*Satu pesan masuk
Rendra: (Hai, Arini. Aku minta maaf atas ucapanku beberapa waktu lalu. Aku harap kamu mengerti. Jika kamu mengizinkan, bolehkah aku datang ke rumahmu?)
Rendra ternyata masih belum menyerah. Aku membiarkan dia menemuiku, karena ada yang ingin aku bicarakan pada Rendra.
Arini: (Maaf, hari ini aku dan anak-anak berada di Taman Wisata yang beberapa waktu lalu kamu dan aku mengunjunginya. Hari ini ulang tahun Arinda. Jika kamu mau datang, silahkan)
Beberapa jam kemudian, Rendra pun datang dengan membawa satu kotak hadiah yang berwarna merah muda. Dia menghampiri Arinda yang sedang duduk sembari making ice cream.
"Hai, Arinda Peri Cantik Om. Selamat ulang tahun ya, semoga Arinda mendapatkan semua yang Arinda mau dalam hidup ini." Rendra memberikan made itu dan mencium kening Arinda.
"Om Rendra ....," teriak Arinda kegirangan.
Lalu Rendra berdiri menyapaku.
"Arini, kamu apa kabar?" sapa Rendra.
"Baik Mas. Oh ya, kamu kenapa repot-repot memberikan hadiah untuk Arinda sampai dua kali?"
"Maksud kamu apa Arini? ini kado pertama yang aku beri untuk Arinda. Dan, aku juga baru tahu Arinda ulang tahun dari kamu."
"Loh ...., terus yang kirim paket hadiah ke rumah tadi pagi siapa dong?" aku sangat heran dengan paket yang berada di rumah.
Saat aku dan Rendra berbincang-bincang, seperti ada yang perhatikanku dari jauh. Entah siapa itu. Kemudian aku mengajak Rendra bicara soal kejadian yang ku dengar di rumah orang tuaku waktu itu. Anak-anak sedang istirahat di sampingku.
"Arini, aku benar-benar minta maaf atas ucapanku beberapa waktu yang lalu," Rendra perlihatkan wajahnya yang tampak menyesal.
"Lupakan Mas. Walaupun aku marah, memang kenyataannya seperti itu. Aku hanya ingin tanya satu hal sama kamu. Apa semua ini adalah rencana orang tuaku?"
"Kamu tahu dari mana Rin?" Rendra bertanya dengan gelagapan.
"Sudahlah, kamu mengaku saja Mas. Aku tahu semuanya kok."
"Aku memang tahu semua ini dari Ibumu Arini. Tapi soal perasaanku sama kamu itu benar-benar tulus. Aku suka sama kamu sejak SMP dulu. Bahkan, sampai sekarang aku belum bisa melupakan kamu." Rendra menyampaikan perasaanya.
"Lalu, apa kamu tidak punya keluarga?"
"Aku pernah menikah Rin, tapi pernikahanku tidak bertahan lama. Karena ketidakcocokan aku dan mantan istriku, menjadi penyebab perceraianku dengan dia."
"Maaf, atas pertanyaanku."Aku merasa tidak enak atas pertanyaanku yang membuat Rendra mengingat masa lalunya.
Aku dan anak-anak pun melanjutkan permainan. Rendra menemani kami bermain. Arinda dan Radit sangat bahagia sampai waktu menunjukkan pukul tiga sore. Kami semua kelelahan dan pulang di antar oleh Rendra.
*Rumah*
Rendra mengantarku dan anak-anak pulang. Saat ku bukan kunci pintu rumah, anak-anak langsung berlarian ke dalam rumah. Mereka sangat kelelahan. Lalu ku suruh mereka untuk tunggu sebentar di kamar. Aku persilahkan Rendra untuk duduk di kursi ruang tamu. Kemudian aku membuat minum untuk Rendra. Dan di depan Rendra, tepatnya di atas meja ruang tamu terdapat paket kado yang belum dibuka. Rendra melihat ke arah kado tersebut.
'Mungkin ini kado yang dimaksud oleh Arini,' bisik Rendra dalam hati.
Aku pun datang membawa minuman jus alpukat untuk Rendra.
"Ini Mas, minum dulu,"
"Terima kasih Arini. Oh ya, kado ini yang tadi kamu bilang?" Rendra memegang kado itu dan meniliknya.
"Iya Mas. Aku tidak tahu itu dari siapa."
"Mungkin dari penggemar kamu kali," canda Rendra.
"Ah, kamu bisa saja. Jelas-jelas di kartu ucapannya selamat ulang tahun Arinda."
Rendra menganggukkan kepala seolah ia mengiyakan ucapanku.
"Mas Rendra, ada yang ingin aku bicarakan dengan kamu."
"Ada apa Arini?" tanya Rendra.
"Sebaiknya, kita tidak usahakan bertemu lagi ya mas. Aku tidak enak oleh para tetangga di sini. Kamu tahu sendiri, Mas Riadi suamiku sedang berada di dalam tahanan. Aku tidak mau keberadaan kamu menimbulkan fitnah di kemudian hari."
"Tapi Arini, aku ingin menikahi kamu. Aku janji akan buat hidup kamu dan anak-anak bahagia." Rendra memohon padaku.
"Maaf, Mas. Untuk saat ini, aku belum memikirnan soal itu. Aku harus fokus bekerja demi menghidupi anak-anakku. Aku mohon sekali sama kamu, mengertilah keadaanku."
"Ya sudah Arini. Jika itu adalah keputusanmu, aku akan pergi. Tapi, jika kamu berubah pikiran, kamu segera hubungi aku."
"Iya Mas."
"Aku pamit pulang." Rendra meminum jus yang aku buat. Lalu ia berdiri dan mengusap rambutku.
"Jaga diri kamu baik-baik Arini." Rendra perlihatkan wajah sedihnya.
Aku mengantar Rendra ke depan rumah.
"Mama ....," teriak Radit.
"Iya, Nak. Tunggu sebentar."
Aku menutup pintu rumah. Dan, saat akan menghampiri anak-anak, Kedua mataku melirik ke arah kado itu. Tapi tak ku hiraukan. 'Nanti saja aku membukanya'
~~~
Satu tahun yang penuh dengan duka. Terasa begitu menyayat hati ketika melihat wajah anak-anakku yang harus ikut menanggung semua ini.
Orang lain memandang diriku ini seorang yang kuat. Tapi tak memungkiri, bahwa mereka juga mencibirku. Beberapa laki-laki yang mengunjungi rumahku, membuat masalah tidak terselesaikan dengan alasan yang baik. Karena mau bagaimana pun, aku tetap salah dimata mereka. Padahal, semua ini adalah rencana orang tuaku.
~~~
Jarum jam yang terus berputar sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Hari yang melelahkan. Setelah Radit dan Arinda tidur, aku pergi ke dapur mengambil segelas air putih. Aku memakan kue ulang tahun Arinda yang berada di atas meja makan. Aku mengambil satu potong kue cokelat yang terbalut dengan krim berwarna merah muda ini. Ketika suapan pertama, aku teringat dengan kado yang masih tergeletak di meja ruang tamu.
Aku membawa kue dan segelas air putih ke ruang tamu dan meletakkannya di atas meja. Ku ambil kado dan membukanya. Di dalamnya terdapat sebuah kotak perhiasan yang berisi kalung berlian untuk Arinda. Aku Semakin penasaran, siapa yang memberikan hadiah semahal ini. Lalu aku menyimpannya di kamar. Tidak akan ku berikan pada Arinda sebelum mengetahui siapa pengirimnya. Tak lupa aku membersihkan kertas bekas kado yang berserakan di atas meja.
*Satu pesan masuk
(Arini, apa kamu sudah membuka kado untuk Arinda)
'Ya ampun orang ini mengirimiku pesan teks lagi' gerutu ku dalam hati.
Lalu aku beranikan diri untuk menelepon orang ini. Tapi, dia tidak mau angkat telepon dariku. Aku terus mencoba menghubunginya hingga tertidur dengan hand phone yang masih ku genggam. Hingga di pagi hari baru menyadari bahwa aku lupa mengisi baterai hand phone ku.
Aku bergegas untuk mandi dan bersiap untuk pergi bekerja. Sepertinya aku akan terlambat pergi ke Rumah Sakit. Saat aku keluar kamar, pengasuh Radit dan Arinda telah tiba dan sedang memandikan anak-anakku. Aku mencium kening Radit dan Arinda lalu berangkat dengan terburu-buru.
"Mbak, aku titip anak-anak ya."
"Iya bu." sahut Mbak pengasuh.
~~~
Sore hari setelah aku pulang, ada seorang perempuan yang menungguku di persimpangan jalan Rumah Sakit. Saat aku akan menghampirinya, ia berlari. Wajahnya sangat tidak asing bagiku. Aku mengejarnya, namun wanita itu langsung memberhentikan taksi lalu pergi. Semenjak Arinda berulang tahun kemarin, seperti ada yang selalu mengikutiku. Entah siapa itu. Juga kado yang sampai sekarang aku tidak tahu dari siapa.
Aku melanjutkan perjalanan pulang dengan naik bus. Saat dalam perjalanan, aku teringat dengan Mas Riadi. Rasanya ingin sekali bertemu. Lalu ku putuskan untuk menjenguk sebentar ke Kantor Polisi.
Di sana, Mas Riadi terlihat lesu. Tidak bersemangat. Biasanya setiap kali aku datang, Mas Riadi selalu perlihatkan wajah yang sumringah, meski aku tahu dia tidak sedang baik.
"Arini, Mas ingin bertemu dengan Arinda. Dia pasti sedih, karena di hari ulang tahunnya kemarin, Mas tidak ada." Kata Riadi.
"Tapi Mas. Bagaimana kalau Arinda tahu?"
"Arinda masih kecil Arini. Dia belum mengerti apa-apa. Bisa kan, kamu bawa Arinda ke sini?" Riadi memegang tanganku dan memohon padaku.
"Iya Mas, nanti jika aku libur kerja, akan ku usahakan bawa Arinda ke sini."
Aku terdiam dan ingin sekali membahas soal Anton dan wanita misterius yang akhir-akhir ini mengintaiku. Tapi, aku sangat terluka jika mengingat masa laluku dengan Anton empat tahun yang lalu. Karena, laki-laki biadab itu telah melakukan sesuatu yang sangat tidak bisa ku maafkan.
"Arini ...., Arini ....," Mas Riadi memanggilku saat aku terdiam dengan tatapan kosong.
"Iya ...., ada apa Mas?" Aku melihat ke arah Mas Riadi.
"Ada apa Arini, kenapa kamu bengong seperti itu?" tanya Mas Riadi.
"Tidak ada apa-apa Mas. Kalau begitu, aku pamit ya Mas. Jaga diri Mas baik-baik."
Sebaiknya aku tidak bicarakan atau menyeret Mas Riadi dalam masalah-masalah yang terjadi padaku. Aku takut jika Mas Riadi tahu, nanti akan jadi beban untuknya. Mungkin, nanti setelah Mas Riadi bebas akan ku ceritakan semuanya.
"Aku sayang kamu Mas," Mas Riadi mencium keningku.
Rinduku sedikit terobati walaupun masih ingin bersama suamiku.