webnovel

One Step Ahead

Honey keluar dari sebuah taksi yang berhenti di depan sebuah bangunan apartemen di salah satu sudut Brooklyn, New York. Honey sedikit menengadah melihat ke atas dan terperangah. Di sinilah ia akan tinggal sementara untuk mencari tempat magang yaitu di sebuah apartemen yang tak begitu besar. Axel lalu menurunkan dua koper dari bagasi taksi dan berdiri di sebelah Honey.

"Ayo kita masuk, kita harus melapor!" ajak Axel sambil menarik dua koper miliknya dan kakaknya sambil tetap memakai ransel. Honey tersenyum dan mengikuti Axel. Axel lalu menekan bel dan speaker pun berbunyi.

"Axel Clarkson, penghuni apartemen nomor 15B!" ucap Axel sambil menekan speaker. Tak ada jawaban selain alarm pintu berbunyi tanpa mereka diizinkan untuk masuk. Axel menaikkan kedua alisnya menggoda Honey dan itu membuatnya sedikit tergelak dan ikut masuk ke dalam.

"Untung bukan 13B!" celetuk Honey iseng sambil ikut membantu menarik kopernya untuk masuk ke dalam lift.

"Hehe ... memangnya kenapa kalau 13B? Jangan bilang kamu takut pada Freddy Krueger?" balas Axel tak kalah iseng. Honey terkekeh dan memukul lengan Axel yang ikut tergelak.

"Axel?"

"Hmm ... " Axel menoleh pada Honey.

"Aku turut sedih karena Angelica memilih Peter," ujar Honey dengan nada simpati. Axel kehilangan setengah senyuman dan mengangguk.

"Tapi kami masih berteman," jelas Axel tanpa menoleh pada Honey dan menarik napasnya berat. Honey menepuk pundak adiknya lalu mencium pipinya.

"Adikku tersayang, kamu adalah Supermanku!" puji Honey untuk Axel. Axel tersenyum dan terenyuh mendengar kalimat Kakaknya yang berusaha untuk membuat perasaannya jadi lebih baik.

"Aku baik-baik saja, Honey. Hanya tak terbiasa patah hati." Honey makin mengerucutkan bibirnya dan tersenyum setelahnya. Ia mengucek rambut belakang Axel saat pintu lift terbuka.

"Kamu akan menemukan gadis yang akan mencintaimu dengan tulus." Honey mencoba membesarkan hati Axel tapi ia malah sedikit acuh dan tersenyum seadanya. Mereka keluar dari lift dan berjalan sedikit lalu menemukan kamar apartemen tempat mereka akan tinggal.

Keduanya masuk setelah Axel membuka pintu. Ia ikut menyalakan lampu dan mata Honey berbinar.

"Pilihan Daddy memang bagus. Aku suka tempat ini!" ujar Honey pada adiknya yang mengangguk setuju. Honey menutup pintu sementara Axel langsung melompat ke arah sofa dan berbaring.

"Ah ... aku lelah sekali!" Axel langsung merebahkan diri dan itu membuat Honey menggeleng terkekeh. Perutnya kembali mual dan ia langsung buru-buru mencari kamar mandi.

"Honey?" panggil Axel yang terkesiap melihat Kakaknya mencari toilet untuk muntah. Axel langsung bangun dari posisi berbaring dan menyusul Honey. Seperti biasa, ia membantu Honey yang muntah dan kemudian membersihkan mulutnya.

"Welcome!" ucap Axel setelah Honey selesai. Honey tersenyum dan menarik napas terisak karena baru saja muntah.

"Aku rasa kita baru saja memberikan salam selamat datang di rumah baru bukan?" Axel mendengus tersenyum dan mengangguk.

CRAWFORD

Setelah Axel dan Honey pergi, Abraham yang tinggal sendiri mulai menjalankan penyelidikan soal pria yang telah memperkosa Honey. Untuk sementara ia akan kembali menjadi Grey Hunter yang terbiasa mencari dan mengumpulkan informasi tentang seseorang. Tapi memulai semuanya dari nol bukan hal yang mudah.

"Aku harus mulai dari hotel tempat audisi itu, The Poseidon," gumam Abraham lalu membuka laptop dan mencari segala informasi tentang hotel tersebut. Beberapa kali Abraham mengurut dagunya yang ditumbuhi janggut dan mulai mengetik lagi di laptop itu. Ia akhirnya memutuskan untuk menginap di hotel itu dengan memesan kamar presidential suite.

"Tahap kedua ... menghubungi Gous Heubert. Sebaiknya dia mengangkat teleponku kali ini!" gumam Abraham lagi dan menghubungi nomor yang sama tapi sudah tak aktif lagi. Abraham menggelengkan kepalanya lalu mengetik kata kunci Superhart Tech di mesin pencari dan keluarlah berita hari ini yang mengejutkan.

Perusahaan milik James Belgenza itu telah menjual seluruh sahamnya pada seorang pengusaha sekaligus pemilik tim yang berlaga di grand prix. Abraham mengernyitkan keningnya dan menggeram kesal.

"Jadi kamu menjual yang bukan milikmu? Hhhmm ... seseorang sepertinya sudah bosan hidup!" gumam Abraham lalu menemukan jika perusahaan itu sudah berganti nama menjadi The Star Technology. Abraham makin mendengus kesal tapi aneh.

"Memangnya ini film star trek apa! Dasar bodoh!" umpat Abraham. Abraham terus mencari tahu tentang perusahaan tersebut dan menyimpan foto orang-orang yang terlibat untuk menggelapkan perusahaan itu. Perusahaan pembuat mesin balap tersebut harus jatuh ke tangan Cassidy Belgenza saat ulang tahunnya yang ke 20 dan itu kurang dari satu bulan lagi. Namun Abraham bertekad akan menyelesaikannya saat ia di New York. Abraham melihat lagi rumah yang sudah ia tempati selama bertahun-tahun itu.

"Apa aku harus menjual rumah ini?" gumam Abraham pada dirinya sendiri. Ia kemudian bangun dan mulai berkeliling rumahnya. Kamar Axel dan Honey sudah dibersihkan. Tak lupa sampah di kedua kamar sudah dikeluarkan oleh dua anaknya di letakkan di depan pintu.

Abraham tersenyum lalu memungut kedua plastik sampah dan siap membuangnya keluar. Setelah tiba di luar dan hendak membuang ke dalam tong sampah di samping rumah, kening Abraham mengernyit. Josh Hatlin datang menghampirinya. Abraham menunda membuka penutup tempat sampah.

"Selamat sore, Tuan Clarkson!" sapa Josh kemudian.

"Selamat sore, Josh. Apa yang bisa aku lakukan untukmu?" tanya Abraham dengan nada datar dan pandangan dingin. Josh memasukkan kedua tangan ke dalam celana jeans nya dan agak gugup.

"Maaf Tuan Clarkson jika aku mengganggumu. Aku ingin bertemu dengan Honey, apa dia ada?" tanya Josh dengan wajah sendu. Abraham menarik napas dan melepaskannya perlahan.

"Tidak ada, Honey sudah pergi. Dia sedang mengambil program magang." Josh mengernyitkan keningnya. Setahunya Honey belum mendapatkan perusahaan untuk magang.

"Oh, aku tidak tahu jika ia sudah mendapatkan tempat. Aku pikir dia belum ..." Josh berhenti dan mengangguk mengerti karena Abraham tak memberi senyuman sama sekali.

"B-Boleh aku tahu, dimana dia akan magang? Maksudku aku ..." Abraham mendekat pada Josh yang berhenti bicara dengan pandangan kecewa.

"Josh, jika aku bisa memberi saran. Sebaiknya lupakan saja Honey. Dia akan menjalani hidupnya sendiri dan itu tak ada hubungannya denganmu," ucap Abraham membuat Josh menahan genangan air matanya dengan mengeraskan rahang.

"Aku tahu kamu mencintai dia. Tapi dia bukan milikmu untuk kamu cintai. Jalani hidupmu ke depan. Jangan melihat ke belakang lagi," sambung Abraham memberikan kenyataan pahit pada Josh. Josh terdiam dan mengangguk.

"Aku pergi dulu, Tuan Clarkson. Selamat sore." Abraham mengangguk saja tanpa membalas dan menghela napasnya. Josh berbalik dan kembali ke mobilnya meninggalkan Abraham yang mendengus lalu menggelengkan kepalanya.

"Dia kira cinta semudah itu. Dasar anak-anak!" gumam Abraham lalu membuka kembali penutup sampah dan siap membuang. Pandangannya tertuju pada plastik transparan yang digunakan Honey untuk membungkus sampah keringnya.

"Kenapa dia membuang banyak kertas?" Abraham lalu meletakkan sampah milik Axel ke dalam tong dan membuka plastik milik Honey. Abraham hanya memeriksa sekiranya tak ada kertas penting yang tak sengaja terbuang. Keningnya mengernyit ketika merogoh dan menemukan potongan cek Bank of America di dalam kumpulan kertas-kertas itu. Ia berpikir sejenak sebelum benar-benar menuangkan seluruh isi plastik itu ke rumput.

Abraham mengacak-acak kertas sampah itu dan menemukan potongan cek lainnya. Kondisi cek sudah robek dengan potongan kecil tak utuh. Ada bagian yang hilang tapi mata Abraham terbelalak saat melihat isi cek tersebut.

"Sepuluh ribu ... cek dari mana ini?" Abraham bergumam dan mencoba membaca apa saja yang bisa ia ketahui.

"R. Har ... Har? Siapa Har?"

ตอนถัดไป