webnovel

Pengabdian

Yola menyusuri pantai berdampingan dengan Abdul, untuk pertama kalinya mereka melewati waktu di luar rumah, entah kapan mereka akan kembali merasakan indahnya pantai berdua seperti saat ini. Kenyataan bahwa mereka baru berpacaran halal dan kini harus menerima kenyataan bahwa mereka segera akan terpisah oleh jarak.

"Sayang." Panggil Abdul.

"Hm."

"Aku masih ada simpanan uang sedikit, kamu ingin aku beliin apa?" Tanya Abdul.

"Ga usah, aku ga mau beli apa-apa, uangnya ditabung aja." Jawab Yola menatap sendu pada suaminya, Ia tahu dengan benar jika Abdul sangat bekerja keras untuk mereka.

"Tapi aku ingin memberikan sesuatu buat kamu." Kata Abdul membelai pipi Yola dengan sayang.

"Aku tidak ingin apa-apa, memiliki dirimu saja sudah anugerah yang luar biasa untukku, dulu aku pikir ga akan bisa dapetin kamu. Karena kamu anak seorang kyai sedang aku bukan." Kata Yola sambil menunduk.

"Jodoh itu ketetapan Allah, bukan ketetapan manusia." Ucap Abdul lalu mencium kening Yola sekilas. Suasana pantai memang sepi, hanya ada mereka saja disana. Sedangkan Pak Karim memilih duduk di warung menunggu bosnya selesai pacaran.

"nanti ada yang liat lho, cium cium segala." Protes Yola.

"Biarkan saja, aku akan bilang kamu istriku yang paling cantik, lalu mereka mau apa coba?"

"Kalau mereka ga percaya?"

"Ya sudah biarkan saja, siapa suruh mereka tak percaya."

"Yang aku serius nih, uangnya buat apa coba?"

"Ya ditabung katanya mau beli rumah." Kata Yola pada Abdul dengan memeluk pingangnya.

"Untuk rumah tak perlu kamu pikirkan, biarkan aku yang mikirin itu, yang jelas aku sekaranag ingin beliin sesuatu buat kamu."

"Ehm, ya udah terserah kamu aja mau beliin apa, tapi jangan yang mahal-mahal, kebutuhan kita masih banyak lho. Beli rumah juga ga murah kan? Uangnya buat nambahin itu aja sih." Rengek Yola.Yang membuat Abdul menjadi semakin gemas, lalu mencubit hidung Yola.

"Nanti aku akan mengirimu uang tiap bulan untuk biaya hidup kamu di sana, dan juga biaya terapi, walau untuk biaya terapi kali ini, aku menerima bantuan dari Abah dan juga Ayah."

"Pasti karena kamu dipaksa sama mereka ya, baru kamu mau nerima."

"Kamu itu sudah menjadi tangung jawabku, duania dan akhiratmu ada di pundakku. Sudah seharusnya aku mencukupi kebutuhanmu, baik kebutuhan dunia ataupun akhirat." Ucap Abdul dengan nada serius.

Yola menunduk, lalu menyandarkan kepalanya di dada Abdul, mereka berpelukan dipinggir pantai yang teduh.

"terimakasih atas segala cinta dan tangung jawab yang kau tunjukkan padaku, semoga Allah membalas semua yang kau lakukan dengan surganya kelak bersamaku."

"Amiin, sayangku."

"Amiin."

"Kita bersama meraih ridho-Nya, meraih cinta –Nya, ya."

"Iya, bimbing aku, dan selalu ingatkan aku jika aku salah melangkah." Ucap Yola mempererat pelukannya pada Abdul.

"Begitupun aku, ingatkan aku juga kalau aku salah karena tak selamanya aku benar, suamimu ini juga manusia biasa yang tak lepas dari kesalahan dan kekhilafan." Ucap Abdul lalu mencium kepala Yola.

"Semoga kita selalu dilindungi Allah dari keburukan dunia." Ucap Yola sambil mendongak pada suaminya.

"Amiin." Abdul mencium kening Yola.

Tanpa disangka Abdul, Yola berjinjit lalu mencium bibir Abdul sekilas, membuat wajah Abdul yang putih jadi berwarna merah.

"Nakal." Ucap Abdul.

"Sama suami ga apa-apa."

Abdul mengangkat tubuh Yola, hingga tinggi tubuh mereka sejajar, lalu mencium bibir Yola dengan lembut.

Ditempat lain, Jhonatan dan kedua saudaranya tak mau menganggu pasangan halal yang sedang di mabuk cinta itu, mereka kembali ke mobil. Lalu duduk disamping pak karim yang ternyata mengelar tikar di bawah pohon rindang ditemani kelapa muda.

"Pak Karim mantab, euy." Kata Fatih.

"Mau mas? Saya pesankan." Pak Karim bangkit berdiri lalu memesan kelapa muda untuk Jhonatan, Fahri dan Fatih.

"Pak, kenapa pantai ini sepi ya? Padahal bagus."

Pak Karim tersenyum lebar, "Karena tanah pinggir pantai ini di beli oleh Gus Abdul, waktu terjadi sengketa dan permasalahan, lalu Gus abdul menengahi dengan membeli tanah di sepanjang pantai ini, sampai disebelah sana itu, rencananya akan dibangun untuk daerah wisata agar masyarakat sekitar sini mendapat pemasukan dari para wisatawan."

"Oooo." Ucap Mereka bersamaan.

"Gus Abdul hebat ya Pak Karim."

"Bukan hebat lagi, pol hebat e, jiwa bisnis nya oke, jiwa sosialnya oke, dan juga jiwa kepemimpinannya itu lho, luar biasa." Kata Pak Karim, yang membuat ketiganya melongo sambil menyimak apa yang dikatakan Pak Karim pada mereka.

"Pantas Abah sangat mempercayakan pesantren dan urusan kantor sama Abdul jika beliau keluar kota atau keluar negeri."

"Ya, begitulah, karena memang Gus Abdul bisa diandal." Kata pak Karim.

"Ngomong-ngomong Gus e kemana sama mbak Yola?"Tanya Pak Karim pada ketiganya.

"Tuu…" Ucap Mereka serempak sambil menunjuk Yola dan Abdul yang sedang berada jauh dipinggir pantai.

"seneng ya lihat mereka, bebas pelauk, bebas cium, bebas ngapain aja." Kata Fahri.

"Ya udah kamu nikah aja kayak Abdul dan Yola kalau gitu." Kata Fatih.

"Nikah sama siapa? Pacar ada ga punya gebetan ga ada." Jawab Fahri dengan memeluk lututnya.

"Makanya jangan laptop mulu yang diurusin, sekali-kali balas tuh surat dari cewek-cewek." Ujar Jhonatan.

"Ga usah balas cewek-cewek itu, kalau ada yang dekat kenapa harus cari yang jauh, kalau ada yang sudah dikenal kenapa cari yang belum kenal?" Kata Fatih memancing Fahri agar lebih peka terhadap Anisa.

"Maksud kamu?"

"Ada Anisa, adiknya Abdul." Jawab Fatih dengan menatap jauh ke laut luas dari kejauhan.

"Anisa? Takut ah, ga berani, siapalah aku yang berani deketin putranya Abah kyai." Ujar Fahri, tak tahu jika ada hati yang menahan luka mengingat Anisa.

"Ya, kamu anak Om Rey pengusaha IT terbesar seantero negara ini, bahkan sampai diluar negeri." Jawab Jhonatan cuek.

"Oh, jadi benar to, kalau Mas Fahri itu anaknya Pak Rey."

"Kenapa Pak?" Tanya Fahri.

"Pak Rey itu kakak kelas saya dulu di sini. bedanya saya terus mengabdi disini, kalau Pak Rey harus pulang karena harus memegang perusahaan milik ayahnya."

"kenapa bapak ga pulang?"

"Pulang kemana? Ini rumah ku, pesantren itu rumahku, aku anak yatim piatu, yang dibawa ayahnya Abah Sofyan ke pesantren."

"Oh, gitu."

"Iya, saya orang yang beruntung bisa bertemu dengan mendiang ayahnya Abah Sofyan, dan bisa belajar agama disini, ga di jalanan."

"Iya ya pak, pantas bapak setia banget sama Abdul."

"Ya, sampai mati saya akan tetap mengabdikan hidup saya untuk keluarga Abah. Begitu juga dengan istri dan anak saya."

"Pantas bapak memilih tinggal didekat pesantren."

"Iya, supaya lebih dekat, saya itu santri yang ga lulus-lulus, dipesantren terus sampai punya anak, bahkan mungkin nanti sampai punya cucuk."

"luar biasa Pak Karim, semoga kita dipertemukan di surganya Allah nanti ya pak." Kata faith.

"Amiin mas."

Next chapter