Tommy terus memikirkan di mana ia sempat meletakkan catatan kecil itu. "Mobil! Ya, aku ingat itu di mobil." Tommy berjalan menuju garasi. Di ambilnya kunci mobil yang menggantung di sebuah kotak yang memang dikhususkan untuk tempat kunci, kemudian menekan tombol untuk membukanya. Setelah masuk ke dalam mobil, Tommy terus mencari-cari di tempat-tempat yang menurutnya ia letakan. Setiap kertas yang ia temukan selalu diperiksanya dulu, kemudian di buang.
ZET!
Matanya tiba-tiba menangkap buku agenda kecil berwarna orange. Setahunya agenda itu catatan kecil Sherly yang sering ia gunakan untuk berbelanja. Namun karena terpicu akan hal yang dicarinya, Tommy pun membuka lembaran-lembaran dalam buku itu.
Di lembaran pertama Tommy menemukan catatan resep, lembaran kedua ia menemukan catatan belanjaan bulanan untuk keperluan keluarga, sementara lembaran ketiga dan seterusnya sudah kosong. Tommy putus asa dan coba-coba kembali mengingat di mana ia meletakkan kertas itu. Namun saat ia meletakkan buku agenda tersebut secara kasar pada tempatnya, buku itu berhamburan dan menampakkan lembaran halaman yang ada tulisan pulpen berwarna hitam. Tommy terpicu dan kemabali mengambil buku itu.
"Email dan password facebook," ucap Tommy seraya melihat tulisan yang ada di lembaran tengah buku itu. Ia melihat tulisan email dan password yang ditulis oleh Sherly. "Apa jangan-jangan ini email barunya?" Karena penasaran, Tommy merobek lembaran itu kemudian menyimpannya. Ia harus mencoba dan mengecek, apakah itu benar-benar email yang digunakan Sherly pada akun facebooknya sekarang ini atau tidak.
***
Seperti yang sudah dipikirkan Tommy sebelumnya, ia sengaja mengambil tindakan dengan mengalihkan proyek pada Andin untuk memancing agar emosi Pak Malik memanggilnya. Karena tidak yakin jika lelaki itu akan mengijinkannya resign dengan alasan yang tidak masuk akal, Tommy sengaja melakukan hal ini__ dengan mengalihkan pekerjaan tanpa konfirmasi pada pemilik proyek sebenarnya__ agar ia bisa mengutarakan niatnya yang ingin berhenti.
"Aku tahu, Tommy, tapi kamu tidak boleh seenaknya mengalihkan pekerjaan itu pada Andin," kata Pak Malik, "Harusnya kau mengonfirmasinya dulu padaku, bukan seenaknya langsung main alihkan tanpa sepengetahuanku."
Saat ini Tommy dan Pak Malik sedang berada di kantornya. Posisi Pak Malik dan Tommy saling berhadapan dengan emosi masing-masjing. Jika Pak Malik kini sedang marah, Tommy justru hanya diam seribu bahasa seakan semuanya baik-baik saja.
"Maafkan aku, Pak. Tapi kan Andin juga kontraktor yang bagus, jadi aku rasa tidak ada salahnya aku mengalihkan proyek itu kepadanya."
Pak Malik sontak berdiri. "Aku tahu, tapi seharusnya kau bertanggung jawab dengan pekerjaanmu hingga selesai, Tom." Ia berjalan menuju jendela, kemudian berkacak pinggang sambil menatap para pejalan kaki dan kendaraan yang lalu-lalang. Setelah akhirnya ia berbalik untuk menatap Tommy, Pak Malik menarik napas panjang kemudian melepaskannya perlahan-lahan. "Jika kau seperti ini, kemungkinan aku tidak akan lagi memberikanmu proyek besar lagi."
Secara logika sebenarnya itu tidak ada pengaruh dengan Pak Malik ataupun perusahannya, karena semua biaya Andin Tommy yang tanggung dan itu sama saja dengan Andin yang menangani proyek itu. Tapi yang anehnya, kok bisa Pak Malik begitu marah dan menyalahkan Tommy dalam masalah ini? Apa sebenarnya Pak Malik tidak mau jauh dari Andin?
***
Dalam perjalanan menuju rumah, Tommy memikirkan segala masalah yang ia alami saat ini. Baik masalah rumah tangga maupun pekerjaan. Namun dari kedua masalah itu, Tommy lebih baik kehilangan pekerjaan daripada kehilangan ibu bagi anak-anaknya. Dan meskipun bukti nyata sudah didapatnya secara langsung, tapi ia tidak mau secepatnya menyikapi masalah itu dengan emosi. Tommy lebih baik menjaga jarak dari Sherly sampai wanita itu sadar akan kesalahan apa yang dia perbuat.
Tommy memarkirkan mobil di garasi. Donny yang kebetulan baru pulang sekolah itu langsung menyapanya. "Halo, Koko. Bagaimana sekolahmu?"
Donny berjalan bersama Tommy memasuki rumah. "Aman, Pi. Ada yang pengen aku tanya ke Papi."
"Soal apa?" tanya Tommy seraya merangkul anak sulungnya itu.
"Soal Mami."
Langkah Tommy terhenti tepat di depan pintu masuk. "Mami?"
"Ya, Pi. Aku rasa akhir-akhir ini sikap Mami aneh."
Pikiran Tommy langsung mengarah pada masalah yang saat ini mereka hadapi. "Bagaimana kalau kita bicara sambil nongkrong di suatu tempat?"
"Ide bagus, Pi. Tapi bagaimana dengan Arya dan Julian? Mereka pasti akan minta ikut."
Tommy tertawa. "Kita akan ajak mereka main-main. Jadi sambil kita bicara, biarkan mereka bermain."
"Siap, kalau begitu aku siap-siap dulu, Pi." Donny berlari memasuki rumah. Sementara Tommy masih berdiri seraya memikirkan apa yang akan dibahas anaknya mengenai Mami mereka. Ia yakin jika ini pasti ada sangkut-pautnya dengan perselingkuhan Sherly.
"Tom?" panggil Lenna dari dalam rumah.
Pria itu terkejut, tapi dengan cepat ia mengubah ekspresinya dengan senyuman. "Ya, Ma?"
"Besok Mama dan Papa akan pulang ke Jawa. Kakak Sherly akan dilamar, jadi Mama dan Papa harus ada di sana."
"Apa Sherly akan ikut juga?" tanya Tommy ragu.
"Mama belum tahu, Nak. Dia juga belum tahu soal ini, karena kakaknya baru saja memberitahukan hal ini barusan. Mama baru saja selesai bicara dengannya di telepon."
"Ya sudah, kalau begitu rencana jam berapa Mama dan Papa akan berangkat, biar aku yang akan membeli tiketnya."
"Terserah kamu saja, Nak. Mama masuk dulu, ya? Mama akan melepon Papa untuk memberitahukan hal ini."
Tommy menggangguk pelan. "Ya, Ma." Dilihatnya tubuh Lenna kembali memasuki rumah. "Acara lamaran, apa jangan-jangan dia akan ikut pergi?" kata Tommy dalam hati. Ia pun memasuki rumah dengan pikiran-pikiran melayang.
"Papi!" seru Julian yang kini muncul dengan handuk merah melingkar di tubuh. "Papi, kita akan jalan-jalan ke mana? Kata Koko kita akan pergi main mobil-mobil ya, Pi?"
"Julian, pakai baju dulu, Sayang," kata Sherly yang muncul dari arah kamar, sementara tangannya dipenuhi dengan perlengkapan Julian.
Tommy pun mendekatinya lalu bertanya, "Kata Mama besok mereka akan pulang ke Jawa. Kau tidak ingin ikut?"
"Iya, Kakak juga sudah meneleponku. Dia akan segera dilamar." Sherly mengangkat tubuh Julian ke atas sofa. Dengan pelan ia menggosokkan minyak kayu putih ke seluruh tubuh anak itu lalu berkata, "Aku tidak akan ikut. Aku sudah bilang padanya bahwa aku akan ke sana kalau sudah acara pernikahan."
"Kau yakin?" tanya Tommy lagi.
Pertanyaan yang mengandung magna ganda itu membuat jantung Sherly berdetak. Ia menarik napas panjang kemudian menatap Tommy. "Kau kan ada di sini, mana mungkin aku akan meninggalkanmu bersama anak-anak."
Tommy menunduk sambil tersenyum. "Tidak masalah, jika kau memang ingin pergi bersama Mama dan Papa, aku bisa menjaga anak-anak di sini sendirian."
"Papi!" Arya muncul dari arah kamar bersama Donny. "Gimana, Pi? Keren kan gayaku?"
Tommy dan Sherly sama-sama menatapnya. Arya yang kini sudah remaja terlihat begitu tampan dengan balutan kaos putih bermerk dan celana jins denim yang panjang. Sepatu kets putih dan topi merah yang dipadukan membuat penampilan Arya terlihat seperti Donny.
"Dede juga mau pake topi, Mi. Dede mau pakai baju sama seperti Koko dan Titi."
Sherly dan Tommy tersenyum. "Koko, tolong ambilkan topinya Dede di kamar, ya?"
"Aku saja," kata Arya.
Tommy pun tersenyum melihat kebahagiaan yang terpancar dari wajah ketiga anaknya. Dalam hati ia berusaha sekuat tenaga untuk bisa menepiskan tentang perselingkuhan Sherly dengan laki-laki lain. Rasanya ia takkan sanggup melihat kebahagian yang terpancar di wajah anak-anaknya itu hilang hanya karena keegoisan dirinya dan Sherly.
Continued___
Terima kasih ya untuk Sobat semua yang masih setia. Semoga Sobat semua tidak akan bosan dengan cerita ini. ^^