webnovel

Gadis Itu Tidak Pernah Takut Padanya

Arsyilla mengerjakan tugasnya dengan cepat, jangan salahkan dirinya yang terlahir kaya, cantik dan pintar.

Semua kelebihan yang di dambakan setiap wanita ada padanya. Lantas, apa Arsyilla bangga? Tentu saja iya, tapi dia tidak sombong.

Memastikan jika pintu kamar sudah terkunci rapat sempurna, Asryilla menggeret sofa yang lumayan berat untuk mengganjal pintu, jaga-jaga jika ada setan lewat, dirinya bisa mempersiapkan diri untuk melawan, tidak pasrah dan berakhir kehilangan perawan di usia dini.

Arsyilla naik ketas kasur queensize dan langsung tidur, tidak mengganti pakaian karena Ac nya sangat dingin.

****

'Matahari mulai terbit, Arsyilla bangun dari tidurnya' nadanya mirip acara anak yang memiliki empat warna.

Acara favorite Arsyilla ketika masih kecil.

Bunyi rekaman suaranya sendiri sebagai alarm yang membangunkan Arsyilla setiap pagi, dia menyetelnya satu jam sebelum matahari terbit.

Arsyilla langsung bangun dan sholat, lalu dengan segera mandi serta mengenakan seragam yang tidak terlalu pendek dan ketat, meskipun dia menjadi idola di sekolah, tapi gadis ini selalu berpakaian sopan, itu lah Arsyilla.

Saat turun dari lantai dua, dia tidak melihat adanya tanda-tanda kehidupan dari gurunya, tanpa pikir panjang dan berniat pamit, Arsyilla langsung pergi.

***

"Morning class." Entah kenapa setiap pagi yang cerah harus di awali pelajaran matematika yang begitu rumit dan horor bagi para siswa dengan IQ standart, untung gurunya Wow. Seharian juga tidak apa-apa.

"Morning sir," jawab seluruh siswa.

"Kita adakan quiss," ucap Dhika.

"Pr nya gimana, Pak?" Tanya seorang siswi takut-takut, tapi kesemsem.

"Kumpul minggu depan." Tentu ada yang senang, sebab jadwal nyontek bertambah, bisa revisi dulu. Sedangkan Arsyilla sudah menyumpah serapah guru yang berstatus suaminya sekarang.

"Model yang begini ini yang nggak boleh gue benci dan umpat?" Gerutunya yang bisa di dengar oleh dua sahabatnya yang duduk di depannya.

Cecilia dan Zanetha hanya bisa mendesah pelan, sebenarnya alasan Arsyilla tepat, tapi lagi-lagi pesona gurunya ini sangat mampu memaafkan semua kesalahannya.

Yang penting, Pak Mahardhika selalu benar dan siwsa selalu salah. Bucin sama bego nggak ada beda, pikir Arsyilla.

Dhika dapat melihat bibir Arsyilla yang komat kamit dengan kepala tertunduk, pasti bibir itu sedang mengumpat dirinya.

"Arsyilla, apa yang kamu lakukan?"

"Emang, Saya ngapain pak?" Tanyanya sambil mengangkat kepalanya, semua siswa dan siswi melihat kearahnya.

"Jangan pikir Saya tidak tau apa yang kamu lakukan." Maya merasa cemburu karena Dhika memperhatikan gerak Arsyilla.

"Ya kalau bapak tau, ngapain nanyak?" Seisi kelas memuji keberanian Arsyilla yang tidak pandang bulu.

"Kamu! Keluar." Tanpa mengeluh Arsyilla menyusun bukunya dan di masukkan kedalam tas, lalu dirinya bangkit dan meniggalkan kelas dengan tenang, rahang Dhika mengeras menahan kesal.

"Fokus class," ucap Dhika setelah menenangkan diri.

"Kalian bisa ambil positifnya dan buang yang negatif darinya," ucap Dhika, setelah itu dirinya kembali fokus pada pelajaran, hatinya berusaha keras menahan kesal.

Gadis itu tidak pernah takut padanya.

***

"Hai, pak Ramlan," sapa Arsyilla saat melihat guru favoritenya sedang mengawas siswa yang terlambat.

"Loh Arsyilla, kenapa kamu ada disini?"

"Oh, itu. Saya disuruh keluar sama Pak Mahar." Seketika pak Ramlan tertawa mendengar panggilan Arsyilla untuk kepala sekolah mereka.

"Kamu tidak boleh begitu, bagaimanapun ilmunya sangat bermanfaat buatmu, Nak." Pak Ramlan menghapus sudut matanya yang berair akibat tertawa lepas.

"Biarin aja Pak, kalau nggak dapat ilmunya, Saya bisa les sama guru yang lain. Mengabdi juga boleh." Senyum manis Arsyilla tertular pada guru paruh baya itu.

"Bapak kok masih ngajar sich? Harusnya Bapak itu udah pensiun, nikmatin hari tua." Arsyilla sok bijak.

"Harusnya begitu ya, Nak. Tapi bapak suka mengajar, untung kepala yayasannya masih izinin bapak kerja." Arsyilla tau jika itu bukan alasannya, pasti karena ekonomi.

"Semangat aja pokoknya Pak, lagian disini bapak banyak cucu." Mereka tertawa bersama, dari depan kelas Dhika melihat interaksi itu.

'Hebat, bahkan dia tidak pusing akan nilainya' batin Dhika.

***

Jam pelajaran pun berganti, hari rabu setelah pelajaran matematika, olahraga menjadi pelajaran selanjutnya, kini Arsyilla sudah siap dengan baju olahraga yang oversize. Arsyilla tidak suka baju yang membentuk lekuk tubuhnya yang aduhai. Kalau kata Zanetha body model victoria secret, padahal tingginya tidak mumpuni.

"Ci, lo nggak keruangan Kepsek? Noh, nama lo di sebutin dari tadi sama operator, kesel pasti dia tu." Zanetha bercermin dari dari kaca toilet, merapikan poni yang menjadi satu-satunya bagian rambutnya yang lurus.

"Males, dia memang hoby kali cari perkara sama gue," jawab Arsyilla santai.

"Cia, lo nggak boleh santai gini, gimana pun dia itu Kepsek kita, dan lagi guru matematika, nilai lo di tangan dia Ci." Kini suara Cecilia yang bicara, menatap khawatir sahabat yang kelewat acuh ini.

"Biarlah, kalau nilai matematika gue jelek, otomatis gue pindah kelas, itu lebih baik. Kelas tiga gue nggak perlu tatap muka dengan dia." Arsyilla berniat pindah kelas, dimana Dhika tidak masuk mengajar.

"Ci, lo kebangetan dech," lirih Cecilia.

"Tenang aja, lagian dia duluan kan yang cari masalah, gue mah gampang. Lo jual gue beli."

"Iya, tapi bedain juga Ci, dia guru dan kita murid." Zanetha mencoba serius.

"Terus gue harus terima aja gitu di dzolimin? Selain sama Tuhan dan orangtua, gue nggak takut sama siapapun selama gue bener. Udah ah bahas dia cukup sampai disini, sekarang ayo kita olahraga!" Serunya di ujung kalimat sambil menarik kedua sahabatnya menuju lapangan.

Sesampainya di lapangan semua mata tertuju padanya, bukan hanya kelas dirinya saja yang berolahraga, tapi kelas Gabriel dan Fandi pun juga.

"Kenapa semua natap kita kayak gitu?" tanya Arsyilla polos.

"Gimana nggak, lo nggak denger tu suara operator yang nyebutin nama lo mulu, budek tau nggak Ci." Arsyilla yang menyadari itu hanya terkekeh kecil.

"Ketawa lagi lo, sarap gue rasa ini anak." Sungut Zanetha, dirinya malu jadi pusat perhatian.

"Yang gila itu opeartornya, mau aja di suruh," ucapnya pelan. Cecilia dan Zanetha memutar bola mata malas.

"Arsyilla Ayunda, kamu tidak dengar namamu sedari tadi di panggil?" Ucap pak Romi, guru oleharaganya.

"Suara operatornya rusak kali Pak," jawabnya sopan.

"Kamu pergi dulu keruang kepala sekolah, suara itu akan mengganggu proses belajar kelas yang lain." Arsyilla memutar bola matanya jengah.

"Ntar, kalau capek operatonya juga diem, Pak."

"Tidak akan, buk Silvi di pelototin kepala sekolah, tidak boleh berhenti sampai kamu datang keruangannya." Operator itu bernama buk Silvi.

"Berarti kepala sekolah yang mengganggu proses belajar, bukan Saya." Romi selaku guru olahraga hanya bisa geleng kepala, sebab apa yang di katakan Arsyilla benar adanya.

"Ya sudah, kamu temui aja dulu. Penting mungkin, sampai pak Mahardhika sebegitunya manggil kamu." Arsyilla mengangguk patuh.

Saat Arsyilla dengan gontai meninggalkan lapangan, dirinya mendengar teriakan semua orang, saat berbalik dirinya mendapati pak Ramlan sudah tersungkur jatuh karena kepalanya di hantam bila basket dengan kuat.

"Pak Ramlan!" Teriak Arsyilla langsung menghampiri guru yang sudah uzur itu sedang di tangani oleh Pak Romi dan beberapa guru yang berlari mendekati mereka, sedangkan semua siswa sudah teriak histeris.

"Siapa pelakunya?" Arsyilla bangkit mengambil bola basket tersebut.

"GUE TANYA SIAPA PELAKUNYA, LO SEMUA TULI, HAH?" Mata Arsyilla berkilat penuh amarah, mereka tidak tau apa kalau pak Ramlan guru favoritenya, dan ia yakin pak Ramlan tadi melindungi dirinya, sumpah demi Tuhan, emosinya sudah mencapai ubun-ubun.

"Cecil, Aneth. Kalau lo berdua masih mau sahabatan sama gue, buka mulut lo berdua." Tatapan tajam Arsyilla menghunus dua sahabatnya.

"Maya pelakunya." Suara Gabriel yang mengintrupsi. Arsyilla menampilkan smirk yang menakutkan.

selamat membaca ya :)

Ardhaharyani_9027creators' thoughts
Next chapter