webnovel

Oh My Lady

"Makan yang banyak."

"Lain kali kalau butuh sesuatu langsung kabarin aku. Bang Dimas sama Refi nggak bisa dipercaya."

"Untung aja ayah kasih tahu. Kalau nggak ya kamu sarapannya di kantin."

"Pelan-pelan aja makannya, Ta. Aku nggak minta udah makan banyak tadi."

Brak!

Ku gebrak meja. Bukan karena tak sabaran saat makan namun tingkah dan suara kak Riki benar-benar membuatku murka. Aku bisa makan dengan tenang seandainya dia tak duduk di bangku Desi sambil mengomel begini.

Bahkan tawa cekikikan Desi saja masih bisa terdengar meski gadis itu menjaga jarak. Duh, aku benar-benar ingin memusnahkan kak Riki segera jika begini keadaannya.

Malu, ish!

"Diam dong, Kak. Aku bisa makan sendiri. Udah ya? Dan tolong itu jangan pegang-pegang. Gimana aku nggak buru-buru makannya kalau kakak ganggu?" kesalku.

Lagi dan lagi suara tawa cekikikan terdengar.

"Ya ampun, Bang. Kalem kali nggak akan ada yang ngambil bini lo. Udah balik sana, Bang, bentar lagi bel masuk udah jam tujuh kurang tiga menit nih," tegur Rahmad.

Tentu saja aku langsung mengangguk menyetujui usul anak itu. Memang sudah seharusnya kak Riki lekas pergi, mana dia kan sudah kelas 12 juga jadi pasti sibuk, 'kan?

"Banyak omong banget lo, Sat. Dan siapa bilang nggak akan ada yang ngambil?" balas kak Riki sambil mengangkat satu sudut bibirnya.

Ku senggolan lengannya meminta agar laki-laki itu lekas sadar diri. Dia menatapku, lantas mendengus dan segera bangkit.

"Ya udah balik nih. Kalau nggak habis makanannya jangan dibuang, nanti makan pas istirahat. Aku balik, bye!" pamit kak Riki sambil mengusap kepalaku.

"Hem, hati-hati," timpalku dan setelah itu dia pergi.

Tak selang beberapa lama Desi datang. Dia memangku kedua pipinya sambil menatapku penuh makna.

Sesekali dia juga cengengesan membuatku yang sedang menutup bekal ingin menimpuk kepalanya itu.

"Ada apa?" tanyaku padanya.

Desi mengangkat bahu. "Nggak ada apa-apa tuh."

Melihatnya membuatku menyipitkan mata lantas berdecak kesal. "Kalau nggak ada apa-apa ngapain lihat aku kayak gitu?"

"Hanya ingin," jawabnya santai.

Ah sudahlah! Tapi, ck! Aku kesal juga melihat tampangnya ini. Namun karena bel telah berbunyi tak ada niatan untukku mengusirnya juga.

Meskipun sama-sama sibuk menyalin materi, tapi Desi yang menatapku sambil menahan tawa itu er ... ngajak gelud sekali loh. Dia memang pawangnya membuat orang jengkel begini ya?

"Nulis, Des, lihatinnya nanti aja. Toh kalau kamu lihat aku nggak bikin pinter juga, 'kan?" ujarku kemudian.

"Memang nggak sih, tapi seneng banget aja lihat tampang lo. It's so cute, pantesan aja tingkah kak Riki manis gitu," ucapnya sambil cengengesan tak jelas.

Hampir saja aku menjawab ucapan ngawur Desi namun pak Anam mengganggu.

"Rista, tolong jawab pertanyaan ini. Pada tahun berapa ASEAN di dirikan?"

Pertanyaan konyol ini membuatku ingin tertawa. Jangankan aku, bahkan anak SD saja tahu bukan?

"8 Agustus 1967, Pak," jawabku santai.

Desi menyenggol lenganku. Gadis itu mengacungkan dua jempol membuatku sedikit kebingungan.

"Negara mana yang terakhir bergabung dengan ASEAN?"

Aku mencoba mengingat-ingat sebentar lantas gegas menjawabnya. "Kamboja adalah negara ke-10 atau negara terakhir yang bergabung dengan ASEAN."

Pak Anam menatapku lama membuatku gelagapan. Dia guru magang, masih muda, dan senyumnya manis. Dua tahun diajar olehnya aku memang cukup nyaman.

Terutama saat pak Anam dengan sukarela memberikan bonus nilai tambahan karena aku sering membantunya. Bahkan saat masih kelas 10 dulu anak-anak di kelas ini mungkin menganggapku sebagai asisten guru sejarah itu.

"Bagus, sekarang pertanyaan terakhir. Jika kamu menjawab dengan benar maka sisa satu jam pelajaran akan saya kosongkan, jika salah kita lanjut."

Ini bukan pertanyaan, lebih mirip ancaman.

"Waw, Ta, gue nggak mau tahu pokoknya lo harus bener!" desak Desi.

Ingin ku tutup mata dan telinga saat semua pandangan teman sekelas tertuju padaku. Ini bukan kali pertama, biasanya memang beberapa bulan sekali pak Anam menjadikan diriku sebagai umpan.

Bodohnya aku tak kuasa menolak. Dan kadang aku bisa menjawabnya kok. Semoga kali ini juga.

"Clarista, menurut kamu mengapa pemerintahan Hindia Belanda melaksanakan kebijakan politik etis? Bagaimana dampaknya pada masyarakat Hindia Belanda? Jelaskan menurut pendapat kamu dan coba berikan buktinya yang masih bisa dijumpai di lingkungan masyarakat modern," ujar pak Anam mantap.

Glek!

Aku meneguk ludah sedikit bingung dengan pertanyaannya yang agak berbelit-belit. Mengetuk-ngetuk kening sejenak aku mencoba mengingat apakah kami sudah mempelajarinya atau belum.

Lantas, saat sudah tahu ada di halaman berapa materi ini aku mendengus kesal. Ini materi terakhir, belum pernah diajarkan.

Pak Anam sengaja ya? Tunggu, atau dia sedang mengujiku?

Untuk jawabannya aku tahu, namun materinya belum pernah diajarkan. Aku mempelajarinya karena ada waktu senggang. Kalau begitu mari jawab begini saja.

"Menurut saya, bapak terlalu bersemangat. Untuk kelas sebelas semester ganjil di bagian awal, kita bahkan baru sampai di bab pertama karena pelajaran sejarah banyak sekali materinya. Sub bab pun tak terkira jumlahnya, jadi, maaf pak saya tidak bisa menjawab meskipun tahu jawabannya karena materi belum diajarkan," jelasku panjang lebar namun aku percaya diri dalam setiap kata yang ku ucapkan.

Seisi kelas menegang. Suasana pun kian mencekam. Untuk sesaat aku bahkan khawatir, apakah diriku terlalu percaya diri tadi?

Namun ketika melihat pak Anam membereskan buku, senyum terbit di bibirku. Melengkung ke atas membentuk senyuman sempurna.

"Hm, kebetulan sekali teman kalian menjawabnya dengan tepat. Baiklah saya akan mencari alasan agar bisa meninggalkan kelas ini, jadi selamat bersenang-senang anak-anak," pamit pak Anam dan laki-laki yang berusia dua puluh tiga tahun itu gegas pergi.

Tak butuh waktu lama, semuanya bersorak bahagia. Desi memelukku erat-erat.

"Gila, gue baru sadar kalau ternyata Clarista Arum benar-benar sehebat ini, Brader!" ujar Desi dengan semangat yang menggebu-gebu.

Rahmad yang duduk di bangku depan bahkan membalikkan duduknya. Dia memangku dagu dan menaruh siku di mejaku.

"Njir, gue aja nggak pernah belajar sejauh itu. Lo kok bisa sih, Ta? Cih, kalau aja gue yang diminta jawab pasti cuman bilang materinya kan belum dipelajari pak apa ada alasan khusus saya harus menjawabnya? Gitu!" seru Rahmad dengan nada ceria.

Aku tersenyum simpul.

"Halah setan! Sok-sokan mau bilang gitu, lo aja nggak pernah ditunjuk kan sama pak Anam?" sindir Desi.

"Hok oh, habisnya ni anak buat ulah terus," tambah Cahya.

Gadis itu menepuk-nepuk pipiku membuatku mengaduh tapi berakhir dengan dia yang tertawa. "Sempurna banget sih, fisik oke otak juga. Wah, nggak ikhlas gue kalau si Riki deketin lo. He a player, My Lady."

Di akhir kalimat Cahya berbisik padaku.

"Aku tahu," jawabku membuat gadis itu mencibir.

"Des, kayaknya gue tahu kenapa selama ini Rista diam aja pura-pura baka. Pasti karena dia diminta Riki diam aja, 'kan? Duh, kalau aja gue berani udah bejek-bejek muka Riki!"

Desi mengangguk semangat. "Setuju! Tapi, karena kita sekarang udah ada di garda depan. Bagaimana kalau halangi terang-terangan?" usul gadis gila ini sambil menatap Cahya.

Ku kira Cahya agak beda. Namun saat melihat dia dan Desi saling tatap kemudian tertawa, sepertinya dugaanku salah besar, ha-ha!

To be continued ....

Next chapter