webnovel

Mentertawakan

"Tempat yang indah. Tempat ini sangat cocok untuk minum arak," ujar Pendekar Tangan Sakti sambil menghela nafas.

Dia benar-benar terpukau dengan pemandangan yang sekarang terpampang jelas di depan matanya. Lembah ini sungguh memberikan kenyamanan dan rasa tenteram.

"Apakah kau mau minum arak?" tanya Raka Kamandaka sambil berpaling ke arah sahabat barunya tersebut.

"Kalau ada, tentu saja mau," katanya tertawa ringan.

Seorang setan arak sepertinya, mana mungkin dia akan menolak jika seseorang menawarkan arak? Sebanyak apapun arak yang ditawarkan, Arya Saloka tidak akan menolaknya. Karena bagi dia pribadi, arak adalah segalanya.

Lalu bagaimana dengan Raka Kamandaka? Apakah kelak, dia juga akan menjadi setan arak seperti Pendekar Tangan Sakti?

"Ada, tentu ada,"

"Di mana?" tanya Arya dengan wajah berseri.

"Di Kotaraja. Tunggu di sini sebentar, aku akan membelikannya untukmu," kata Raka Kamandaka.

Tidak menanti jawaban Arya Saloka, dia lantas melesat pergi turun ke kaki lembah. Hanya beberapa kejap saja, bayangan tubuh pemuda itu sudah tidak terlihat lagi.

Arya Saloka memandangi punggung orang. Tanpa sadar dia menggelengkan kepalanya beberapa kali.

"Pemuda yang istimewa. Aii, tidak kusangka kalau nasib Keluarga Kamandaka bakal berakhir tragis. Sekarang hanya kau satu-satunya yang tersisa, Raka. Aku cuma berharap bahwa kau bisa mengungkap misteri besar ini, aku juga ingin kau membalaskan dendam Keluarga Kamandaka," katanya bergumam seorang diri.

Semilir angin berhembus. Menerbangkan dedaunan kering. Membawa lantunan irama seruling yang ditiup dengan merdu. Jauh di kaki lembah, tampak seorang pria tua sedang menggembalakan ternaknya kerbaunya.

Dia duduk di balik batu hitam besar. Pria itu memakai caping bambu. Dengan seruling bambu di tangan, orang tua tersebut terus meniupnya dengan segenap hati dan perasaan.

Kira-kira beberapa saat kemudian, nampak dari kaki lembah ada seorang berpakaian putih yang sedang berlari menggunakan ilmu meringankan tubuhnya. Orang itu menuju ke atas, persis ke tempat Arya Saloka berdiri sekarang.

Raka Kamandaka.

Ya, yang berlari itu memang dirinya.

Sekarang pemuda tersebut sudah tiba di hadapan Arya. Di tangan kanannya ada tiga guci arak dan satu kendi air putih yang di buntal dengan kain. Di tangan kirinya ada dua nasi timbel (nasi dibungkus memakai daun pisang).

"Cepat juga kau," katanya menyambut kedatangan Raka.

"Bukankah lebih cepat lebih baik?" jawabnya sambil tersenyum.

"Hahaha, benar, benar juga,"

"Sekarang sudah siang hari. Aku juga tahu kalau kau sebenarnya sudah lapar. Kebetulan sekali aku membeli dua nasi timbel. Mari kita makan lebih dulu,"

"Usul yang baik. Sepertinya kau selalu memahami orang lain,"

"Bukan selalu memahami, lebih tepatnya berusaha untuk memahami," jawab Raka samb tersenyum.

Memangnya di dunia ini ada manusia yang benar-benar memahami manusia lainnya?

Jawabannya tentu tidak ada. Sebab kalau ada, tidak mungkin di alam mayapada ini terjadi berbagai macam hal yang ditimbulkan hanya karena salah paham.

Jika manusia benar-benar dapat saling memahami satu sama lain, maka bisa dipastikan kalau kehidupan di muka bumi akan aman tenteram.

Bukankah begitu?

Setelah itu keduanya segera duduk bersila. Dua nasi timbel sudah dikeluarkan, mereka segera menyantapnya dengan lahap.

Meskipun dengan lauk ala kadarnya, tetapi nasi timbel itu begitu terasa nikmat. Apalagi kalau memakannya di tempat nyaman dan indah seperti sekarang ini. Kasarnya, walaupun dengan lauk berupa garam, nasi timbel tersebut tetap bakal nikmat.

Sebenarnya, ada lauk atau tidak ada lauk itu sama saja. Karena rasa nikmat hakikatnya bukan datang dari lauk makan. Melainkan dari hati. Dari rasa syukur kita kepada Sang Hyang Widhi.

Bukan cuma masalah lauk, bahkan masalah apapun itu, jika kita berusaha untuk selalu bersyukur dengan ikhlas, maka semuanya tetap akan merasa nikmat.

Tetapi sayang seribu sayang, berusaha bersyukur pada saat ujian berat menghampiri kehidupan, hal itu adalah sesuatu yang paling sulit. Sama sulitnya seperti mengangkat gunung yang hijau nun jauh di sana.

Di dunia ini, kira-kira berapa banyak orang yang selalu bersyukur meskipun hidupnya selalu didera cobaan?

Nasi timbel sudah habis beberapa saat lalu. Sekarang dua pendekar muda itu sedang duduk bersila. Sepasang mata mereka masih tetap memandang jauh ke depan sana. Seolah-olah di kejauhan sana mereka melihat masa depannya masing-masing.

Pada saat demikian, tiba-tiba Arya Saloka tersenyum seorang diri. Senyuman yang tulus. Namun Raka tahu bahwa dibalik senyuman tersebut, sebenarnya ada perasaan pedih tersendiri.

"Apakah kau sedang mentertawakan ketiga puluh orang-orang berbaju hitam itu?" tanyanya sambil melirik sekilas ke arah Arya Saloka.

"Bagaimana kau bisa tahu?" jawab Arya sambil melirik pula.

"Karena aku pun sama sepertimu, sedang memikirkan dan mentertawakan mereka,"

"Aihh, sepertinya di alam mayapada ini banyak sekali kejadian sama yang tak terduga sebelumnya,"

"Malah teramat banyak sekali,"

Arya Saloka menghela nafas. Dia setuju dengan Raka bahwa di dunia ini, teramat begitu banyak kejadian serupa yang terjadi secara murni kebetulan.

"Aku hanya heran, kenapa mereka menuduh diriku seperti itu?" pertanyaan itu seperti tidak ditujukan kepada Raka Kamandaka. Arya Saloka seolah bertanya kepada dirinya sendiri.

Namun karena di situ ada dirinya, terutama sekali karena sedikit banyak diapun mengerti akan duduk perkara, maka Raka lantas segera menjawab, "Mungkin karena kau terlalu berbahaya. Sehingga mereka membuat tuduhan tanpa ada sebab dan bukti seperti itu,"

Nama Pendekar Tangan Sakti sudah tidak asing lagi bagi siapapun. Khususnya bagi orang-orang yang berkecimpung dalam dunia persilatan. Di Tanah Pasundan, tiada seorangpun yang tidak mengenal dirinya. Setiap insan pasti kenal.

Kemunculan Arya Saloka dalam dunia persilatan sebenarnya jauh lebih dulu jika dibandingkan dengan Raka Kamandaka. Kira-kira, nama Pendekar Tangan Sakti sudah menggetarkan dunia persilatan sejak satu atau dua tahun berselang.

Mempunyai nama besar di usia muda, membuat dirinya tidak bisa hidup dengan tenang. Setiap saat, setiap waktu, nyawanya selalu terancam.

Entah sudah berapa banyak orang yanh mencari masalah dengan dirinya. Hanya menurut firasat, masalah kali ini tidak sesederhana yang terlihat. Dia yakin, di balik ini ada misteri besar yang masih belum terkuak.

Terlepas misteri apakah itu, jangankan dirinya, malah orang lain pun pasti tidak akan ada yang tahu.

"Entahlah. Ucapanmu memang benar. Aku paling tidak suka melihat kejahatan yang terjadi di depan mata, perduli siapakah pelakunya, aku tidak akan segan untuk membasmi," kata Arya Saloka lalu meneguk arak dalam guci.

Jawaban yang dilontarkan olehnya sangat masuk akal. Hidup sebagai pendekar yang membela kebenaran, tentunya harus siap menghadapi segala macam halang rintangan. Ketika ada kejahatan di depan mata, bagaimana mungkin dia akan diam saja?

Mungkin dari persoalan semacam itulah, banyak sekali orang-orang yang memburu nyawanya hingga detik ini.

Next chapter