Fadil terpesona dengan gadis berambut putih itu, lalu dia melambaikan tangannya tanpa berkedip. Sarah cemburu lalu menarik tangannya, berjalan cepat meninggalkan pasar. Sebelum pulang mereka berdua mampir ke kedai baso untuk menyantap makan siang. Mereka berdua duduk saling berhadapan, sembari menikmati mie ayam baso dan jus jeruk. Sarah sangat menikmati makan siangnya, gadis itu tersenyum manis sembari mengunyah makannya. Rasanya dia ingin mencicipi seluruh makanan yang ada di bumi.
Andaikan makanan bumi tersedia juga di Negeri Kayangan, mungkin ia akan makan setiap hati hingga gemuk. Sementara itu Fadil terdiam, sembari memikirkan apa yang sebenarnya terjadi. Kenapa makhluk mengerikan itu bisa muncul? Dan ada apa? Itulah yang sedang dia pikirkan saat ini.
"Apa yang sedang kamu pikirkan?"
"Makhluk itu. Sebenarnya makhluk apa itu?"
"Makhluk itu berasal dari dimensi asral, atau kalian menyebutnya dunia hantu."
"Benarkah? Seharunya mereka tidak bisa menampakkan diri, sebenarnya apa yang terjadi?"
"Aku juga tidak tau sayang, yang pasti ayahandaku sering bercerita berulang-ulang. Bahwa energi jahat serta pengaruh iblis, sedang merajarela dan mungkin sebentar lagi para pasukan iblis dari alam tersebut akan menyerang dunia kita."
"Hmm..."
"Maka dari itu, sayang kamu harus menguasai Ajian Brahjamusti. Padahal, kamu sudah punya api dari inti bumi. Tapi kamu belum mencapai tingkat puncak."
"Maklum sayang, namanya juga pemberian. Bisa memakainya di tingkat satu pun sudah bersyukur." Ujarnya tertunduk lesu.
"Maka dari itu, secepat mungkin kamu harus menguasai tingkat puncak."
"Apa yang harus aku lakukan untuk mencapai tingkat puncak?"
"Pertama kita latih ketahanan tubuhmu. Jangan tersinggung, dengan perut gentong serta tubuh gempalmu itu, mana bisa mencapai tingkat puncak."
"Perut gentong yah," ujarnya tertunduk lesu.
"Setidaknya jika roh jahat atau pengguna sihir hitam itu muncul. Kamu bisa menghadapinya sendiri," ucapnya pada Fadil yang tertunduk lesu.
Padahal ia ingin sekali mengejar impiannya, tetapi karena kehadiran para roh jahat serta pengguna sihir hitam, membuat dirinya merasa pesimis. Dalam hati dia pun bertanya, apakah dia bisa melakukannya? Sekilas dia mengingat almarhum kakeknya, ketika dia tersenyum membicarakan impiannya. Juga ucapan ibunya, menatap dirinya dengan penuh kepercayaan. Gadis itu menggenggam kedua tangannya, lalu dia berkata.
"Aku yakin kesayanganku bisa melakukannya," ucapnya sembari tersenyum kepadanya, seolah tau apa yang sedang di pikirkan.
"Iya, terimakasih." Jawabnya sembari membalas senyuman. "Oh iya ada hal penting yang ingin aku tanyakan."
"Apa itu?"
"Kamu mengenal gadis berambut putih itu?"
"Iya, aku mengenalnya. Memang kenapa?" Gadis itu bertanya kembali.
"Aku penasaran siapa namanya? Mungkin saja, aku bisa mencari keberadaanya." Ucapnya dengan malu-malu.
Sarah menatap cemburu, lalu ia berkata bahwa jika ingin tau maka dia harus mencarinya sendiri. Kemudian Sarah melingkan wajah dan pergi begitu saja. Fadil menatap heran, tak mengerti di balik sikapnya itu. Selesai membayar, mereka berdua melaju kembali pulang ke rumah. Panasnya terik matahari serta asap kendaraan, membuat mereka berdua tak henti meneteskan keringat. Kepala Fadil terasa pusing, ketika di paksa menghirup asap hitam lalu Sarah meminta agar mencari tempat menepi.
Kemudian mereka mampir ke sebuah mini market di pinggir jalan. Mereka membeli minuman dingin dan roti untuk di nikmati bersama. Selesai membayar, mereka berdua duduk di sebuah kursi panjang depan mini market. Fadil menikmati sebotol isotonik hingga habis, lalu dia bersandar pada sebuah bangku. Dia kelelahan karena lamanya menyetir, begitu juga dengan Sarah namun rasa lelahnya tak sebanding dengan Fadil.
"Sayang," sapa gadis itu.
"Iya?"
"Sini baringkan kepalamu di atas pahaku," ucapnya sembari menepuk pahanya sendiri.
Raut wajahya seketika memerah. Dia menatap gadis itu cukup lama, tanpa berkedip tidak percaya dengan apa yang dia dengar. Pemuda itu bertanya kepada Sarah mengenai kesungguhannya. Dan ternyata apa yang ia tawarkan, murni kesungguhan dan keinginan hatinya sendiri. Fadi menggeser tempat duduknya secara perlahan, lalu dia berbaring dan kepalanya bersender di pahanya. Gadis itu merasa geli, ketika rambut mulai menyentuh pahanya, sedangkan Fadil merasa malu serta salah tingkah.
Sarah memijat-mijat kepalanya, hingga pemuda itu merasa nikmat. Matanya terpejam, menikmati sensasi pijatan yang di berikan olehnya. Seketika naluri seorang lelaki berkumandang kepadanya, dia terbangun lalu melepas kemejanya dan menutup celah diantara kedua pahanya.
"Apa yang kamu lakukan?" Tanya Sarah dengan sedikit terkejut.
"Menutup celah, agar tidak ada lelaki yang mencuri kesempatan untuk mengintipmu."
"Sepertinya kamu berpengalaman sekali," ucapnya menatap Fadil dengan curiga.
"Iya dong, sebagai mantan pengintip tentu saja aku tau." Ucapnya sembari memejamkan mata karena nikmat.
"Berarti tadi pagi, kamu benar-benar mengintipku bukan?" Tunduh gadis itu.
"Iyah. Ah, tidak mana mungkin aku mengintipmu. Kamu lihat sendiri, wajahku yang sudah tertutup bantal." Bantahnya dengan raut wajah seketika memerah.
"Dasar genit, tukang ngintip." Ucapnya pada lelaki itu.
"Tapi sayangkan?" Goda Fadil.
"Diam!" Ujarnya sembari menjambak rambutnya hingga puas.
Berkali-kali pemuda itu meminta ampun, namun Sarah tetap menjambaknya. Tanpa mereka berdua sadari, orang-orang menatap iri kemesraan mereka berdua. Puas menjambak rambutnya, hingga rambutnya tak teratur mereka berdua kembali melanjutkan perjalanan. Jarum jam menunjukkan pukul dua siang, mereka baru saja tiba di rumah. Tina sedang duduk di teras depan, membaca sebuah novel dengan headset terpasang di kedua telingannya.
Dia hanya mengenakan kaos hijau dan celana pendek. Melihat kedatangan mereka berdua, Tina langsung melepas headset yang terpasang pada kedua telinganya. Sarah pun turun dari motor, sembari membawa dua kardus di kedua tangannya. Sedangkan Kakaknya berjalan dengan santai, tanpa merasa berdosa sedikit pun.
"Kakak!"
"Iya? Oh oleh-oleh? Tenang kakak belikan susu gula aren kesukaanmu." Ucapnya sembari mengambil sebotol susu dari dalam kardus, lalu memberikannya kepada adiknya.
"Kakak peka sedikit dong! Temannya lagi keberatan juga," ucapnya berbisik dengan perasaan jengkel.
Fadil menoleh ke arah gadis itu, lalu membawa dua kardus ke dalam rumahnya. Sedangkan Sarah duduk berhadapan dengan adiknya di teras depan. Tina terpesona akan kencantikannya, dirinya tak menyangka Kakaknya bisa membawa gadis secantik dirinya. Dia tersenyum tiada henti, sehingga mengundang tanda tanya bagi Sarah.
"Halo," sapa Sarah.
"Halo kak. Maaf untuk yang tadi, maklum selain keluarganya dia jarang sekali berbincang dengan gadis. Tapi aku terkejut, orang seperti kakakku bisa membawa orang secantik kakak."
"Kamu bisa saja, aku tidak secantik itu kok. Kamu hanya belum melihatnya saja," ucapnya dengan rendah hati.
Kemudian mereka pun berkenalan, Tina sangat senang akhirnya ia mengetahui nama gadis itu. Mereka mulai berbincang seputar lingkungan, dan fasion yang sedang menjadi perbincangan hangat. Sarah yang tak mengerti hanya mengiyakannya saja. Lalu Tina pun bertanya mengenai hubungan dirinya dengan kakaknya.
"Hubunganku dengan Fadil? Entahlah, yang jelas hubungan kami dekat."
"Bilang kekasih aja susah amat," ucapnya asal ceplos sembari meletakkan jus lemon di atas meja.
Seketika raut wajah Sarah merah padam, jantungnya berdegup kencang serta salah tingkah di buatnya. Dia terus memandangi Fadil, dengan rasa malu pemuda itu sesekali menjulurkan lidah padanya. Gadis itu bersumpah, akan menghajarnya dengan bantal di dalam kamar. Sejujurnya dia sangat senang Fadil berkata seperti itu, namun dia tidak bisa mengungkapkannya dengan kata-kata. Melihat tingkah Sarah, Tina percaya begitu saja dengan apa yang kakaknya katakan.
"Dua belas tahun lamanya, akhirnya kakak punya pacar juga." Serunya membuat Fadil sangat malu.
"Sudah hentikan kakak malu tau," ucapnya pada adiknya.
"Pokoknya adek gak mau tau, kakak harus teraktir adek makan titik."
Fadil menepuk wajahnya, lalu ia pun menggelengkan kepala memikirkan jumlah uang di dalam dompetnya. Sarah memeluk tangannya, lalu dia berkata agar Fadil mau meneraktirnya makan sebagai perayaan jadian mereka berdua. Mendengar hal itu Fadil semakin salah tingkah, ia tak tau harus bagaimana menghadapi situasi ini. Sehingga pemuda itu lebih memilih untuk diam. Kemudian Sarah dan Tina masuk ke dalam kamar, di sana mereka berbincang banyak hal tanpa sepengetahuan Fadil. Pemuda itu penasaran, namun dia lebih memilih untuk tidur.