Tama melangkah ke dalam ruangan yang sempit itu. dia ingin memastikan penglihatannya. Di bawah cahaya merah yang menyilaukan mata, dia meneliti satu-satu foto pria yang tertancap oleh paku itu. Matanya membulat saat menyadari bahwa mereka adalah orang-orang jepang yang pernah dekat dengan Raflina dan mati mengenaskan ditangannya. Gadis itu sengaja memotret setiap korbannya yang tewas itu dan memasangnya di dinding itu. termasuk foto tuan Hiroshi, korbannya yang terbaru.
Pria itu mengeleng-gelengkan kepala. Selama ini dia mengira hanya pria jepang sewaktu kuliah dan tuan hiroshima yang menjadi targetnya. Ternyata dia salah. Tepat di sebelahnya terpasang begitu banyak foto pria bermata sipit yang memenuhi seisi dinding itu. Tama tidak menyangka segitu bencinya Raflina atas bangsa itu sehingga menggelapkan nuraninya sendiri.
Dia harus mencari cara untuk bisa menghentikan kebrutalan Raflina. Namun, dia tidak ingin melaporkannya kepada polisi. Dia tidak mau pujaan hatinya itu mendekam di penjara.
Tiba-tiba, sesuatu menetes di pipinya. Seketika Tama menyekanya. Dia yang sibuk memperhatikan foto-foto itu menganggap jika tetesan itu adalah tetesan air biasa. Namun ternyata dia salah, tetesan itu terus berjatuhan di wajahnya , menimbulkan aroma anyir yang busuk. Seketika Tama menengadah dan mendapati sesosok wanita berkebaya merah menempel di plafon. menatap tajam ke arahnya. kedua bola matanya membulat putih sempurna dan hampir keluar dari kelopaknya. Kain jarik yang dia keluarkan terus mengeluarkan darah.
Tama terpaku di sana. Masih tetap dengan posisinya yang menengadah. Namun mahluk itu hanya terdiam, tidak bermaksud untuk mengganggu Tama. Beberapa detik kemudian, seringai ganas muncul dipipinya bersamaan dengan hilangnya mahluk itu.
Sekarang, pria itu bisa menghela nafas denga tenang. Keringat sebesar jagung mengalir deras di keningnya. Untuk beberapa saat, dia berusaha menata hatinya yang berantakan karena penampakan hantu berkebaya itu secara tiba-tiba. setelah cukup tenang, baru dia berjalan keluar dari ruangan itu sambil mengelus-elus dadanya. Lagi-lagi dia terhenyak saat melihat mahluk itu melayang di langit-langit gudang.
Ahhhhh!
Tama memekik kuat sembari berlari. Saat dia akan menuju pintu gudang. tiba-tiba pintu menutup sendiri. Pria itu panik bukan kepalang. Sekuat tenaga dia menarik handle pintu itu, tapi sia-sia saja. sekarang mahluk itu tepat berada di belakangnya. Dia bisa merasakan bau anyir darah yang sangat busuk.
Tama berdiri mematung. Tubuhnya kembali tidak bisa digerakan. Yang membuatnya merinding adalah ketika mahluk itu memeluk tubuhnya dengan sangat erat. Tama memejamkan matanya, merasakan pelukan yang terasa amat dingin. Mendadak dia membuka matanya, saat sesuatu yang lunak menjilati tengkuknya.
Jangan!
Pintu terbuka. Lutut Tama melemas seketika dia terduduk di lantai. di hadapannya kini terlihat sesosok gadis yang dia yang dicarinya sedari tadi.
"Raflina." panggilnya. susah payah pria itu berdiri dan menubruk tubuh Raflina, sehingga rahina agak sedikit terjengkang. Namun, Tama dengan sigap menangkapnya dan memeluknya erat.
"Maafkan aku sayang, aku tadi menuduhmu yang tidak-tidak. Aku berjanji akan memahamimu dan tidak akan menghalangimu untuk melanjutkan misimu." tutur tama spontan. Entah kenapa dia berkata seperti itu.
"Aku akan memaafkan kamu dengan satu syarat."
Tama melepas pelukannya dan menatap dalam ke arah Raflina. "Apa sayang?"
"Besok temani aku pulang kampung." tuturnya.
"Itu saja?" sahut Tama yang seakan menganggap remeh permintaan Raflina. hanya mengantarkan pulang kampung saja 'kan? Begitu benaknya. Dia tidak tahu kejutan apa yang akan menunggunya.
***
Tama menepati janjinya untuk mengantarkan Raflina pulang kampung. Ini kali kedua bagi Tama datang ke desanya. Sebenernya, Tama merasa agak aneh kenapa letak rumah tunangannya itu berada di sudut desa yang berdekatan dengan hutan. Terpencil dari perkampungan penduduk.
"Berhenti disini." tukasnya tiba-tiba. Tama yang memegang stir kemudi pun langsung memelakan laju kendaraannya dan menepikan mobilnya.
"Kita mau kemana sayang?" tanya Tama keheranan. Dia melihat ke sekitar yang dinaungi oleh pepohonan beringin yang sangat lebat serta kegelapan yang menyelimuti karena hari mau magrib.
"Kamu mau ikut tidak?" ucapnya dengan suara datar. Tama meneguk ludah dan mengangguk dengan cepat. Lalu, Pria itu turun dan mengikuti Raflina dari belakang.
Tama tidak henti-hentinya melihat ke sekitar. bagaimana pepohonan yang rindang di siang hari itu berubah menjadi kegelapan yang mengerikan. Meski sisa-sisa senja masih menerobos di balik rimbunnya dedaunan. Dia merasa ada sesuatu di kegelapan itu yang sedang mengawasinya, menertawakannya ketakutan.
Sementara Raflina tidak gentar. Dengan tenang dia berjalan kedepan, menebos jalan setapak yang mulai ditumbuhi oleh rumput. Mungkin tempat itu sangat jarang di lewati oleh manusia.
Gadis itu berhenti tepat di bawah salah satu pohon beringin yang besar. Tama hanya menunduk, dia merasa ngeri untuk menatap pohon itu.
Raflina terduduk di bawah pohon. Tama awalnya tidak mengerti kenapa kekasihnya melakukan hal itu pun mengikuti duduk di sampingnya. Gadis itu terdiam, mulutnya berkomat-kamit seperti sedang memanjatkan do'a. Tama keheranan, kenapa kekasihnya itu berdo'a di bawah pohon yang lebat ini? apakah ada sesuatu di pohon ini? atau jangan-jangan gadis itu sedang melakukan sebuah ritual sesat?
Gadis itu membuka matanya. Tatapannya jelas mengarah kepada akar-akar pohon yang mencuat ke tanah itu. seukir senyum tulus terpancar di wajahnya.
"Sa-sayang, kamu berdo'a untuk siapa?" tanya Tama yang sedari tadi mengumpulkan segenap keberanian untuk bertanya.
"Untuk kakekku, Namanya Handoko." Gadis itu menengadah, pandangannya seperti menerawang." Dulu waktu Wagiyem - nenekku diculik oleh para penjajah, Kakekku sangat kehilangan. Berhari-hari dia selalu terjaga, menunggu kedatangan istrinya tercinta. Sampai warga di hebohkan dengan datangnya Marni, sahabat nenekku yang juga diculik untuk di jadikan budak. Kakekku sangat gembira sekali dan langsung mendatangi Marni di rumahnya dan menanyakan tentang kondisi istrinya. Tapi, Marni yang pada saat itu seperti orang linglung, sulit untuk di ajak komunikasi. Sehingga kakek mengurungkan niatnya untuk bertanya lebih lanjut."
"Baru tiga bulan kemudian, Marni sudah bisa di ajak bicara, meski belum seperti orang normal pada umumnya. Dia bercerita kalau dia dan para jugun ianfu yang sudah 'tidak layak pakai' dibakar ditengah hutan. Tapi Tuhan berkehendak lain. ketika para serdadu jepang akan membakar mereka, tiba-tiba datanglah para pejuang indonesia menyelamatkan mereka dan memukul mundur para tentara jepang itu, sekaligus mengantarkan mereka ke desa masing-masing. Tak sulit bagi para pejuang menemukan alamat para korban tersebut. Meski linglung dan ketakutan , mereka masih bisa menyebutkan daerah asal mereka."
"Mengetahui kabar Marni yang membaik, Kakek Handoko pun segera menjenguknya. Dia tidak sabar untuk menanyakan perihal istrinya. Tapi yang kakek dapatkan hanya tangisan Marni yang histeris. Entah kenapa, kalau di tanya soal nasib Wagiyem, Marni merasa sangat sedih. Kakekku yang penasaran pun dengan sabar menunggu penjelasan dari mulut Marni. Sampai akhirnya Wanita bekas jugun ianfu itu menuturkan kronologisnya."