webnovel

Harapan Kecil

Apartemen Bayu, di ruang tengah Anggi melihat lelaki di depannya mengangkat tangan, sambil menyuruhnya untuk mendapatkan uang. Nada yang dipakai oleh Bayu terdengar datar disertai wajahnya yang tak bereskpresi malah membuat Anggi sedikit canggung.

"…"

"Ehem! Apa kau yakin bisa menghadapi orang itu?"

Anggi menghela nafas panjang sebelum menjawab, "Bisa, walau belum diketahui kekuatan dan artifak yang dia pakai. Selama perkiraan bahwa dia adalah kelas emas, aku yakin bisa menangkapnya."

Bayu memandangi Anggi dengan seksama, dia cukup terkejut dengan kepercayaan diri Anggi. Pernyataannya seakan mengatakan kalau dia memiliki kekuatan yang melebihi kelas emas. Platinum? Bayu sedikit tidak percaya. Selama ini di Nusa hanya ada dua orang yang memiliki kekuatan platinum. Kalau Anggi memang setara dengan mereka, Bayu merasa sangat diberkati.

Guildnya yang belum ia bentuk, bahkan belum ia pikirkan (Karena dia baru mau memikirkannya besok) kini sudah memiliki dua anggota. Aarifa sebagai dokter, dan Anggi sebagai avonturir. Bayu merasa senang sekali di hatinya.

"Kalau begitu pergilah ke sana. Tapi sebelum kau pergi, kirimkan dulu biodata lengkapmu dan juga keluargamu yang hilang. Selama kau pergi, aku akan mencari informasi tentang hilangnya keluargamu."

Anggi tertegun, dia tidak mengira kalau Bayu akan langsung mencarikannya informasi. Anggi sebelumnya berpikir kalau dia harus bekerja dulu, dan membuktikan kegunaan dirinya sebelum ia mendapatkan keinginannya. Setidaknya, seperti itulah yang ia rasakan di PIN. Dia tidak mengerti apakah Bayu ini seorang yang naïf atau bukan? Karena selama yang ia lihat, reaksi di mukanya tidak pernah berubah. Anggi hanya bisa tersenyum tipis.

"Itu mudah, akan kukirim sekarang juga," Anggi lalu membuka ponselnya, lalu mengetikkan biodata dirinya dan keluarganya, "Apa kau butuh dokumen lain? Aku bawa beberapa dokumen di mobil tentang kasus mereka. Walaupun di dalamnya tidak ada petunjuk sama sekali. Kebanyakan beritanya seperti dibuat fiksi dan mengada-ngada. Dan coba tebak? Bahkan ada artikel yang mengatakan kalau keluargaku ditelan lorong waktu dan dikirim ke masa lalu. Teori gila."

"Kau tidak akan pernah tahu. Dunia sekarang lebih fiksi dari yang kita kira. Untuk dokumen-dokumen yang kau katakan, aku tidak membutuhkannya. Biodata lengkap saja sudah cukup. Selanjutnya kau tinggal menunggu," Yup, menunggunya selesai baca, ujar Bayu dalam hati.

"Seriusan?"

Bayu mengangguk, ponsel di tangannya bergetar, ia melihat sebuah pesan dari Anggi telah masuk. Anggi setelah mengirim biodatanya beranjak dari sofa. Ia kenakan lagi sweater krimnya.

"Baiklah kalau begitu, aku akan langsung ke Kota Akademi, alamat ini… apa dia benar ada di sana?"

"Ya, kalau sekiranya nanti berubah, akan kukabari lagi."

Anggi tersenyum, lalu berjalan ke pintu depan memakai kembali boots hitamnya.

"Kau akan ke sana pakai apa? Balon udara? Atau kereta bawah tanah?"

Anggi senyum menyeringai, "Bukan keduanya, aku akan memakai mobilku sendiri."

'Eh? Apa kau serius?'

Bayu sedikit terkejut. Dia melihat heran kepada Anggi, "Tidakkah itu berbahaya? Lagipula balon dan kereta lebih mudah, cepat dan aman? Kenapa harus memberanikan diri melewati kawanan monster?"

"Hahaha, sudah lama tubuh ini tidak bergerak. Anggap saja aku butuh pemanasan sebelum bertemu dengan target."

Bayu tidak dapat berkata-apa, dia bahkan tidak mau memikirkannya lagi. Pemanasan? Tidak-tidak, sebelum itu, apa dia tahu jalan dari Kembang ke Kota Akademi? Sepertinya ini bukan pertama kalinya perempuan di depannya bepergian dengan mobil di luar tembok.

"Kalau begitu, aku pergi dulu, Bos! Akan kuselesaikan dengan secepatnya, bye!"

"Hm, pergi dan dapatkan uangnya!" Bayu mengangguk lalu ia melihat Anggi yang berjalan pergi ke lift, "Hmm? Bos? Siapa yang dia panggi bos? Aku?"

<Sepertinya iya, tuan.>

"Kenapa harus bos? Bukankah seharusnya Guildmaster?"

Bayu merasa kalau kedudukannya tiba-tiba setara dengan preman yang biasa ia temui di pasar. Bayu merenung. Dia menghela nafas panjang, berjalan kembali ke sofa. Bayu menilik sebentar ke arah TV. Ia lalu sedikit tertarik dengan berita yang kini disampaikan.

(Arwah-arwah para korban balon udara kini telah bangkit. Pihak polisi telah merekam kesaksian mereka terkait penyerangan pada balon udara HG-34 milik Hexagone. Berdasarkan kesaksian para arwah, mereka diserang oleh seorang pria bernama Dimitri. Diperkirakan pria ini berumur tiga puluhan akhir. Ia memiliki rambut perak pendek, dan postur tubuh kurus. Dari wajah pelaku, para saksi berkata kalai dia memiliki kemiripan dengan orang Soviet. Tujuan pelaku menyerang mereka adalah untuk menculik diva internasional, Vanessa Blumunt. Kini bisa dipastikan bahwa Vanessa tidak meninggal, tapi keberadaannya masih belum dapat diketahui. Polisi akan mengerahkan segala kemampuannya untuk mencari Vanessa. Arwah para saksi sekarang akan didoakan oleh para ahli agama, agar bisa kembali ke akhirat.)

"Heee~" Bayu mendengar itu tidak mengira kalau diva yang kemarin disangka telah tiada, ternyata masih hidup. Dia merasa hal ini hanya akan membuat Fara lebih sibuk lagi, tapi perempuan itu mungkin akan lebih menikmatinya.

"…"

Namun, entah mengapa Bayu merasakan suatu firasat tidak enak.

'Itu cewek, dia tidak akan meminta info padaku, kan?'

<Kemungkinan hal itu terjadi cukup besar tuan.>

Bayu memegangi keningnya, agak mulai pusing. Dia lalu membuang masalah Fara dan Venessa dari kepalanya untuk saat ini. Ada hal lain yang harus ia lakukan, Bayu membuka pesan dari Anggi.

"Setelah buku Anggi terbentuk, pantau dia, beritahu kalau ada sesuatu yang penting."

<Baik tuan.>

Bayu mulai membaca nama lengkap dan tempat tanggal lahir Anggi beserta keluarganya. Namun, sesuatu yang ia tidak bayangkan terjadi. Satu persatu buku terbentuk setelah Bayu membaca biodata keluarga Anggi. Buku tentang Anggi, bersampul cokelat. Dua buku berwarna abu milik ke dua orang tuanya. Dan terakhir sebuah buku bersampul cokelat untuk Aira Vandanavy, yang menandakan kalau adik perempuan dari Anggi ini masih hidup.

<Tuan…>

"Hm, ada apa?"

<Aira Vandanavy, bukunya berwarna cokelat.>

"Hah?" Bayu tertegun, dia tidak menyangka kalau ternyata masih ada yang hidup. Kalau Aira masih hidup, kenapa dia tidak memberitahukan kakaknya? Bukan hanya itu, kenapa dia tidak bilang ke polisi atau siapapun?

Kalau ada penyintas seharusnya misteri ini tidak seburuk seperti sekarang ini. Setidaknya, harusnya ada orang yang melihat Aira, dan melapornya ke polisi. Tapi hingga saat ini tidak ada laporan sama sekali. Apa yang terjadi?

Apa keluarga Anggi, membuangnya lalu mengasingkan? Tidak—itu tidak mungkin, ke dua orang tuanya telah meninggal. Bayu merenung sebentar, sebelum meminta Ayu untuk memasukkan buku Aira ke pemindai.

"[Fath] Aira Vandanvy."

Pada genggamannya tiba-tiba buku bersampul cokelat muncul.

<Apa saya perlu membaca buku Tuan dan Nyonya Vandanavy?>

Bayu berpikir sejenak, "Tidak, aku akan membaca semuanya supaya bisa lebih kumengerti. Kau tolong pantau saja buku-buku di sekelilingmu."

<Dimengerti, tuan.>

Bayu lalu melihat buku di tangannya. Tampak senyum tipis muncul di wajahnya yang biasa datar. Bayu merasa bahwa ia menemukan secercah harapan yang telah Anggi buang. Walau belum terbentuk, Bayu sudah merasa kalau Anggi telah masuk sebagai anggota guildnya. Seorang keluarga baru baginya, apalagi saat ini perempuan itulah yang akan mendapatkan dana untuknya.

'Aku harap buku ini tidak berisi harapan palsu.'

***

Di lain tempat, dalam sebuah terowongan bekas monorel. Dimitri berjalan santai ke laboratorium milik dokter Zetta. Di pundaknya terpikul tubuh Vanessa yang masih tidak sadarkan diri. Berselang setengah jam, Dimitri sampai ke lab dan menemukan dokter Zetta sedang menonton TV di kursinya. Orang tua itu merasakan kedatangan Dimitri.

"Anda lengah, kenapa anda tidak mengambil arwah-arwah penumpang di balon?"

"Hahaha, aku tidak mengira kalau tentara Nusa akan datang secepat itu. Kalau harus nunggu sampai arwah mereka muncul, keburu bantuan akan datang. Akan sangat merepotkan kalau sampai terkepung." Balas Dimitri sambil menjatuhkan tubuh Vanessa ke tanah.

"Dia masih hidup, kan?"

"Tentu saja, tapi brengsek sekali ini cewek. Berani-beraninya dia melukai tanganku," Jawab Dimitri, sembari memperlihatkan tangan kanan yang sebelumnya digigit oleh Vanessa. Zetta melihat tangan kanan itu, tidak ada luka sama sekali, dia agak terheran dengan perkataannya. Namun, Zetta tidak mempermasalahkannya, ia lalu melihat kondisi tubuh Vanessa.

Senyum dingin muncul di wajahnya. Zetta sudah tahu apa yang harus dia perbuat pada Vanessa, tubuhnya sedikit bergetar karena tidak sabar melihat hasil ciptaan berikutnya dari tubuh cantik di depannya.

"Hei, dokter?"

"Apa?"

"Boleh aku pinjam dia semalam?" Pinta Dimitri, matanya menulusuri tubuh Vanessa yang terbaring di tanah. Pandangannya dipenuhi oleh hawa nafsu, dalam pikirannya ia sudah melucuti satu persatu kain yang menutupi tubuh Vanessa. Ia lalu semalaman akan menikmati tubuh itu, tubuh seorang diva yang menjadi idola kaum lemah.

'Rasanya pasti nikmat sekali!'

Dokter Zetta melihat tatapan buas Dimitri.

"Semalam? Baiklah, aku juga perlu untuk menyiapkan bahan lainnya. Tapi ingat Dimitri! Jangan bunuh dia."

"Hehehe, jadi kalau sedikit luka gak apa-apa, kan?"

"Hihihi, oke, asal jangan berlebihan. Aku tidak mau melihat mahluk ciptaanku terlihat buruk."

"Okey dokter," Dimitri lalu mengangkat lagi tubuh Vanessa, "Ada kamar kosong?"

"Lanjut saja, nanti di kanan dinding terowongan ada pintu warna biru, anda bisa pakai tempat itu."

Dimitri kemudian berjalan mengikuti arahan dokter Zetta, suara tawa dari pria berambut perak itu menggema di seluruh terowongan. Zetta hanya bisa menggelengkan kepala, ia lalu pergi ke sebuah tempat di terowongan yang sudah ia buat sebagai mesin pendingin.

Tempat ini berada di dalam dinding terowongan. Setelah lelaki tua itu masuk, dapat dilihat puluhan hingga ratusan tubuh tergantung dan terbaring rapi. Banyak pula berbagai organ dari berbagai mahluk yang sudah tidak terhitung jumlahnya.

Zetta dengan senyum sinisnya, menanti hari ketika Vanessa baru, melakukan aksinya.

ตอนถัดไป