terima karena putrinya itu sejak kecil selalu patuh kepadanya.
"Baiklah, Ayah, maafkan Bianka, Bianka Banyak salah, pokoknya sekali lagi Bianka minta maaf, Ayah," seru Bianka dan hanya diangguki kepala saja oleh ayahnya. Bianka tau kalau ayahnya kesal kepadanya, jadi hanya begitu saja sikapnya.