webnovel

Jemput Anakmu!

Sudah pukul sebelas malam...

Pertemuan bersama Mr. Ram cukup melelahkan. Dia klien yang cukup ribet sekaligus rewel untuk memahami keinginannya. Beruntung, pada akhirnya dia menyetujui semua sketsa dan bekerjasama dengan perusahaanku. Bukan tanpa alasan, karena pada dasarnya dia memang sudah mengetahui kinerja yang kami berikan untuk klien-klien kami.

Aku memijat tengkuk leherku yang terasa pegal saat memasuki kamar. Menjatuhkan diri di sofa, hendak memejamkan mataku.

Namun kemudian aku beranjak. Menyusuri sosok yang sedang tertidur pulas di tempat tidur. Ada anak kecil dan perempuan yang sedang tidur lelap sambil berpelukan. Pemandangan yang sebenarnya luar biasa untuk dilihat.

Namun, entah mengapa aku begitu kecewa ketika melihatnya. Apa karena anak itu bukan anak kami?

Pikiranku melayang, apa aku akan mengalaminya? Maksudku menjadi orang tua harmonis, menjalin cinta dan memiliki anak dari istriku? Dengan sedikit bumbu salah paham, cemburu dan perdebatan, apa aku akan melewati masa-masa itu?

Seandainya Erina yang menjadi istriku, mungkin kami sudah mempunyai bayi mungil yang terlahir dari benih cinta kami, melengkapi keharmonisan serta kebahagiaan dalam rumah tangga yang kami jalani. Namun, akankah begitu? Apa hal tersebut pasti terjadi? Karena faktanya dia meninggalkanku demi karirnya. Dan perempuan yang menjadi istriku sedang tertidur lelap di sana.

Aku duduk di tepian tempat tidur. Menyusuri wajah teduh yang terlelap itu. Tanganku bergerak untuk menyulur anak-anak rambut yang membingkai wajahnya. Bila dibandingkan, mungkin Erina lebih cantik, tetapi wajah manis yang menjadi istriku saat ini membuat aku tak bisa berpaling sedikitpun darinya. Aku ingin terus berlama-lama memandang wajahnya dan senyuman selalu terukir di wajahku ketika melihatnya. Entah mengapa...

Gerakan kecil itu membuyarkan kekaguman yang tanpa sadar aku layangkan pada istriku. Bening berbalik membelakangi anak kecil bernama Byan itu. Sekarang tidurnya benar-benar menghadapku yang sedang duduk di sebelahnya. Tangannya bergerak-gerak, seolah mencari sesuatu.

Sampai pada akhirnya ia menyentuh pinggangku, mengangkat tubuhnya lalu membenamkan wajahnya di pahaku. Tak lupa ia melingkarkan tangannya pada pinggangku. Sesaat aku merasa terkesiap akan tingkahnya. Kukira dia sengaja, hampir saja aku mendorongnya. Namun, hal itu kuurungkan tatkala mendengar suara dengkuran halus yang terdengar dari dirinya. Itu bukan sengaja, dia pikir aku guling hangat yang dicarinya sedari tadi.

Aku tersenyum samar melihat tingkahnya. Padahal, hal tersebut sudah sering ia lakukan ketika kami tidur bersama selama hampir seminggu ini. Apa karena aku yang sekarang masih dalam keadaan sadar sehingga hal tersebut masih terasa canggung? Bukankah aku sendiri yang selalu mencari tubuhnya untuk kupeluk dalam tidurku? Konyol sekali...

Entah naluri apa dan dari mana. Aku mengangkat telapak tanganku, mengusap rambut kepalanya dengan perlahan dan mendayu-dayu.

Oh ya, mengapa Byan bisa tidur di sini? Jika aku memindahkannya, yang ada, anak kecil itu terbangun dan merengek. Sepertinya malam ini aku harus tidur tanpa pelukan dari istriku. Haha, mengapa aku kecanduan mendekapnya?

***

"Semalam Mas pulang jam berapa? Kok, aku gak tau?" Menyuapi Byan sarapan. Kami sedang di meja makan saat ini.

"Tidurnya aja kayak kebo," lirihku sambil mengoles selai kacang di rotiku.

"Iya, mama juga gak tau. Biasanya suka kedengeran kalo kamu pulang." Mama menyahuti. Baru turun dari tangga lalu ikut bergabung sarapan bersama kami. Tak lupa, kursi utama di duduki papa.

"Mama semalam tidurnya nyenyak banget," ujar papa menyuruput kopinya.

"Hu'um, akhir-akhir ini tidur mama enak banget," kata mama. "Kayaknya mama lega karena sekarang anak kita memiliki orang yang tepat dalam hidupnya," sambungnya dengan tatapan sendu namun tak menutupi pancar kebahagiaan dari binar matanya.

"Ya, mamamu benar, Nak. Papa pun merasakannya." Papa ikutan mengerjap.

Baru kali ini aku melihat papa dan mama bahagia. Hal sekecil ini saja membuat mereka bahagia apalagi kalo mereka melihat aku mencintai Bening dengan sepenuh hati. Kuharap kebahagiaan itu akan terus muncul menyertai kami.

"Kamu belum mau pulang, eih?" tanyaku agak sinis pada Byan.

Ucapanku yang terasa mengintimidasi membuat Byan menyembunyikan wajahnya. Aku mendapatkan pelototan dari mama.

"Byan-nya masih betah di sini, Om. Boleh ya, Om? Byan sedikit lebih lama tinggal di sini? Nanti kalo Byan pengen pulang, Byan pasti bilang sama Om sama kakak juga..." Bening yang menjawab dengan nada anak-anak.

Bukan sikapku membenci anak kecil. Tapi anak kecil itu menyita perhatiaan Bening seluruhnya. Lihatlah, apa dia gak bisa makan dengan tangannya sendiri? Sedang istriku belum makan sesuap apapun ke dalam mulutnya. Dan sekarang, bagai anak kucing yang ketakutan, dia besembunyi di ketiak induknya.

Gemas sendiri, aku beranjak dari tempat dudukku dan menarik kursiku merapat pada kursi Bening. Bening menoleh akan apa yang aku lakukan.

"Buka mulutmu!" dengan ketus aku memerintah.

Tangan ini sudah menyodorkan sesuap nasi goreng yang sudah mulai mendingin di piringnya. Mata Bening menyusuri sendok nasi yang aku sodorkan di depan mulutnya. Matanya seolah bertanya-tanya.

"Ayok, kamu juga harus sarapan. Jangan urusin anak orang terus." Bening menoleh pada mama dan papa yang melihat drama kami.

"Gak usah peduliin mama sama papa. Anggap aja mereka gak ada. Jadi gak usah malu!" Dengan songongnya aku berkata membuat mama dan papa tergelak. Namun tak urung membuat mereka tertawa.

"Makanlah, Nak. Papa rasa tangan Aslam bakalan kebas kalo kamu lama-lama tidak memakannya."

Bening tersenyum getir. Ia menatap lagi sendok yang berada di depan mulutnya dengan posisi yang masih sama. Dengan ragu mulutnya terbuka, menyantap sesuap nasi dalam sendok yang aku suapkan padanya.

Mama dan papa tersenyum melihat tingkah kami. Mungkin lebih tepatnya melihat tingkahku. Tingkah kekanak-kanakanku...

Selanjutnya, kami sarapan dalam perdebatan. Aku sarapan dan tak henti menyuapi istriku. Berapa kali ia menyanggah akan memakannya sendiri, berapa kali pula aku memaksa untuk menyuapinya. Dengan begitu, ia masih bisa menyuapi Byan dengan tidak terlambat untuk mengisi perutnya. Ada pepatah mengatakan; sambil menyelam minum air. Ya, situasi saat ini mungkin seperti itu.

***

"Udah ada kabar di mana anak lo berada?" Edwin mendaratkan tubuhnya di sofa.

"Belum, apa kerja polisi selambat ini? Udah semingguan gue belum mendapatkan kabarnya." Rudy terlihat frustasi.

"Masih sore, eih. Kenapa udah datang?" tanyanya kemudian.

"Bete aja, nunggu malem rasanya lama banget," jawab Edwin. "Gimana dengan Aslam? Do'i ada telpon?"

Rudy menggeleng, "Mungkin do'i masih marah."

"Becanda lo keterlaluan, sih."

"Gue gak maksud begitu. Tapi..."

"Tapi apa? Seriusan, kan? Secara bininya Aslam emang manis. Gue masih ingat banget cewek cantik yang menjadi pengantinnya Aslam saat itu." membayangkan kejadian pernikahan Aslam. "Dan cewek konyol yang berani sama kita." tertawa getir mengingat kejadian di kelab waktu itu.

"Ya, Aslam memang beruntung." Rudy menghela nafas.

Suara dering ponsel membahana mengisi ruang kantor kelab itu. Orang yang dibicarakan mereka menelpon. Rudy melihatkan layar hp-nya yang tertera nama Aslam pada Edwin.

"Cepetan angkat!" Seru Edwin dengan pelan.

"Ya, Lam," sahut Rudy. "Gimana kabar lo? Soal waktu itu, gue..."

"Gue nelpon lo bukan untuk membahas hal itu," sanggah Aslam di seberang telponnya.

"Gue nelpon lo karena gue rasa udah saatnya lo jemput anak lo."

"Anak gue? Di mana?" Rudy antusias. Edwin ikut-ikutan.

"Temuin gue di Lilyana's flower and cake. Di jalan XX. Ato lebih tepatnya daerah rumah Mario."

"Rumah Mario? Setau gue rumah Mario bukan toko kue."

"Pokoknya lo cari aja nanti toko yang gue sebutin tadi. Kita ketemu di sana, sekarang!"

"Oke. Lam, mak...kas-sih..." Sambungan telpon itu ditutup sepihak.

"Anak lo udah ketemu?" tanya Edwin dengan antusias.

"Entahlah. Gue juga gak ngerti kenapa Aslam ngajak gue untuk ketemu di sana dan nyuruh jemput Byan sekarang. Gue cabut dulu." Rudy beranjak dari kursi kebesarannya, bergegas memakaikan jasnya lalu segera pergi ke tempat yang Aslam sebutkan tadi.

"Oke, hati-hati, Bro!" seru Edwin.

Rudy berlari menuju parkiran dan melajukan mobilnya, berharap ia tiba tepat waktu.

***

"Sayang, coba sekarang kamu hias kuenya di sini. Bisa nggak?" Bening menunjuk kue yang sudah di panggang dan dingin itu kepada Byan.

"Bisa donk, Kakak cantik." Byan bangga, khas songong anak-anak.

"Mana? Coba kakak lihat,"

Sudah hampir jam tujuh malam, Bening dan Byan masih sibuk berkutat di toko dengan memanggang cookies berbagai bentuk. Mengisi waktu luang sambil menunggu Aslam datang. Ya, suaminya mengirimkan pesan kalau ia akan menjemputnya sepulang kerja nanti.

"Kakak, apa Om Aslam suka jahatin Kakak?" tanya Byan. Tangan mungilnya bergerak menghias kue.

"Nggak. Memang kayak gitu aja sifatnya. Tapi aslinya Om Aslam baik banget, kok. Kalo Om Aslam jahat, gak mungkin dia ngizinin anak ganteng ini tinggal di rumah kami," jelas Bening. Tangannya gemas menguwel-nguwel pipi tembem Byan.

"Beneran?" Bening mengangguk. "Tapi kenapa waktu pertama Byan ke rumah Kakak, Om Aslam marah-marah?"

"Ah, itu ya?" Rupanya ingatan anak kecil lebih tajam. "Waktu itu, Om Aslam marahin kakak, karena kakak pulangnya malam. Om Aslam marah bukan karena jahat, tapi dia cemasin kakak. Sama kayak papih Byan, dia pasti cemas nyariin Byan," tutur Bening dengan lembut.

"Tapi papih jahat. Papih sering marahin dan bentakin Byan bukan karena cemasin Byan. Papih bilang, Byan nakal..." Suara Byan menjadi parau, matanya sudah berkaca-kaca.

"Papih Byan juga sama, kok. Papih marah karena cemasin Byan. Tapi kamu emang nakal, sih. Pantes aja papihnya marahin Byan terus..." Bening mencebik.

"Aku gak nakal!" Sanggah Byan. Bening sengaja membuat Byan menggebu agar anak itu teralihkan dari kesedihannya.

"Kalo gak nakal apa donk?"

"Byan berani!"

"Wuihhh berani ya?"

"Iya!"

"Ya...oke...saking beraninya, Byan nginap di rumah orang lain lama-lama." Bening menjulurkan lidahnya.

"Itu bukan rumah orang lain. Itu rumah catty women-ku."

"Haha. Gemesin banget, kamu anaknya ciapa sih?" menguwel-nguwel pipinya. "Catty women siapa?"

"Kakak, catty women-ku. Kakak cantik adalah mimaku!"

"Ah...gak mau ah. Mima kan, kucing. Catty women juga kucing." Bening pura-pura mencebik.

"Kalo gitu, Kakak cantik jadi mamiku aja dan nikah sama papih. Papih 'kan sama, syuka marah-marah kayak om Aslam. Kalo Kakak cantik jadi mami Byan, papih marah-marahnya entar karena cemasin Byan sama mami juga,"

Bening terdiam, ia kehabisan kata-kata. Sampai suara di ambang pintu itu menyita obrolan dan perhatian di antara mereka.

"Byan, papi datang. Ayok pulang, Nak."

Next chapter