Singkat cerita, karena aku merasa akan tidak adil jadinya jika kami membuat keputusan sendiri tanpa sepengetahuan dari Rord, aku pun memberi saran untuk kembali mendiskusikannya bersama dengannya juga.
Walaupun aku sudah berkata seperti itu, tapi entah mengapa Lucia masih tetap bersikeras untuk langsung menerima questnya saja.
"Mengapa kau begitu keras kepala begitu, sih? Ayo, langsung saja kita terima kembali!"
"Bukankah sudah kukatakan sebelumnya? Bahwa kita juga memerlukan pendapat serta persetujuan dari anggota lain ... akan tidak baik jadinya jika kita langsung menerimanya saja, tahu."
Seingatku, hubungan di antara mereka itu baik-baik saja. Malahan, bisa kukatakan jika mereka dapat jadi akrab hanya dalam waktu yang singkat.
Itu bisa dapat dilihat dengan mudah ketika aku melihat Lucia yang menyuapi Rord saat sedang makan siang.
"Rord, ahm!"
Lucia memberikan sinyal agar Rord membukakan mulutnya.
"Aaahm!"
Rord membuka mulutnya dengan sedikit lebar.
Lucia yang menyuapinya pun perlahan menerbangkan pesawat tersebut ke dalam mulut Rord.
Sial ... aku ingin makan dengan disuapi oleh gadis cantik juga...
Mengapa dia bisa selalu mengalami situasi romcom begitu, sih...?
Bikin iri saja...
Memang tidak pantas rasanya untuk iri pada hubungan di antara gadis, tapi ... tetap saja aku iri...!
....
Aku tidak tahu mengapa, tapi mungkin dikarenakan diriku yang terlalu bersikeras, pada akhirnya, aku pun berhasil untuk meyakinkan Lucia.
Yah, meskipun wajahnya maaih terlihat cemberut begitu, sih.
Dia mungkin memiliki alasan tersendiri sampai bisa jadi begitu.
"Ba--Baiklah! Tapi, sebagai gantinya kau harus memenuhi permintaanku nanti, ya!"
"Mengapa jadinya malah seperti itu...?"
Lucia dengan wajah cemberutnya memalingkan wajahnya dariku sembari menyilangkan kedua tangannya ke dada.
Mungkin dirinya tidak ingin melihat wajahku karena merasa marah akan suatu hal yang tidak kumengerti.
Ya ampun, dasar Tuan Putri Himedere ini...
Yah, karena sudah begini, aku ikuti saja apa yang akan jadi keinginannya.
Saatnya mengikuti alur...
Konon, aku pernah dengar jika kau menuruti keinginan seorang Himedere, mungkin nantinya, di masa depan mereka akan membalasnya kembali dengan sesuatu yang lebih besar.
"Jadi, apa permintaanmu itu, Tuan Putri?"
Tepat setelah aku menanyakannya, Lucia yang tadinya bersikap cuek padaku langsung terlihat terkejut.
Di wajahnya, ia tidak bisa menyembunyikan rasa senangnya.
Mungkin dia senang ketika aku memanggilnya Tuan Putri.
Itu bisa dilihat dengan jelas hanya dengan melihat wajah cantiknya yang tersenyum bahagia.
"Ka--Kau akan memenuhi permintaanku? Apa kau serius...?
Bagaikan seorang anak yang diberikan kesempatan untuk naik ke permainan kesukaannya di taman bermain, mungkin itulah yang dapat kudeskripsikan dari situasi yang terjadi pada Lucia saat ini.
"Ya, tentu saja, Tuan Putri-ku yang menawan."
Namun, beberapa detik setelah senyuman cantiknya itu ia tunjukkan, dengan segera ia langsung berusaha untuk menutupinya dengan cara berbalik dariku.
"A--Aku ingin kau untuk berjanji."
Eh? Mengapa harus pakai janji-janjian segala...? Hmm ... apa dia sebegitu tidak percayanya padaku?
"Ya, tentu saja. Aku berjanji."
Dikarenakan ia berbalik, itu telah membuatku untuk hanya bisa melihat rambut pirangnya yang panjang itu saja dari belakang.
Perlahan, Lucia sedikit mengintip ke belakang dengan tujuan yang kuduga adalah untuk mengecek diriku.
Meskipun hanya sebagian, tapi aku masih bisa melihat wajahnya dari sudut ini.
"A--Apa kau benar-benar akan melakukannya...?"
"Tentu saja. Bukankah saya sudah berjanji pada Tuan Putri...?"
Aku bersikap layaknya seorang Pelayan pribadi dari seorang putri kerajaan.
Mungkin karena merasa malu untuk bersikap seperti seorang Tuan Putri dan Pelayan, Lucia pun kembali mengalihkan pandangannya dariku.
Membuatku kembali hanya dapat melihat rambut pirangnya yang panjang itu saja.
"Ba--Baiklah. Akan kuingat janjimu ini..."
Saat dia berkata seperti itu, aku jadi menyadari diriku yang sebenarnya juga merasa sedikit malu untuk memainkan roleplay Pelayan ini...
Namun ... kalau kuperhatikan dengan jauh lebih baik lagi, mungkin Lucia sebenarnya tidaklah seburuk itu.
Menurut pandanganku, dia hanya terlihat seperti seorang gadis yang ingin permintaannya untuk dikabulkan walaupun hanya dengan sedikit usaha.
Artinya, meskipun permintaannya tidak dapat dikabulkan, setidaknya mungkin dirinya sudah akan merasa senang karena mengetahui dirinya yang telah diperjuangkan sebisa mungkin.
Yah, dasar anak remaja zaman sekarang...
....
Saat mengatakannya seperti itu, entah mengapa kesannya diriku malah jadi terlihat seperti orang yang sudah berumur.
Tidak, tidak, kalau dilihat dari penampilan, mungkin aku bisa dikatakan lebih muda daripada Lucia.
....?
Itu mengingatkanku akan sesuatu.
Kalau kupikir-pikir, aku masih belum mengetahui berapa usia mereka, baik itu Lucia maupun Rord.
Itu tidak terkesan seperti mereka ingin menyembunyikannya.
Hanya saja, kurasa tidak adil jika hanya usiaku saja yang diketahui.
Yah, mungkin aku bisa menanyakannya di lain wakt--
"--la--lain waktu!"
Em...?
"Aku akan memberitahukannya nanti ... soal permintaanku..."
Lucia kembali mengintip ke arahku, dan membuat kontak mata denganku.
"Apa kau tidak bisa mengatakannya sekarang saja?"
"Bu--Bukankah sudah kukatakan nanti...?"
Dia mengatakannya dengan nada yang sedikit kencang.
"O--Oh, baiklah-- eh, tidak, dimengerti."
Itu membuatku sedikit terkejut dan bertanya-tanya mengapa ia tidak bisa mengatakannya sekarang.
Setelah itu, Lucia pun berjalan lebih dulu untuk menemui Rord dan meninggalkanku di belakang.
Membuatku sedikit tergesa-gesa untuk menyusul dirinya yang berjalan lebih cepat.
Ketika aku hampir berada di sebelahnya, ia pun langsung menaikkan laju kecepatan jalannya untuk membuat jarak antara aku dan dirinya.
Ini terasa seperti ia tidak ingin berjalan berdampingan denganku.
Aku tidak berpikir jika dia marah. Maksudku, aku rasa aku tidak melakukan apapun yang bisa membuat dirinya merasa marah.
Kalau kupikir-pikir lagi, kurasa aku memang tidak bisa memahami apa itu isi hati dari seorang wanita...
"Bodoh..."
...?
Apa barusan dia mengatakan sesuatu...?
***
"Menerima kembali quest mengalahkan monster pohon...?"
Rord yang sedang duduk sembari menikmati segelas susu menanyakan hal tersebut padaku.
"Ya, benar. Lucia-lah yang menyarankannya. Jadi, bagaimana menurutmu?"
"Tu--Tunggu, tunggu. Bisa tidak jika kau menjelaskannya dari awal? Jika kau langsung ke intinya begini, aku tidak bisa memahaminya, tahu."
Katakan saja jika kau sebenarnya tidak mendengarkanku dari tadi...
Singkat cerita, aku pun menjelaskannya kembali pada Rord.
....
"Ooh ... begitu, ya, begitu, ya."
"Ya, begitulah. Jadi, bagaimana menurutmu?"
Rord menaruh jari-jarinya pada dagu mungilnya itu dan membuat wajah seperti sedang berpikir keras sembari terkadang-kadang menutup kedua matanya.
"Mmm ... aku sudah paham situasinya. Yah, kurasa tidak ada salahnya juga jika kita menerima quest ini kembali. Melawan musuh yang sudah pernah kita lawan juga akan membuat keberuntungan sedikit berpihak pada kita."
Lucia yang mendengarnya pun memasang senyuman.
"Kalau begitu..."
"Ya, ayo kita terima saja."
"Nah, kan! Bahkan Rord saja sudah setuju! Kalau begitu, ayo langsung saja kita pergi ke--"
"--tunggu."
Aku menarik Lucia dari belakang lewat kerah bajunya.
"Hmph! Ada apa lagi-- e--eh...?"
Suara Lucia perlahan demi perlahan mengecil bersamaan dengan kosakata miliknya yang semakin memudar.
Eh? Tidak. Kurasa ini bukanlah kerah bajunya.
Karena aku melakukan ini saat sedang menutup mata, jadi akan sangat tidak rasanya jika aku bisa mengenai targetku dengan benar.
Ja--Jadi, maka dari itu, jangan-jangan yang sekarang ini sedang kupegang adalah--!
Pada saat itu, aku menyadari beberapa kemungkinan yang terjadi.
Aku tidak merasa bersalah karena sudah melakukannya. Malahan, aku bersyukur karena itu terjadi.
"Ah."
"Ah."
Aku dan Rord mengatakannya secara serempak.
Aku melihat ke arah tangan kananku.
Yang kutarik bukanlah gunung, melainkan bajunya.
Agak sedikit 'Misspoint' untuk mengatakannya begitu, tapi kurasa yang benar adalah aksesoris.
Itu benar, yang kugenggam pada tanganku sekarang ini adalah dasi merahnya yang letaknya berada tepat di antara kedua payudaranya.
Dalam posisi ini, aku masih bisa merasakannya walaupun hanya sedikit, sensasi dari kelembutan kedua gunung tersebut.
Melalui bagian depan sisi kanan serta kiri tanganku yang sedang dikepal, sensasi dari kelembutan seperti buah marshmallow pun mengalir ke tanganku.
Yah, aku belum pernah memakannya sih, jadi bahkan aku masih belum mengetahui bagaimana rasanya.
Namun, dalam situasi seperti ini, aku rasa kata tersebut adalah kata yang paling cocok untuk mendeskripsikan rasanya.
"..."
Ada sesuatu yang membuatku merasa penasaran...
Meskipun masih terhalangi oleh baju dan bra ia yang gunakan, tapi entah bagaimana caranya aku masih bisa merasakan sensasi kelembutan ini.
Menyentuhnya sedikit dari luar seperti ini saja bahkan sudah terasa sangat lembut, aku tidak bisa membayangkan akan bagaimana jadinya sensasi kelembutan yang dapat dirasakan jika diriku benar-benar menyentuhnya secara mentah.
Yang pasti, itu akan terasa 'Adaptasi' sekali!
Medium is Premium. Kurasa kata-kata tersebut memang benar adanya.
Oh, tidak, tidak, aku harus tenang.
Untuk sekarang, mungkin aku bisa--
Aku menaikkan pandanganku ke atas dari dasi tersebut dan menyadari wajah Lucia yang memasang ekspresi cemberut.
Ekspresi yang ada pada wajahnya tidak menunjukkan kemarahan, melainkan malu, dan itu dapat dilihat dengan wajah cantiknya yang merah merona.
Yah, siapapun pasti akan malu dalam situasi seperti ini.
"Sa--Sampai kapan tanganmu masih akan berada di tempat itu, mesum?"
Lucia mengatakannya dengan nada yang bergetar.
Aku menyadari kondisi tanganku dan tanpa basa-basi langsung meminta maaf padanya.
"Terima kasih, Lucia."
Aku pun melepaskan genggaman tanganku pada dasi merahnya yang imut itu.
"Ya, sama-sama. Dan sampai jumpa."
"O--Oi, mau pergi ke mana, kau?"
"Akan kutunggu di luar."
Lucia berjalan dan pergi menjauh meninggalkan kami.
Apa maksudnya itu?
Tu--Tungg--
Aku melihat Lucia yang sedikit lagi sudah akan sampai ke pintu keluar guild.
Dikarenakan tingkah anehnya yang tiba-tiba ini, aku pun dengan spontan segera mencoba untuk menghadang dirinya agar tidak pergi.
"Apa yang sedang kau lakukan? Tidak. Aku ubah pertanyaannya, mengapa kau menghalangiku?"
"Ya--Yah, sebenarnya aku juga tidak tahu mengapa, tapi aku rasa ini diperlukan untuk sebuah eksperimen."
"Aku tidak memahami apa maksud dari perkataanmu. Apa kau bisa menjelasnya dengan lebih baik...?"
Lucia membalas perkataanku dengan nada yang sedikit kasar, tidak, mungkin lebih tepatnya adalah tegas.
Kurasa dia benar-benar marah padaku kali ini.
Tepat ketika aku memikirkannya, Lucia menyadari jika diriku tidak akan mampu untuk menjelaskan situasi ini dengan baik.
Dia pun berjalan melewatiku tanpa peringatan dan membuat pundak kami saling bersentuhan.
"Kalau sudah tidak ada hal lagi yang ingin kau katakan, maka biarkanlah aku sendiri sebentar."
Aah ... dikarenakan hal seperti inilah aku jadi jarang berinteraksi dengan para wanita...
Tidak, yang salah bukanlah mereka. Itu hanya ungkapan yang dengan saja kubuat-buat hanya untuk membuat diriku aman dari posisi bersalah.
Aku tahu hal itu jauh lebih baik dari orang sekitarku.
Yah, aku buruk dalam memperbaiki suasana. Jadi, mungkin aku harus mengatakan hal yang bisa saja membuat hatinya menjadi terasa lebih baik.
Namun, apa yang harus kukatakan saat berada dalam situasi seperti ini?
Ah, aku tahu.
Aku segera membungkukkan badan dan menundukkan kepalaku ke bawah.
"Aku minta maaf."
Langsung maafkan saja aku tanpa basa-basi mengapa...!
Harus kuakui, rasanya memalukan jika meminta maaf pada seorang wanita seperti ini.
Lucia pun sepertinya menyadari perubahan sikapku yang terkesan terlalu tiba-tiba.
Yah, aku tidak bisa melihat ekspresi wajahnya dari posisi ini, tapi aku sangat yakin jika dia masih sangat kesal sekarang.
"Me--Mengapa kau malah meminta maaf?"
Lucia menanyakan hal tersebut kepadaku dengan nada yang sedikit bergetar.
...? Mengapa suaranya gemetaran begitu...?
Dan juga, kau masih menanyakan hal itu padaku, wahai Tuan Putri Himedere? Bukankah kau sendirilah yang telah memaksaku untuk berada dalam posisi ini?
Yah, tapi tenang saja. Aku bukanlah tipe orang yang pendendam.
Bahkan, jika diperlukan aku mungkin akan meminta maaf meskipun aku tidak memiliki kesalahan.
Namun, tetap saja itu tergantung situasinya, sih...
Saat sedang memikirkannya, aku secara tidak sengaja melihat seseorang yang berada dalam situasi yang sama sepertiku dari kejauhan.
Pria tersebut sepertinya seumuran denganku. Dia memiliki rambut acak-acakan berwarna hitam putih dengan warna hitam di kanan dan putih di kiri.
Kulitnya sangat putih dan matanya nampak memiliki dua warna mata yang berbeda.
Lebih tepatnya, dia terlihat seperti seorang protagonis novel dengan penampilan yang terlalu dibuat mencolok daripada yang lain.
Dia memakai sebuah jubah berlengan panjang dengan ukuran besar yang tidak memiliki kancing serta baju dalam yang juga kebesaran.
Sepertinya itu disengaja untuk membuat dadanya hampir terlihat.
Bukan hanya itu saja, di bagian bawahnya, ia memakai celana jeans berwarna hitam yang dihiasi dengan aksesoris ikat pinggang yang sangat banyak.
Di tangannya, ia memakai semacam sarung tangan ketat yang menutupi seluruh kulitnya.
Jujur saja, bagiku itu terlihat sangat keren.
Namun, dalam waktu yang sama ... itu juga terlihat sangat alay.
Maksudku, orang macam apa coba yang akan melakukan cosplay seperti itu?
Memangnya kau ini apa? Seorang Chuuni?
Hm? Kelihatannya dia sedang berada dalam posisi yang hampir mirip denganku.
Aku penasaran apakah dia juga seorang petualang...?
Pria yang sedang membungkuk itu pun menyadari tatapanku, membuat kami berdua bertukar kontak mata.
Melihatnya, aku pun tersenyum bangga seolah-olah sedang mengejek.
Dan pria berambut hitam putih itu pun membalasku dengan senyuman yang sama.
(Aku akan menjaga jarak dengan orang itu).
(Aku akan menjaga jarak dengan orang itu).
"Dua permintaan."
...?
"Ubah satu permintaan itu menjadi dua permintaan."
"O--Oh, baiklah."
Lucia pun berjalan menjauh dariku dan kembali ke tempat Barten dan Rord yang sedang berbincang.
Di sana, Lucia langsung disambut dengan baik oleh Barte--
...?
Aku menyadari jika Rord tidak ada di sana ... ke mana perginya dia?
Seingatku tadi dia masih bersama dengan Barten.
Sesaat tadi aku sedang fokus pada hal lain dan itu membuatku kehilangan ingatan sementara pada yang ada di depanku.
Namun ... apa-apaan sebenarnya si Lucia itu...?
Aku benar-benar tidak paham isi pikirannya...
Tadi dia ingin untuk diriku mengabulkan satu permintaannya dan barusan saja dia memintaku untuk memenuhi satu permintaan lagi.
Dan juga ... orang aneh berambut hitam putih tadi itu...
Aku mengalihkan pandanganku ke tempat pria berambut hitam putih tersebut tadi membungkuk dan menyadari jika dirinya sudah tidak berada di sana.
Cepat sekali dia menghilangnya...
Aku menghela napas dan melihat tanganku dengan tujuan untuk menginspeksinya.
Itu tadi rasanya boleh juga...
Membayangkannya seperti ini membuatku berdebar-debar tidak karuan.
Yah, tapi itu sudah termasuk pelecehan seksual, sih...
Aku menyadari Rord yang ada di sampingku.
"...! Se--Sejak kapan kau ada di sini?"
Dia memasang wajah penat dan menghela napas sembari meletakkan tangannya ke kepalanya.
"Dasar payah..."
Harus kuakui jika aku memang benar adalah seseorang yang mesum karena jauh di dalam pikiranku, aku masih berusaha untuk mengingat bagaimana sensasi kelembutan dari 'barang' milik Lucia yang indah itu.
Rord melihatku dengan wajah penat, ia pun kembali ke tempat Barten dan Lucia setelahnya.
Aku jadi merasa bersalah pada Rord ... bagian bawah tubuhnya pasti sedang merasa kedinginan sekarang...
Aku memikirkan itu sembari menyentuh kantung celanaku yang terlihat lebih berisi daripada biasanya.
***
Beberapa hal terjadi, sehingga membuat kami, aku, Lucia, dan Rord perlu menemui Barten terlebih dahulu sebelum kembali menjalankan quest.
"Yo, Barten. Seperti biasa, wajahmu benar-benar selalu terlihat tenang dan cool, ya."
"Apa itu ditujukan untuk sebuah ejekan terhadap diriku?"
Dengan wajah datar, Barten menanyakan hal itu padaku.
"Dari mana kau bisa dapat pemikiran seperti itu...?"
Padahal maksudku yang sebenarnya adalah untuk memujinya...
"Ya, sudahlah. Aku kemari untuk membicarakan soal quest Evil Tree."
"Ah, monster pohon itu?"
"Benar, benar. Apa yang terjadi pada quest itu? Aku lihat ada banyak sekali kelompok yang mengambilnya."
"Ah, kau belum mengetahuinya, ya. Biar kuceritakan dari awal. Ini hanya berdasarkan pengamatanku saja. Dikarenakan begitu banyaknya monster-monster pohon yang bermunculan, peraturan pun telah diganti secara khusus hanya untuk quest ini. Siapa pun yang paling cepat menyelesaikannya akan mendapatkan hadiahnya. Aku juga tidak tahu mengapa, tapi entah mengapa pihak dari guild tiba-tiba saja memutuskan untuk melakukannya."
"Eh? Karena kau berkata begitu ... apa itu artinya masih belum ada orang yang menyelesaikan quest ini?"
"Ya, begitulah. Tingkat kesulitannya terlalu tinggi."
"Begitu..."
Tingkat kesulitannya terlalu tinggi, ya...
"Yah, sebenarnya Evil Tree bukanlah akar dari masalahnya. Mengalahkan mereka bisa dikatakan mudah-mudah saja."
"Eh? Apa yang kau maksudkan...?"
"Aah ... ini hanya rumor saja, tapi ada baiknya aku memberitahumu soal ini. Apa kau tahu soal 'Druid'?"
"Druid?"
Aku yang tidak mengetahuinya pun merespon dengan melihat ke arah Rord dan Lucia.
"Mengapa kau melihat ke arahku seolah-olah sedang bertanya?"
Lucia dengan ekspresi tidak senang menanyakan hal itu padaku.
Belum sempat untuk meresponnya, Lucia pun menghela napas dan menjawab.
"Druid itu ... koreksi aku jika salah, mereka adalah salah satu dari 'Makhluk Sakral' bukan?"
"Makhluk Sakral? Apa itu?"
"Makhluk Sakral adalah makhluk yang memiliki kekuatan sepenuhnya untuk mengubah realitas. Bisa dikatakan, makhluk yang penuh dengan mana sakral."
Lucia menjelaskan apa itu Makhluk Sakral padaku.
"Ya, itu benar. Singkatnya, mereka adalah makhluk yang mampu untuk menggunakan sihir sakral."
"..."
Kurasa mereka hanya suka untuk menambahkan kata 'Sakral' pada segala hal...
Sepertinya Lucia lumayan tahu soal hal-hal ini berdasarkan penjelasannya, meskipun sepertinya dia hanya pernah mendengarnya saja.
Yah, bagaimanapun juga, dia adalah seseorang yang memiliki gelar pahlawan.
Itu adalah salahku sendiri karena pernah meremehkannya.
"Apa kau pernah melihatnya? Druid ini."
"Yah, aku hanya pernah mendengarnya saja, sih. Kesempatan untuk bertemu Druid bisa dikatakan sangat kecil walaupun kau hidup selama 100 tahun."
Bukankah itu terkesan terlalu melebih-lebihkan...?
Aku beralih pada Rord karena kupikir dia lebih tahu soal monster dan juga, karena dia adalah putri dari raja iblis.
"Bagaimana denganmu, Rord? Apa kau pernah melihatnya?"
"Mmm ... aku juga belum pernah melihatnya, sih. Namun, yang kutahu adalah mereka memiliki tugas mutlak untuk menyucikan dan melindungi yang lain dari sihir jahat."
Dia pasti jarang keluar dari rumah...
"Kalau begitu, bukankah mereka adalah makhluk yang baik? Lantas, mengapa mereka menyerang manusia?"
"Untuk sekarang, masih belum ada alasan yang jelas. Banyak rumor tersebar yang mengatakan Druid pernah terlihat muncul di hutan tanpa alasan yang jelas. Namun, kabar buruknya adalah Druid tersebut juga menyerang petualang yang ada di sana. Hanya itu saja yang kudengar. Tidak ada bukti yang kuat juga untuk mengatakan alasan mereka menyerang manusia."
Barten menjawab pertanyaanku.
Oh, aku paham, aku paham.
Jadi, niat sebenarnya dari guild mengubah peraturan khusus untuk quest ini adalah untuk itu...
Itu benar, untuk menyingkirkan Druid.
Mereka tidak mau repot-repot untuk memberikan imbalan yang besar pada Druid.
Maka dari itu, dibuatlah peraturan khusus ini.
Petualang yang secara tidak sengaja bertemu dengan Druid, pasti tidak akan memiliki pilihan selain untuk bertarung dengannya.
Yah, ada banyak petualang yang keras kepala, jadi kurasa hanya ada itu pilihannya.
Namun, ada yang membuatku penasaran...
"Oh, ya, aku penasaran akan sesuatu ketika membicarakan ini."
"Apa itu?"
"Antara The Elder dan Druid, siapa di antara mereka yang lebih kuat?"
"Hanya sekedar informasi saja, tapi belum pernah ada yang mengetahui bagaimana kekuatan penuh dari Druid. Jadi, itu masih tanda tanya. Lupakan itu dulu. Jadi, bagaimana? Apa kalian masih ingin melaksanakan quest ini?"
"Tentu saja."
Rencananya adalah menghindari Druid. Jika bertemu dengannya, akan jauh lebih baik jadinya jika kami mengabaikannya.
"Oh, benar juga. Aku hampir lupa hal ini. Aku juga tidak tahu mengapa, tapi hadiah untuk quest ini telah dinaikkan sampai menyentuh satu juta Sama. Berjuanglah, ya, kalian."
Begitu rupanya ... satu juta, ya...
Setelah mendengar hal tersebut, aku segera bersiap-siap untuk pergi ke tempat tujuan.
"Ayo, Lucia, Rord, petualangan sudah menunggu di hadapan kita!"
"Ya! Satu juta!"
"Kalian benar-benar hanya mementingkan soal uangnya saja, ya..."
Lucia menghela napas sembari melihatku dan Rord dengan tatapan kecewa.
Aku menepis kata-katanya karena kurasa itu tidaklah benar.
"Bicara apa kau ini? Dunia ini sedang dalam masa krisis, lo!"
"Ya, ya, aku percaya kok ... karena aku sudah berkata begitu, jadi bisa tidak kau untuk tidak memegangi pundakku begini...?"
Dengan nada suara yang terdengar sedikit kencang di akhir kalimat, Lucia memasang ekspresi kesal.
"Oh, ayolah, padahal kau sebenarnya lumayan menyukai hal-hal seperti ini, kan?"
Aku tahu, meskipun sering bersikap tidak acuh, tapi Lucia selalu menginginkan sensasi dari petualangan yang sebenarnya.
Itu dapat dengan jelas terlihat pada ekspresi wajahnya yang ia sudah ia berusaha untuk sembunyikan.