"Buat permohonan, Ravi." Ayahnya berbicara sambil menyodorkan kue dengan lilin ulang tahun menyala di atasnya pada Ravi.
"Ayah, aku tidak percaya pada hal seperti ini," kata Ravi sambil tersenyum menatap kue yang berada di depan wajahnya. Dia mengalihkan pandangan pada ibunya dan Daniel yang menunggunya untuk melakukan apa yang ayahnya perintahkan.
"Ayo Ravi, buat saja permohonan. Tuhan akan mengabulkannya." Daniel berjalan untuk berdiri di sisinya sambil merangkul pundak Ravi.
"Ayo, Sayang. Ayah sudah keberatan memegangi kuenya," kata ibunya membuat ayah dan Daniel tertawa renyah.
"Iya, Ibu." Ravi memejamkan matanya. Walaupun Ravi tidak mempercayai hal-hal seperti ini tapi dia mau tidak mau membuat permohonan. Masalahnya adalah Ravi tidak memiliki permohonan, dia merasa semua sudah cukup dalam hidupnya.
Jadi, dia membuat permohonan yang tidak akan mungkin terjadi atau jika itu sampai terjadi maka Ravi akan sangat senang dengan itu.
'Aku memohon di hari ulang tahunku. Akan ada gadis cantik yang turun dari langit seperti bidadari bersayap yang akan mencintaiku, menerima kekurangan dan kelebihanku dengan tulus.'
Ravi tersenyum dengan permohonannya sendiri dan merasa sangat konyol dengan itu. Lalu dia membuka mata dan meniup lilin berbentuk angka dua puluh hingga asap tipis membumbung ke langit-langit.
"Ravi meminta apa?" tanya Daniel penasaran.
"Rahasia, Daniel," jawabnya sambil tersenyum.
Setelah mereka semua memakan kue, Ravi memutuskan untuk pergi ke kamarnya. Dia menaiki tangga dengan hati yang menghangat Ravi bersyukur dia sampai di usia sekarang dengan kondisi sehat dan masih memiliki keluarga lengkap yang menyayanginya.
Saat Ravi sampai di depan pintu kamarnya dia memegang handle pintu yang terasa dingin di permukaan kulitnya berbanding terbalik dengan cuaca yang tengah terjadi sekarang.
Ravi membukanya dan langsung dihadapkan oleh seorang pria berdiri menyilaukan dengan sayap hitam besar di punggungnya. Dia memegang cokelat pada tangan tan yang mengotori wajahnya, dan tersenyum polos. Mata berbeda warna pria itu menatap tepat ke manik Ravi tanpa mengedipkan matanya. Lalu mulut dengan bibir penuh itu mulai terbuka dengan sebuah senyuman dan sebuah suara masuk ke pendengarannya.
"Ravi, cokelatnya manis. Seperti Ravi."
***
Ravi terbangun dari tidurnya, masih dibayang-bayangi dengan mimpi buruk yang sejelas matahari di waktu siang. Mimpi itu adalah bagian dari kenyataan saat dia berulang tahun tadi siang, tetapi dengan Raymond yang menyambutnya di depan pintu. Jelas itu adalah bagian dari mimpi buruk yang tidak pernah Ravi duga sebelumnya.
Ravi memijat keninganya yang tiba-tiba terasa berdenyut. Dia menggerutu pada dirinya sendiri karena mendengarkan perkataan Raymond yang satu itu dengan hatinya, bukan telinganya. Sungguh aneh untuk mendengarkan hal-hal seperti itu dari seorang pria sama sepertinya. Bukan hal pertama bagi Ravi mendengar kalimat serupa dari sejenis dengannya akan, tetapi Ravi adalah laki-laki normal dan tidak pernah terbiasa dengan hal itu apalagi dirinya merasa sangat terganggu.
Ravi melirik jam yang bertengger di nakas, dia menghembuskan napas saat melihat jam masih menunjukkan pukul dua setengah pagi. Dia berbaring kembali dan berharap kegelapan akan menyambutnya, ternyata tidak. Ravi tidak bisa tidur. Maka dia menyikap selimut berwarna abu itu dan mulai berjalan untuk ke luar kamar mengambil segelas air.
Mata Ravi disambut dengan cahaya lembut datang dari kamar Raymond di depannya, menyinari lorong menuju tangga yang gelap. Pintu itu terbuka sama seperti Ravi meninggalkannya di malam hari. Alasannya adalah Raymond tidak bisa membuka handle pintu.
Ravi mulai melangkah perlahan tidak ingin suara kakinya terdengar pada lantai kayu, dan membangunkan Raymond yang mungkin saja memiliki pendengaran yang tajam karena Raymond bukanlah manusia sepenuhnya maka hal yang tidak mungkin itu bisa saja terjadi pada pria ini.
Bukannya mendapati Raymond yang terbaring di atas kasur saat Ravi berada di ambang pintu, Ravi malah melihat Raymond duduk di jendela dengan badan mengarah keluar. Kepala Raymond mendongak menatap ke langit yang gelap dengan titik-titik cahaya.
Ravi memandang sayap Raymond yang terentang mengepak pelan dengan bulu lembut menari diterpa angin pagi yang mengigit kulit Ravi karena dinginnya. Bulu hitam pada sayap Raymond berwarna segelap langit sekarang, merasakan sesuatu bergejolak di dadanya ketika melihat sayap itu seperti berada di sebuah certia fantasi yang pernah Ravi baca.
Ravi terpaku saat Raymond berbalik turun dari jendela dengan mata yang melebar ketika bersitatap dengan Ravi.
Senyum Raymond mekar seketika itu juga dan berjalan dengan kaki telanjangnya pada Ravi. Mata Ravi turun melihat tato itu tertulis dengan jelas pada dada Raymond yang terpahat sempurna di hadapan Ravi. Raymond mengatakan bahwa tilisan itu memang telah berada di sana, tetapi itu terlihat tidak nyata bagi Ravi dengan nama dirinya pada tubuh pria asing.
Mata Ravi naik untuk menatap Raymond kembali. Mengabaikan aroma cokelat yang pekat membelai penciumannya sedemikan rupa hingga menyebabkan lutut Ravi sendiri terasa lemas untuk menopang tubuhnya. Ravi berusaha untuk berkata dengan suara normalnya, mengesampingka bagaimana tenggorokkannya semakin mengering. "Kenapa tidak tidur dan malah duduk di jendela?"
Mereka masih saling menatap. "Aku sedang menatap bintang dan bulan."
Tenggorokan Ravi menjadi kering ketika Raymond menatap dirinya lebih dalam dan intens dari sebelumnya. Dia mengangguk pelan mencoba mengabaikan sayap besar Raymond yang setiap ujungnya berada di sisi tubuh Ravi seolah hendak memeluknya.
"Tidak mengantuk?" tanya Ravi. Raymond itu seperti segumpal sihir yang selalu mampu menarik esensinya pada Ravi dan seolah menarik Ravi untuk terus menatapnya. Dia tidak bisa mengabaikan bagaimana Raymond seolah menekan dirinya dengan sayap itu dan juga aroma cokelat lelehnya membuat Ravi bingung juga linglung.
Raymond menggeleng membuat rambut hitamnya bergoyang. "Tidak, Ravi. Elf hanya perlu waktu beberapa jam untuk tidur."
Raymond kembali membuka suaranya karena Ravi tak kunjung menanggapi. "Kenapa Ravi bangun dari tidur?"
"Aku terbangun karena bermimpi buruk dan tidak bisa tidur kembali," kata Ravi menahan napasnya saat sayap hitam itu terhisap masuk ke dalam punggung Raymond dengan cepat.
"Mengapa Raymond menjadi mimpi buruk bagi Ravi?" tanyanya ragu-ragu.
Ravi diam saja membiarkan pertanyaan itu menggantung tanpa jawaban. Pertanyaan itu menciptakan tanda tanya baru di benak Ravi tentang Raymond yang mengetahui tentang mimpi Ravi sendiri. Dia menghirup udara dalam-dalam dan langsung menyesali saat aroma cokelat lebih mendominasi ketimbang aroma angin pagi yang bertiup dari jendela.
Ravi tanpa sadar mengusap lengannya saat dingin menusuk kulitnya. Dia tersentak ketika kaca itu bergeser menutup dengan sendirinya. Rahang Ravi mengatup dengan hal ajaib yang baru saja terjadi pada jendela itu.
"Apa yang barusan terjadi, Raymond?" tanya Ravi dengan pupil matanya yang membesar dan melirik pada jendela di belakang punggung Raymond.
"Ravi kedinginan, kan? Jadi aku menutupnya," jawab Raymond dengan suara bernada rendah yang terasa aneh di pendengaran Ravi saat ini.
Ravi hanya bergumam tidak jelas di belakang tenggorokannya, tidak tahu harus menanggapi bagaimana. "Aku harus kembali ke kamar atau Daniel akan mengetahui dan memarahiku."
Ravi melirik sedikit pada wajah Raymond, rahang Raymond turun dan matanya sesekali berkedip. Tidak tahu apa artinya, Ravi berbalik dan berjalan kembali ke kamarnya dengan Raymond yang tidak mengatakan apapun di sana.
Ketika Ravi menutup pintu kamarnya dengan jantung berdebar dan pipi yang terasa panas, Ravi dibayang-bayangi oleh mimpi yang barusan dia alami. Setengahnya memang benar bahwa dia meminta permohonan seperti itu tapi Ravi hanya tidak menyangka hal itu akan menjadi nyata.
Ravi berjalan ke jendela kaca yang serupa dengan milik Raymond, dia membukanya dengan perlahan. Udara dingin mulai menerpa permukaan wajahnya dan Ravi menghirup dalam-dalam. Udara di kota kadang tidak sesegar pagi hari dan ini adalah pertama kalinya Ravi bangun sepagi ini. Menikmati tiap detik yang melaju dengan lamban.
Samar-samar Ravi mendengar nyanyian dengan suara rendah dan dalam. Itu datang dari kamar Daniel. Ravi tidak pernah tahu Kakaknya bisa bernyanyi merdu walaupun terdengar hanya seperti gumaman tak berarti di tengah keheningan ini, karena Ravi tidak mengerti bahasa apa yang dinyanyikan. Hanya asing di telinga Ravi.
Ravi mengintip, Daniel sedang bersandar pada balkon kecil di kamarnya sedang melihat ke arah sembarang. Sudah jelas bahwa Daniellah yang menyanyi pelan.
Kakaknya memang selalu bangun pagi tapi Ravi tidak tahu bahwa Daniel akan bangun sepagi ini. Lalu Daniel mendongak menatap langit hitam berbintang dengan cahaya redup.
Ravi mendengar suara Daniel selanjutnya yang terdengar cukup keras di suasana pagi yang sepi. "Bintang, katakan padanya. Aku sangat membencinya. Sangat, membenci lebih dari yang bisa kulakukan."