"Kau pesan apa, Rin?"
Lamunan Rin buyar. Suara lembut itu sepantasnya obat penenang untuk hati Rin yang tersulut api amarah. "Cokelat panas."
Berpikir sejenak, pemilik suara jernih di sana meragu. "Yang lain saja, ya."
"Terserah, Jim. Aku sedang tidak ingin berdebat soal pesanan apa pun sekarang."
Orang yang baru saja bergegas pergi adalah Park Jimin. Seirasnya Rin yang tiba-tiba disambut muka kusut gadis itu saat menjemputnya di halte.
Selama perjalanan, Rin hanya diam. Pipinya merah, entah karena cuaca dingin akibat hujan yang terus-menerus melanda atau emosi terpendam yang tidak mampu diuraikannya secara fasih. Sekalinya bicara, yang terlontar dari bibir tebal Rin hanya akan jadi jawaban ketus atau ocehan tanpa sebab. Sejak dulu Jimin sangat paham bagian itu dari Rin. Jangan mengusik singa yang sedang kelaparan atau dia akan menerkammu. Begitulah pepatah yang sesuai menggambarkan seorang Rin saat ini.
Beberapa saat, Jimin datang bawakan dua cangkir kopi hangat menemani dinginnya hujan. Jimin memutuskan membawa Rin ke kafe dekat kampus. Jimin yakin Rin butuh menyegarkan otaknya sejenak untuk jalan-jalan ke tempat yang agak lebih jauh. Bukan cuma jauh, setidaknya ini bisa menyediakan deskripsi Rin tentang kehidupan kampus. Meski wanita itu belum mencicipinya.
Jimin mengambil alih tempat duduk yang sedari tadi dibiarkan kosong. Sambil sesekali menyesap kopi hangat di sana lambat-lambat, ia mengarahkan tubuhnya pada Rin. "Jadi, coba katakan, ada apa denganmu?"
Hampir Rin merengek kalau saja dia tidak ingat perihal mereka kini di tempat umum. Hatinya pilu. Mendapati suara pria yang merambat lembut melalui rungu Rin, menyentuh hati Rin semakin sulit membendung rasa gundah. "Apa yang harus kulakukan kalau ayah tahu ini, Jimin?"
"Kenapa memangnya?" Jimin menyerbu pertanyaan gemas.
"Aku..." Deras hujan terpampang samar di kaca jendela kafe yang buram akan embun. Ini mengganggu penjiwaan Rin. Ia berdecak. "Uh, diamlah, hujan. Kenapa kau selalu datang membuat hatiku bergemuruh, huh?"
Tidak tahan, akhirnya Rin menggerutu tanpa henti. Biarkan Rin menumpahkan bendungan dukanya yang sudah asak. Jimin memilih diam, senantiasa menunggu ocehan Rin mereda. Sekaligus mencari celah untuk merogoh isi tasnya sebentar. Jimin menemukan sesuatu di dalamnya.
"Rin, coba lihat aku," ujar Jimin antusias. Nadanya riang, sangat bertolak belakang dengan garis bibirnya Rin yang menekuk lusuh.
Rin menurut. Dia menargetkan sorot kedua mata hitam kecokelatan itu untuk Jimin. Cara tatap yang menggemaskan ini membuat Jimin ikut terhanyut dalam lautan bola mata si wanita.
Oke, sebagai hadiah, Jimin akan berikan sesuatu untuk Rin. Tangan terkesan mulus dalam kategori laki-laki, dengan lembut memasang earphone-nya di kepala Rin. Kedua telapak tangannya merekatkan bantalan earphone menutupi telinga Rin, bermaksud agar bunyi di sekitar Rin benar-benar terasa senyap. "Bagaimana? Kau masih terganggu oleh suara hujan?"
Gadis itu termangu. Dari sekian kali sikap manis Jimin yang tidak bisa lagi terhitung jari, malah satu tindakan ini yang cukup menyengat kalbu. Senyumnya lagi-lagi terurai menyejukkan dada.
"Suaramu juga jadi kecil," keluh gadis itu polos. Jimin melebarkan senyum sampai menenggelamkan biji mata indah miliknya.
"Ini biar kau leluasa cerita."
Rin kalut. Jadi, bertekad untuk menceritakan semua. Iris matanya sudah berkaca-kaca memanggil-manggil nama Jimin. Payahnya Rin begitu membutuhkan Jimin di sisinya sekarang. "Aku dipecat...aku tidak tahu harus bilang apa ke ayah."
Senyum Jimin sejenak memudar, rungunya menajam. Segala suasana di sana mendadak beralih serius.
"Tubuhku bergerak sendiri melawan pelanggan yang bersikap konyol di sana. Dia memesan apa yang tidak ada di menu. Dia menggodaku dan bersikap semena-mena. Lalu, di akhir aku baru tahu ternyata dia adalah bosku sendiri. Dia bentak apa yang kulakukan. Menyeramkan. Aku dipecat saat itu juga," cerita Rin lirih. Hidungnya yang memerah mulai mengendus-endus. Suaranya parau. Tanpa ia minta air mata telah meluncur bebas menjamahi permukaan mulus pipinya. Punggung tangannya menyeka berkali-kali.
Merasa Rin sudah sampai pada titik akhir rangkaian kisahnya, Jimin memberi respon, "Lalu, kenapa? Kau telah bertindak tegas pada apa yang menurutmu salah, itu sangat baik. Ayo, kita cari tempat baru untuk bekerja. Solusi yang mudah, bukan?"
Gadis itu menggeleng-geleng cepat. "Tidak bisa, Jim. Bekerja di kafe ini pun ayah yang menyuruhku karena pemiliknya adalah teman ayah, katanya. Jadi, hal ini benar-benar membuatku terbebani."
"Teman ayah?" Dahi Jimin mengernyit. Alisnya turun sebelah, menerka-nerka. "Aku tidak tahu ada teman ayah yang punya bisnis kafe."
"Entahlah. Aku benar-benar takut pada ayah."
Jimin menghela napas pasrah. "Baiklah, kalau begitu besok ayo temui bos itu sekali lagi. Kalau kafe sepi dia pasti rajin datang."
"Nanti kubilang, 'Park Soorin itu adiknya Jimin. Jadi, jangan coba macam-macam'." Jimin merajut ekspresi sok menyeramkan yang bahkan terlihat lucu bagi Rin. Matanya pura-pura menyalang ala gangster di pinggir jalan. Rin jadi spontan menuturkan tawa di tengah air mata yang sibuk membuat mata Rin sembab.
"Wajahmu menyebalkan, Jimin. Sungguh." Wanita berumur dua puluh tahunan di sana cekikan sambil memukul pelan dada bidang Jimin.
Suasana ini seperti merefleksikan pasangan muda yang tadi sempat Rin lihat di sudut ruangan kafe. Sepertinya Rin harus meminta maaf pada mereka setelah ini karena menghujat perlakuan itu diam-diam dan bersikap munafik.
☂ ☂ ☂
To be continued.
Kalian kepingin juga gak sih punya kembaran macam Jimin? Hehehe. By the way aku Misa, sebagai author sebenernya buat up rutin cukup sulit. Kayak sekarang aku cukup telat up chapter Pluviodilemma ini sampai mau gak mau up dua kali satu hari penuh hahaha. Tapi chapter selanjutnya aku pastiin asap, thank youuu!