webnovel

Manusia tiga dimensi

"Akan butuh waktu yang sangat panjang untukku menjelaskan sampai kamu paham dan mau menerima eksistensi dunia bawah. Sekarang, pilih salah satu dari sekian banyak pertanyaanmu. Pilih yang paling ingin kamu ketahui. "

Max berusaha meringkas waktu. Dia menatap Elia yang mulai berpikir.

"Setelah mendengar penjelasanmu, meskipun aku belum bisa mempercayainya, tapi aku memiliki dua hal yang ingin kuketahui sekarang. Pertama, siapa yang membunuh ibuku? Lalu yang kedua, siapa ayahku? katamu dia adalah seorang siluman, aku jadi ingin tahu, siluman macam apa dirinya. Jika dunia bawah seperti dunia kita, di mana ada orang baik dan jahat, aku ingin tahu apakah ibuku berhubungan dengan siluman yang baik atau jahat."

Kejujuran Elia membuat Max tersentuh. Dia bangga karena Elia memiliki suatu prioritas dan tahu pasti yang diinginkannya.

"Aku juga ingin mengetahui keduanya."

Max terkejut ketika Elia tiba-tiba mencengkeram kedua telapak tangannya dengan sungguh-sungguh. Jantungnya berdegub kencang ketika mendengar Elia berkata, "Karena itu, tolong bantu aku untuk menemukannya. Aku akan berusaha untuk menyesuaikan diri dengan dunia bawah, maksudku Bawah Tanah, apapun bentuknya, aku akan berusaha. Aku rasa jika dunia itu dipenuhi dengan perang kekuatan, kamu harus mengajariku, seperti yang kamu katakan agar aku bisa melindungi diriku."

Kesungguhan dalam tatapan Elia membuat kata-kata Elia memiliki kekuatan untuk meluluhkan hati setiap orang yang mendengarnya. Max sebenarnya tidak membutuhkan itu karena dia sudah bertekad untuk melakukannya sejak membawa Elia masuk ke ruang rahasianya. Max mengangguk pada Elia.

"Karena kita sudah sepakat untuk mencari tahu tentang ibumu maka, mari kita fokus ke sana. Soal dunia Bawah Tanah, aku percaya kamu bisa mempelajarinya sambil menyelam ke lingkungan itu. Satu hal yang harus kamu waspadai sejak sekarang, realitamu berbeda dengan realitas manusia biasa. Kita hidup di dunia yang sama tapi dengan realitas yang sama sekali berbeda. Kedua mata kita menangkap realitas yang tak dilihat oleh manusia biasa. Batasan antara makhluk dunia bawah, dunia tengah, dan dunia atas hanyalah ini," Max menunjuk matanya sendiri.

"Manusia tidak bisa melihat semua makhluk, begitu pula dengan makhluk dari dimensi lainnya, karena kemampuan mata mereka berbeda," tegas Max. "Meskipun begitu, selalu ada pengecualian. Setiap 500 tahun sekali ada manusia yang dilahirkan untuk bisa berkomunikasi dengan tiga dunia."

"Setiap 500 tahun sekali?"

"Ya, dia hampir pasti akan disebut dewa jika dia terlahir sebagai laki-laki, disebut sebagai dewi jika dia terlahir sebagai perempuan."

"Apa dia manusia tulen?"

"Tidak ada yang tahu pasti soal itu. Secara fisik dia adalah manusia, tapi realitas yang dijalaninya melebihi manusia pada umumnya. Aku hanya pernah mendengar cerita tentangnya dalam buku-buku. Kelak kamu bisa mampir ke perpustakaan itu dan membaca informasi tentang manusia tipe itu. Dia disebut juga dengan istilah manusia tiga dimensi, karena dia bisa menguasai ketiganya. Dia sudah menjadi mitos secara turun temurun."

"Apa itu artinya dia bisa menjadi penguasa seluruh alam semesta?"

Pertanyaan Elia terdengar ringan, tapi nuansa yang diakibatkan olehnya tidak seringan susunan kalimat itu. Max merenung.

"Apa tidak tertulis seperti itu di bukunya?"

Max menggeleng. "Tidak ada informasi sampai sejauh itu. Kamu bisa membacanya sendiri kelak."

"Perpustakaannya ada di dunia manusia?"

"Antara ya dan tidak. Dia ada di dimensi ruang dan waktu yang unik. Perpustakaan itu bernama Kalaseba. Seorang kakek tua menjadi penjaga perpustakaan itu dan hanya orang atau makhluk apa saja yang diijinkannya yang boleh mengakses informasi di dalamnya."

Elia terlihat agak kecewa mendengar informasi itu. "Itu artinya aku belum tentu akan diundang olehnya, ya kan?"

Max mengangguk. Dia senang Elia lekas paham dalam hal ini.

"Karena itu jadilah sosok yang dipilih olehnya," ucap Max dengan preferensi untuk meningkatkan minat Elia pada ketiga dunia dan bisa mempermudah jalan hidup Elia.

"Sekarang kita lupakan dulu soal manusia tiga dimensi. Kita fokus mencari tahu tentang Bibi."

Elia mengangkat kepalanya. "Kenapa kamu memanggil ibuku dengan Bibi? dia punya nama yang indah!"

"Maaf kebiasaan."

"Aku harap kamu tidak lupa nama ibuku! Bunga Sumanasa! kamu dengar? ingat-ingat itu!"

Max tertawa. Sementara Elia masih mbesengut.

"Kamu sudah punya rencana? ibuku Bunga Sumanasa harus mendapatkan keadilan! Pembunuhnya harus mendapatkan hukuman!"

Max tertawa lagi.

"Sudahlah, aku tahu maksudmu, tidak perlu bersikap menyebalkan begitu!"

"Aku hanya berusaha untuk membangkitkan semangatku sendiri, tahu!"

"Oke, oke. Aku akan berusaha untuk memahainya."

"Harus!"

Di luar dugaan Max, Elia terlihat tidak sedih sama sekali saat itu. Dalam hati dia memuji kepiawaian Elia yang bisa menyembunyikan kesedihan dan kebingungannya.

"Kita akan mulai dari meminta bantuan," ujar Max.

"Hah?!"

"Kenapa hanya 'hah heh hah' saja?"

"Ya soalnya aku pikir kamu akan melakukan aksi heroik dengan menerobos masuk ke Bawah Tanah, mencengkeram kerah seseorang dan menanyakan siapa yang membunuh ibuku!"

"Ini bukan film hollywood."

"Ini sudah seperi film underworld yang kutonton!"

"Elia! please!"

"Oke, oke, sorry, jadi kita harus mencari bantuan pada siapa?"

Max berdiri dan menghampiri explotion boxnya. Elia mengikuti langkah Max.

"Sunshine, kita harus menemuinya."

"Siapa itu sunshine? kenapa namanya terdengar seperti pemain tarot?"

"Memang. Dia pemilik toko tarot sunshine, pernah dengar?"

"What?! Oh My GOD! aku sungguh belum terbiasa dengan ini, tolong aku. Buatlah otak dan hatiku untuk lekas memahami semua ini," kata Elia sambil bersimpuh, persis seseorang yang berdoa di depan altar Yesus.

"Jangan mengeluh," Max hampir meledak karena tertawa melihat gelagat jenaka Elia.

"Bagaimana mungkin aku bisa terbiasa dalam waktu singkat? duniaku jungkir balik dalam waktu 24 jam!"

"Protesmu tidak akan mengubah fakta," ucap Max sambil memasukkan barang-barang yang ada di dalam explotion bax ke dalam tasnya. Tas itu berupa tas carrier yang memiliki banyak kantong di dalamnya.

"Kenapa kamu bawa tas sebesar itu, apa tidak lebih baik minta tolong pada doraemon?"

"Doraemon itu hanya tokoh kartun, murni rekaan!"

Max merasa hampir gila. Dia pikir tidak bisa bertahan lama menanggapi cara Elia mencampuradukkan realita dan kehidupan kartun. Kalau saja Elia tidak cengengesan memperlihatkan ketidaktahuannya dengan jujur, Max mungkin sudah memilih mengurung Elia di ruang bawah tanahnya itu.

"Apa yang bisa kubantu? adakah yang harus kubawa?"

"Ini, bawa tas kecil ini. Barang di dalamnya adalah barang yang disukai sunshine."

"Lalu yang kamu bawa itu apa?"

"Semua yang akan kita butuhkan untuk perjalanan ini."

"Kita tidak akan pulang?"

Max menggeleng. "Tidak, jangan berharap bisa pulang kapan saja dengan tenang karena tujuan kita bukan travelling untuk mendapatkan hiburan atau inspirasi ala para penulis."

"Kalau begitu kita harus mampir ke departemen store."

"Untuk apa?"

"Aku butuh pakaian Max."

Max memperhatikan kaos yang dipakai Elia. Kaos itu miliknya dan seketika dia ingat tas Elia telah dicuri.

"Kamu bisa belanja pakaian dan kebutuhanmu di toko Sunshine."

"Bukannya itu toko tarot?"

"Dia juga membuka bisnis fashion."

Max menyeringai dan menahan geli melihat ekspresi terkejut Elia. Hati-hati dia mencoba menanggapi pertanyaan Elia. "Dia perempuan, manusia tulen atau setengah siluman?"

ตอนถัดไป