webnovel

Bahagia Tiada Tara

"Sepertinya otakmu sudah meleleh karena terik matahari yah?" celetuk Lucas begitu melihatku datang.

"Memangnya kenapa?"

"Sedari tadi ku perhatikan, kau senyum-senyum tidak jelas," Lucas memperhatikan lekat-lekat, dari ujung kepala hingga kaki. "Jangan-jangan kau ini Alien yang menyamar sebagai Bryan kan?"

Aku memutar bola mata, menghiraukan tuduhan Lucas yang tidak masuk akal. Kadang kala ucapan pemuda itu terkesan berlebihan. "Kau marah? Harusnya aku yang begitu karena kau tinggalkan sendirian di dalam kerumunan tadi."

Lucas memutar badan, tak lagi menghadap ke arahku. "Itu kan salahmu sendiri, kenapa tak mau ikut pergi."

Sama persis seperti ketika kami kecil. Dimana menyalahkan satu sama lain menjadi hal wajar untuk dilakukan. Tak terkecuali bagi Lucas, seringkali dia membebankan kesalahannya pada ku yang tidak tahu apapun. Pemuda berkulit coklat itu masih saja bersikap kekanakan.

"Kau hanya beli satu permen apel saja? Dasar, teman macam apa kau!"

Lihat kan, sekarang saja dia masih bersikap kekanakan pada hal sepele semacam ini.

"Memang kenapa kalau aku hanya beli satu?" Aku mencoba menggodanya kemudian, memakan permen apel dengan cara paling menikmati. Aku menjilati lapisan karamel yang di luar permukaan kulit apel kemerahan sebelum ku gigit dalam potongan besar hingga menyebabkan retakan di sisi-sisi lain. Aku menatap langsung ke wajahnya ketika rahangku mulai bergerak naik dan turun, mencabik serta mengoyak daging apel dengan gigi graham dan taring. Menghasilkan suara kecipak yang cukup menjijikan sebenarnya.

"Hoy!" Lucas langsung menggeser tubuhnya ke sisi lain, menjauh dari tempatku duduk. "Hentikan itu!" Dia menjerit keras-keras sembari menutupi lubang telinganya.

"Ayolah, ini hanya suara kunyahan saja," Aku mengejek ketakutannya, yang mana merupakan tindakan buruk untuk mengolok-olok ketakutan seseorang. Namun, ini kulakukan untuk membalas sikap pongah dari Lucas. "Kalau kau takut dengan suara kunyahan bagaimana caramu makan huh?"

Tak ada jawaban dari Lucas selain tatapan matanya semakin menajam seiring alis tebalnya kian menyatu. Hal yang biasa dia lakukan untuk menakut-nakuti orang lain, rupanya Lucas memang sadar mengenai tampangnya yang terkesan garang. Terbukti dengan beberapa kali anak kecil maupun balita menangis setiap bertatapan atau tak sengaja melihat pemuda itu. Tetapi tentu saja hal yang sama tak akan berlaku terhadapku. Aku bukanlah anak kecil, lagipula aku juga seorang pria.

Maka, bukannya berhenti, aku malah semakin menjadi-jadi menggoda Lucas. Menambah frekuensi suara kunyahan dari potongan permen apel merah. Mulutku bergerak dalam tempo lebih cepat dan liar untuk menggiling potongan buah cukup besar itu, membuat beberapa bagian daging buah mencelat keluar bersamaan dengan air sari patinya yang menetes-netes.

"Argghh!!" Lucas tampaknya sudah pada titik paling frustasi. Aku sendiri tak tahu awal mula kenapa dia tak menyukai suara kunyahan, tetapi setiap kali aku makan sesuatu lalu menghasilkan bunyi lumayan keras dia langsung merasa terganggu. Awalnya hanya sekedar mengerutkan alis atau dahi, kemudian dia akan menyumpalkan earphone ke lubang telinga, berpura-pura mendengarkan musik. Dan, jika sudah mencapai puncak batas kesabaran, dia tak segan-segan melakukan hal tidak terduga.

Seperti sekarang.

Tangannya yang besar bergerak cepat —sebelum aku menyadari— membungkam mulutku rapat-rapat. Hanya tersisa beberapa jengkal saja jarak antara wajahku dan Lucas, bahkan aku bisa merasakan hembusan nafas hangat pria itu menerpa mataku. Secara reflek membuat kelopak mataku menutup beberapa saat. Begitu membuka mata kembali, aku mendapati sepasang mata coklat berpendar tepat di hadapanku. Sangat dekat, sampai-sampai aku dapat melihat sulur-sulur di dalam manik kecoklatan.

"Jangan lakukan itu."

Nada bicara Lucas menjadi berubah, terkesan lebih dingin dari sebelumnya. Penuh penekanan meski tidak dituturkan secara keras-keras. Jenis perintah yang langsung membuatmu mengangguk mengerti tanpa adanya protes. Lucas seolah-olah menjelma menjadi sosok yang berbeda. Tak ada candaan terpancar di kedua bola mata miliknya.

Beberapa detik terasa seperti puluhan jam. Aku tak tahu kenapa ini bisa terjadi. Firasatku mengatakan sesuatu yang janggal sedang berlangsung, tetapi tak tahu secara pasti.

Lucas akhirnya melepaskan tangan dari mulutku. Dia menggeser posisi duduknya lebih jauh, juga membalikkan badan, memunggungiku.

Kejadian tak terduga barusan sedikit membuatku merasa sungkan terhadap pemuda itu. Baru pertama kali aku melihat ekspresi serius di wajah Lucas. Apakah aku sudah kelewatan? Mengejek ketakutan seseorang saja bukanlah hal yang patut dilakukan, apalagi benar-benar menakuti.

"Kau mau?"

Sepertinya ada sesuatu yang tidak beres dalam isi kepalaku. Orang waras mana yang bertingkah polos seolah tak merasa bersalah sama sekali setelah membuat marah seseorang? Aku sudah gila. Namun sudah terlalu terlambat untuk menyesal. Istilah mengenai ucapan yang ditarik kembali terkesan mengada-ada.

Lucas mengerling tajam. Aku bisa melihat guratan di atas dahinya, menandakan kalau suasana hatinya sedang tak baik-baik saja. Lalu, suara decakan terdengar.

"Sini!"

Dia mengambil alih permen apel -yang sudah termakan separuh- dari tanganku secara cepat dan langsung menggigit setiap bagian daging buah dengan lahap.

"Whoaa.. santai sobat. Apa kau sangat kesal karena aku hanya membawa satu saja?"

"Diam kau."

Aku terkekeh pelan, melihat ekspresi kesal Lucas ternyata cukup menyenangkan juga.

Tetapi tak lebih menyenangkan daripada mendapatkan tanda tangan dari seorang idola tentu saja.

Melirik ke bagian bawah, tepatnya pada letak saku depan celanaku berada. Di sana tercetak samar-samar lekukan persegi dari kertas yang terlipat menjadi beberapa bagian (aku lupa persisnya). Bukan sekedar kertas biasa karena di dalam sana terdapat coretan paling berharga yang tak akan bisa dinilai dengan uang manapun.

Rasanya seperti baru saja mendapatkan penghargaan paling bergengsi dalam sejarah. Senyuman pria bermata biru masih terbayang jelas dalam benakku saat aku memberikan dua buah permen apel padanya. Ucapan terimakasih yang keluar dari mulutnya terdengar seperti simfoni paling indah. Bahkan, sampai sekarang pun aku masih bisa mengingat aroma marshmellow yang menguar dari tubuhnya. Setiap detik berlalu merupakan waktu berharga seumur hidupku.

Sayangnya, aku tak cukup berani untuk meminta foto bersama. Segala bentuk keindahan hanya bisa ku simpan di dalam memori otak.

Tidak masalah, setidaknya aku sudah mengetahui nama pria bermata biru itu juga telah mendapatkan coretan tangan asli miliknya.

"Kumat lagi kau," celetuk Lucas.

"Apa?"

"Wajahmu itu, sedari tadi senyum-senyum tidak jelas. Kau membuatku takut tahu."

"Begitukah? Kau melihatku tersenyum dari tadi?" tanyaku sembari menggeret kursi agar lebih dekat pada si pemuda berkulit coklat. "Aku bahagia sekali~" Lucas memperlihatkan raut wajah terkejut saat aku mencengkram kedua bahunya lumayan keras.

"Kau benar-benar tak waras." Dia berusaha melepaskan tanganku dari bahunya.

"Benar katamu. Aku memang tak waras~ Aku sudah gila Lucas! Sudah gila!" Kini, aku menggoncang bahu pemuda itu dengan cepat dan liar sebagai bentuk pelampiasan rasa senang yang luar biasa.

"Akh!! Lepaskan aku orang gila!"

Next chapter