"Dasar keturunan Pelacur murahan! Ternyata kamu yang merampok harta milik juragan Sapri dan membunuhnya?" tandas salah seorang diantaranya. Bu Lastri tampak gelagapan saat mendengarkan tuduhan yang sama sekali tidak dia lakukan. Tetapi melihat pandangan para warga yang seakan menghakiminya, dia menjadi gugup, yang semakin menyakinkan warga kalau dia adalah pelakunya.
"Bukan aku pelakunya. Tadi ada orang yang mengetuk pintuku dan menaruhnya di bawah sini!" ujar Bu lastri sambil menunjuk ke arah depan pintu itu.
"Alasan saja kamu. mana ada maling ngaku."
"Kamu itu memang keturunan pelacur tidak tahu diri! kalau kamu tidak suka dengan warga desa bukan begini caranya."
"Dasar wanita pembawa sial."
"Tunggu apa lagi! Ayo arak dia keliling kampung!"
Begitu kata warga yang saling bersahutan. Tidak menunggu waktu lebih lama lagi, mereka merebut kantong hitam dari tangan Bu Lastri dan menyeret paksa tubuh wanita yang tidak berdaya itu. Bu Lastri meronta sekuat tenaga, tapi apa daya dia tidak bisa berbuat apa-apa. terlebih jumlah warga yang lebih banyak. Bahkan beberapa diantaranya tidak segan untuk menamparnya.
Sungguh malang nasih wanita itu. begitu sampai di desa terlihat warga yang sedang menyaksikan pengarakan itu didepan rumah mereka. bukannya menolong, mereka justru mendukung para warga itu supaya menghajar wanita yang dianggap sebagai wanita pembawa sial itu. Dia sudah sangat dibenci hingga dikucilkan, begitu ada tuduhan kecil saja, mereka seakan memanfaatkan momen menghajar wanita itu.
Bu Lastri yang terdiam saat tubuhnya digelandang bak pesakitan. Dia sama sekali tidak mengiba, justru dendam bercokol di dadanya. Dia bukan wanita lemah yang mengiba belas kasihan, dia adalah wanita kuat yang kapan saja akan bisa membunuh mangsanya. Hanya saja sekarang dia tidak berkutik sama sekali saat puluhan warganya mengaraknya.
Kecuali Dewi, wanita itu tampak menatap iba ke arah ibu dari sahabatnya itu. Tetapi, dia sama sekali tidak bisa berbuat apa-apa untuk membelanya. Dia Cuma berharap semoga tidak terjadi hal yang lebih parah dengan Bu Lastri.
Mereka membawa Bu Lastri sampai depan rumah kepala desa. Mendengar keributan seorang pria yang keluar dari rumah itu dengan menggunakan kopiah dan kumis tebal yang menjadi ciri khasnya.
"Pak Kades, Inilah perampok sekaligus pembunuh keluarga juragan Sapri." Pekik salah seorang warga yang memegang obor.
"Bohong! Dia bohong! Aku sama sekali tidak pernah melakukan hal sekeji itu!" elak Bu Lastri membela diri.
Plak!
Sebuah tamparan tepat mengenai wajah wanita setengah baya itu sampai darah mengucur disudut bibirnya dan hidungnya.
"Kamu sudah kedapatan membawa hasil rampokan itu masih saja mengelak!" bentak salah seoarang warga yang memegangi tangannya.
"Sudah kubilang berapa kali! kalau aku menenukannya di depan pintu rumahku! Aku sama sekali tidak tahu menahu mengenai benda itu!"
"Udah terbukti salah! masih saja membantah!"
"Lebih baik kita apakan dia Pak Kades?"
Terlihat orang yang menggunakan peci itu tampak terdiam sejenak. Sepertinya dia sedang menimbang apa hukuman yang pantas untuk wanita itu. tapi beberapa saat kemudian, dia berkata.
"Bakar dia hidup-hidup."
Mendengar perintah sang kepala desa, warga bersorak-sorai. Sementara wajah Bu Lastri tampak pias dengan keputusan sang pemimpin yang tanpa menyelidiki lebih jauh langsung memvonisnya dengan hukuman seperti itu. Dia menggeleng-gelengkan kepala, rasa benci semakin bercokol di hatinya.
Sampailah mereka di tanah lapang, beberapa sudah menyiapkan satu jurigen mintak tanah dan tiang panjang. Lalu dengan kasar, beberapa warga langsung mengikat tubuh wanita setengah baya itu ke tiang dan menyiraminya dengan minyak tanah. Baunya menguar memenuhi hidung dari semua orang di lapangan itu, yang nanti akan berganti menjadi bau daging panggang.
Bu Lastri hanya pasrah mendapatkan perlakuan itu. Mau melawan juga percuma saja, dia tidak akan sanggup untuk melawan mereka. Hanya dia berharap berakhirnya hidupnya bukan berakhir juga dendamnya. Dia sangat yakin akan mampu membalaskan dendam meski raganya sudah hancur lebur.
Dewi membelah kerumunan warga. Tatapannya nanar melihat ke arah Bu Lastri yang diikat di tiang itu. Rasanya dia ingin menghalangi kebrutalan warga . Tetapi apalah arti dirinya yang tidak mempunyai daya apa-apa.
"Bakar! bakar! bakar!" seru warga serempak. Salah seorang warga yang dipercaya sebagai algojo sudah mempersiapkan korek api yang menyala. Bu Lastri hanya menunduk. Dia tidak sanggup membayangkan apa yang akal terjadi dirinya selanjutnya. Mungkin ini adalah akhir dari riwayatnya.
"Hentikan!" Pekik seseorang dari belakang. semua orang lantas menoleh ke sumber suara. Terlihat seorang gadis dengan tatapan pias sedang berjalan membelah kerumunan warga.
"Oh, ternyata ada satu lagi yang datang. kebetulan sekali." ujar sang Algojo. Raflina terfokus kepada ibunya yang terikat tidak berdaya itu. Sungguh hatinya seperti terbakar.
"Apa yang kalian lakukan kepada ibuku hah?" tanyanya dengan suara meninggi.
"Heh! Ibu kamu itu adalah perampok sekaligus pembunuh keluarga Sapri. Dia pantas di hukum mati."
"Mana buktinya kalau ibu saya adalah pembunuh!" Tukas Raflina.
"Semua sudah jelas, ibu kamu itu membawa sekantong karung harta yang dia curi."
"Sudahlah, abaikan saja anak ini! ayo bakar dia."
"Tunggu! saya sudah laporkan kalian ke polisi!" pekik Raflina yang berusaha untuk mengagalkan pembakaran itu. Dia sengaja berbohong untuk menakut-nakuti mereka. walaubagaimanapun dia tidak mau sampai kehilangan ibunya.
Para warga hanya terdiam sesaat. Mereka yang semula beringas pun menghentikannya sesaat. Ini kesempatan Raflina untuk berbicara dengan mereka.
"Sebentar lagi polisi akan datang dan akan menangkap kalian. Kalau sampai kalian berani macam-macam dengan ibu saya, maka kalian akan di tangkap ke polisi." Imbuh Raflina. Dia merasa idenya berhasil, terlihat beberapa warga terdiam mendengar perkataanya dia tadi. Gadis itu bisa bernafas lega.
"Jangan takut dengan ancamannya! Teruskan saja! dia tidak mungkin lapor ke polisi karena dia sendiri adalah burnonan polisi juga." pekik salah seorang warga yang muncul dari kerumunan warga. Orang itu bernama Japar. Dia juga yang tadi ikut mengarak Bu Lastri. Pria itu terlihat mendekat ke arah gadis itu sembari menjahil dagunya.
"Kamu pikir kami anak kecil yang bisa kamu takut-takuti. Ayo bakar wanita pembawa sial itu!" ujarnya sambil mengacungkan telunjuknya layaknya seorang pemimpin perang. Seorang algojo yang membawa korek tadi lantas melemparkannya kepada tubuh Lastri sehingga kobaran api menjalar dengan cepat diiringi teriakan kesakitan dari wanita paruh baya itu.
Raflina histeris dan berusaha untuk menyelamatkan ibunya. Tetapi Japar menahannya, lalu dia mengisyaratkan kepada beberapa pemuda untuk membantunya membawa gadis itu ke suatu tempat.
"Lepaskan aku! Lepaskan!" pekiknya sembari meronta-ronta.
"Sudah ayo ikut aku, kita bersenang-senang malam ini." sahut Japar.
Mereka membawa Raflina ke rumahnya di tepi hutan. Sesampainya di sana, Japar mendorong tubuh Raflina hingga terjatuh ke lantai.
Japar mengedarkan senyum bak serigala kepada para pemuda di situ. Mereka seakan mengetahui maksud dari Japar, Raflina mundur dengan terseok-seok ketakutan. Detik kemudian, malam mencekam itu menjadi saksi akan teriakan Raflina, teriakan penderitaan gadis itu yang tiada henti.