___________________
Aksi tertunda setelah pergerakannya ditahan, membuat Jeno harus menoleh ke arah pemilik tangan.
Na Jaemin. Dengan setelan jeans hitam dan hoodie berwarna mint, berdiri di belakangnya memasang wajah datar. Tidak ada keterkejutan terlukis di wajah setelah melihat aksi nekat Jeno.
"Apa yang ingin kau lakukan?"
Jeno menyingkirkan tangannya dari alat bantu pernapasan yang digunakan Hana, kemudian berkata, "Bukan urusanmu."
Suasana hati seketika menjadi sangat buruk karena kehadiran Jaemin. Jeno memutuskan untuk pergi saja dari ruangan berbau obat menyengat itu sebelum terjadi keributan antara mereka berdua.
"Apa Haechan masih belum cukup bagimu?"
Pertanyaan yang terlontar keluar dari bibir tipis namun berisi milik Jaemin berhasil menghentikan lelaki yang beberapa langkah lagi akan sempai pada pintu keluar.
"Siapa yang telah menghabisi siapa?" balas Jeno.
Posisi keduanya saling membelakangi. Hening melanda mereka. Tak ada yang berniat untuk mulai meninggalkan tempat masing-masing. Situasi di mana biasanya merupakan awal dari aksi adu pukul antar lelaki.
Bukan Jeno, tetapi Jaemin yang memulai. Ia berbalik, menghampiri Jeno, mencengkeram kerah jaket hitam lelaki itu, lalu menariknya keluar dari ruangan.
Tidak ada yang berani melerai perkelahian tanpa alasan yang terjadi di lobi. Beberapa perawat bahkan memanggil petugas keamanan rumah sakit untuk menghentikan aksi saling pukul tersebut. Baru mereda ketika Doyoung yang berencana menjenguk Hana, tiba di rumah sakit.
Bersama dengan Johnny Suh, rekan sesama detektifnya, Doyoung membawa kedua lelaki remaja itu keluar dari gedung rumah sakit. Menyuruh mereka push up sebagai hukuman atas kekacauan yang telah mereka perbuat.
"Apa kalian rival? Bukankah kalian berteman?" Doyoung melirik Jeno, kemudian berkata, "Dan kau ... aku tidak pernah mengajarimu menyelesaikan masalah menggunakan kekerasan!"
Percuma saja detektif muda itu mengoceh, jika anak-anak yang sedang ia marahi justru sibuk menahan rasa pegal akibat hukuman darinya. Semua sia-sia. Tak ada tanggapan dari Jeno maupun Jaemin.
• • •
Sepulang dari rumah sakit. Jeno sama sekali tak berselera untuk membalas Doyoung saat sedang berbicara. Seperti tawaran dibuatkan ramyun, membeli makanan di luar, dan semua hal. Ia segera bergegas ke kamar tanpa memperdulikan sang kakak yang terus memanggil namanya.
Ada rasa bersalah dalam hati Doyoung setelah insiden interogasi perihal gelang kemarin malam. Kata 'Andai' turut menyertai segala penyesalan. Andai ia tak memperlihatkan gelang itu kepada Jeno. Andai ia tak menyudutkan adiknya dengan pertanyaan. Andai ia mau sedikit saja percaya apa yang lelaki itu katakan. Mungkin Jeno tidak akan sedingin ini padanya.
Kalimat pernyataan 'Aku ini adikmu' dari Jeno terakhir kali seketika membungkamnya. Benar. Segala sesuatu berawal dari keluarga. Jika dirinya sebagai kakak saja ragu kepada adik sendiri, lalu bagaimana tanggapan orang lain? Bukti bahkan belum meyakinkan, tetapi sudah merasa benar. Seenaknya berspekulasi, padahal mungkin saja yang dikatakan Jeno ada benarnya.
Doyoung bergegas menghampiri Jeno di kamarnya. Ia mendapati lelaki itu mengambil handuk dari dalam lemari, setelah melepaskan jaket yang tadi menutupi kaos putih yang dikenakan.
"Apa lagi?" Pertanyaan yang terdengar begitu malas. Sepertinya Jeno mulai lelah dengan semuanya.
Doyoung menghampiri sang adik. Berdiri di belakang Jeno, lalu memijat bahu lelaki itu. "Kau pasti lelah," katanya.
"Apa lagi sekarang? Aku sudah menolak tuduhan kakak beberapa kali. Apa akan berhenti jika aku mengakuinya?"
"Aish, kau ini!" Doyoung mendorong kepala adiknya pelan. "Jangan suka berburuk sangka padaku."
Jeno mengernyitkan dahi, lalu berbalik menatap tajam ke arah Doyoung. "Heol! Kakak pun sama!"
Mencium gelagat tak baik, Jeno menghujam Doyoung dengan tatapan intimidasi. Melipat kedua tangan di depan dada sambil berpikir. Berusaha mencaritahu sesuatu di balik raut wajah tak berdosa pria itu.
Saudara tetaplah saudara. Semarah apa pun Jeno kepada Doyoung, ia tetap tak tega terus mengabaikan sang kakak. Pada akhirnya, ikatan melenyapkan segala perasaan buruk. Walau bagaimanapun juga, Doyoung bersikap demikian karena berusaha sebaik mungkin dalam menyelesaikan pekerjaan. Bahkan dalam kasus tersulit sekalipun. Para penegak hukum bekerja untuk kebenaran. Hanya situasi saja yang tak berpihak pada Jeno, membuat bukti mengarah kepadanya.
"Ada apa ini? Kenapa tiba-tiba berubah sikap? Sebelumnya, kakak begitu kukuh mengatakan jika gelang itu milikku. Kenapa? Apa sudah menemukan bukti jika bukan aku pelakunya?"
"Kakak minta maaf soal itu, tapi ...." Doyoung menggantung ucapannya, seolah sedang mencari kata-kata yang tepat agar Jeno tak salah paham.
"Apa?"
Mulanya tampak ragu, tetapi di detik berikutnya, Doyoung mulai yakin untuk mengatakan sesuatu yang sangat ingin ia ketahui.
"Kau mengetahui sesuatu yang tidak kuketahui. Kau hanya sedang menyembunyikannya dariku. Katakanlah. Bersihkan dirimu dari segala macam tuduhan."
Jeno tiba-tiba dibuat bimbang. Permintaan Doyoung seolah memberinya dua pilihan; antara hidup atau mati. Setelah lama berada dalam diam, dikarenakan sedang berpikir keras, ia mengembuskan napas berat sambil memasang wajah malas.
"Bintang fajar," kata Jeno. "Kakak itu jenius. Aku hanya bisa memberi petunjuk. Sisanya, caritahu sendiri."
Kebingungan melanda Doyoung sepeninggal adiknya keluar dari kamar hendak melakukan ritual bersih-bersih diri sebelum tidur. Dua kata yang kini menjadi tanda tanya besar. Apa perlu Jeno melakukan ini pada kakaknya sendiri sekalipun kata jenius menyemati diri sang kakak?
Apa maksud dari kata 'Bintang fajar'?
.