webnovel

PRICE

Harta, tahta, wanita adalah hal-hal yang mampu membuat lelaki kehilangan jati dirinya. Leonardo punya segalanya, harta, tahta, dan juga wanita. Hidupnya begitu sempurna dengan prestasi dan pencapaian gemilang. Tanpa cela dan kesalahan.

Tiba-tiba, suatu hari, muncullah seorang wanita yang memberikan setitik kecil perbedaan. Membuat pergeseran kecil yang punya arti besar dalam hidup Leonardo. Pria itu mulai tergila-gila padanya sampai kehilangan arah dan jati diri. Ia bahkan bersedia berlutut untuk mengoleskan salep, bersedia menyuapkan bubur, juga sampai mengupaskan buah karena tahu wanita itu kelaparan menunggu makan siangnya.

Kegilaannya yang paling parah, Leonardo bahkan mempertaruhkan sebuah tambang berlian demi wanita itu. Hal-hal yang tak pernah ia lakukan dalam hidupnya terjadi, benar-benar di luar nalar dan akal sehatnya.

Sungguh, Jasmine telah menjadi efek kupu-kupu terindah sekaligus paling menyakitkan dalam hidup Leonardo. Saat ia telah berhasil menyingkirkan suami dari wanita itu, justru wanita itu semakin menjauh. Saat ia berhasil menanamkan benih cintanya justru wanita itu memangkas habis tunasnya sebelum berkembang. Membunuh darah dagingnya sendiri. Menyisakan dendam pada hati Leonardo. Menyisakan noda, pada ketulusan cintanya.

Sialnya, saat hatinya terliput dendam yang membara, justru wanita itu datang dengan pesona yang sulit untuk ditolak!

Tahan dirimu, Leon!! Dia wanita kejam yang membunuh anakmu, batin Leonardo.

"Apa aku secantik itu?" Goda Jasmine, senyuman manis terulas diwajah cantiknya.

Sialan! Jangan tersenyum seakan-akan kau tidak bersalah! seru Leonardo dalam hati, jantungnya masih terus terpacu karena dorongan hormon lelakinya.

Jasmine mendekat ia berdiri bersebelahan dengan Leonardo, ikut menatap indahnya langit malam dan pemandangan ibu kota. Leonardo menelan ludahnya dengan berat saat melihat pundak sampai ke arah dada Jasmine. Napasnya yang teratur membuat dada itu bergerak naik turun. Leonardo mengendurkan dasinya gerah.

"Cantiknya," gumam Jasmine.

"Jes, Baby, Vi estas bela, kau lebih cantik dari langit malam ini." Leonardo mendekat cepat, dan langsung merengkuh pinggang Jasmine. Sepertinya wanita ini sengaja menantang nalurinya sebagai seorang pria.

"Maksudku pemandangannya, Leon." Jasmine terbelalak kaget.

"Memang benar langit malam sangat cantik, tapi kau jauh lebih cantik. Sangking cantiknya aku merasa ingin mengurungmu di dalam rumah agar hanya aku saja yang bisa menikmatinya," bisik Leonardo. Pria itu memeluk Jasmine dari belakang. Ia mulai mengecup lembut cerukan leher Jasmine sampai ke belakang telinga. Jasmine menggeliat pelan, rasanya aneh namun juga nyaman.

"Kau tidak menolak?" tanya Leonardo keheranan.

Jasmine terdiam, biasanya ia memang selalu menolak ajakan bercinta dari Leonardo. Bahkan merasa jijik saat pria itu menyentuhnya. Kini Jasmine malah menikmatinya, hei, sebenarnya ada apa dengan dirinya saat ini? Sungguhkah ia telah masuk ke dalam perangkap sihir milik Leonardo juga?

"Apa hal itu penting sekarang? Bukankah aku akan segera menjadi istrimu?" Jasmine memutar kepalanya agar pandangan mereka bisa bertemu. Matanya berbinar indah, menyatakan dengan jelas isi hatinya walaupun nyatanya bibir Jasmine masih menolak untuk mengakui hal itu.

"Ternyata kau sudah memutuskan untuk mencintaiku, ya?" Leonardo menangkup pinggul Jasmine, mengeluskan tangannya pada lekukan pinggang dan semakin naik sampai ke tonjolan dada.

"Kau mau apa, Leon? Kita di tempat umum!!" Protes Jasmine.

"Jawab saja pertanyaanku!" Leonardo mengecup lagi tengkuk Jasmine sementara tangannya masih menikmati beda kenyal milik calon istrinya.

"Leon!"

"Jawab aku, Baby!! Aku butuh jawaban." Leonardo meremasnya semakin kencang, membuat Jasmine merasa kalah.

"Aku memutuskan untuk menerima nasibku, bukan berarti secepat itu memutuskan untuk mencintaimu," jawab Jasmine, napasnya sedikit tersengal karena kelakuan Leonardo.

"Ah, begitu rupanya. Kau memang wanita yang luar biasa, Jasmine. Butterfly effect dalam sempurnanya jalan hidupku." Leonardo mengecup pergelangan tangan Jasmine, lalu melepaskan pelukkannya.

Jasmine membetulkan pakaiannya sembari mengatur napas. Leonardo sudah berjalan untuk menarikkan kursi, Jasmine bergegas mengekor. Duduk dengan nyaman.

"Kau mau makan apa?" Leonardo menyerahkan buku menu.

"Apa saja, aku makan apa saja. Aku tidak mual setelah pulang dari rumah sakit. Jadi nafsu makanku kembali," jawab Jasmine, ia menyerahkan urusan memesan makanan pada Leonardo karena memang tak tahu harus memesan apa. Bahasanya aneh, tak ada yang ia kenal —mereka makan direstoran Perancis.

Cih, tentu saja kau tidak mual, kau tak lagi mengandung. batin Leonardo, senyuman sumbang menyusul di wajahnya.

"Mungkin obat dan vitaminnya mengandung anti mual agar kau lebih nyaman dan bisa makan dengan lahap." Leonardo menutup buku menu setelah selesai memesan pada pelayan.

"Mungkin, ah, aku lapar sekali. Seharian berada di klinik kecantikkan membuatku hampir mati kelaparan." Jasmine mencomot kacang almond di atas piring yang memang disediakan pihak restoran saat menunggu makanan dihidangkan. Tak hanya almond, ada kacang pistacio dan juga macadamia.

"Makan yang banyak, anakku butuh asupan gizi. Kau tahukan apa akibatnya kalau sampai kehilangan anak itu?" Leonardo menyeringai, Jasmine mengangguk dengan bibir mengerucut.

"Iya, iya, aku tahu. Aku akan menjaganya baik-baik. Lagi pula, Ibuku sudah menerima kehadiran anak ini dan kita akan segera menikah. Aku tak perlu lagi gusar memikirkan dan menyia-yiakan kehadirannya lagi." Jasmine mengelus perut, ia mulai menerima kehamilannya dengan lapan dada. Ada rasa bersalah menggelayutinya saat ini.

"Ah, begitu." Leonardo menatap dan menjawabnya dengan datar. Semuanya sudah terlambat, tak ada lagi janin di dalam perut itu. Tak ada lagi yang perlu dijaga.

"Oh, ya, terima kasih atas perhatianmu pada Ibu dan adikku." Jasmine menundukkan kepalanya.

"Kalian suka? Apa apartemennya nyaman?"

"Suka, nyaman, dan bagus sekali, tapi ... eum, apa benar kami boleh menerimanya, Leon? Ibu dan Mera merasa apartemen itu terlalu berlebihan. Mereka ingin tinggal di rumah lamaku saja." Jasmine menautkan jemarinya gugup.

"Tidak!!! Semakin kau meminta pindah ke rumah lama semakin aku akan memberikan apartemen yang lebih besar dan mewah!!" bentak Leonardo.

"Leon," lirih Jasmine ketakutan.

"Rumah itu membuatmu teringat pada mendiang suamimu sampai kau nekat hendak membunuh anakku! Sampai mati pun aku tak akan mengizinkanmu kembali ke sana." Leonardo terlihat benar-benar marah.

"Maaf, maafkan aku." Jasmine terisak pelan. Memang benar, terakhir kali Leonardo mengizinkannya pulang, Jasmine malah bertekat membunuh janin dan dirinya.

"Huft ... sudahlah, berhenti menangis. Kau membuatku kehilangan selera makan." Leonardo membanting serbet makannya.

"Maaf, aku hanya tak ingin keluargaku membebanimu." Jasmine masih terisak.

"Berjuang saja menjadi istri yang cakap selama sembilan bulan ke depan! Itu akan lebih baik!" tukas Leonardo. Jasmine menundukkan kepalanya, ia merasa bersalah dan juga malu.

"Iya, aku akan berjuang." Jasmine mengusap air matanya.

"Baguslah, pastikan kau tidak mengecewakanku saat makan malam bersama keluargaku akhir pekan ini," tukas Leonardo.

"Ah, iya," jawab Jasmine, sejenak ia lupa dengan jadwal makan malam bersama keluarga Wijaya. Ujian pertama menjadi istri seorang Leonardo.

"Aku akan mengajarimu bagaimana makan dengan sopan. Urutan cara menggunakan sendok dan peralatan makan."

"Makan saja ada aturannya?" Jasmine melongo tak percaya. Setahuanya hanya mengangkat sendok tanpa berdenting, masukkan ke mulut, kunyah tanpa bersuara, dan habiskan isi piring sampai bersih tak bersisa. Itu definisi makan sopan ala Jasmine.

"Semua ada aturannya, Jasmine. Suka tidak suka, tau tidak tahu, sadar tidak sadar. Kita hidup dalam dunia yang punya tatanan dan starta sosial. Tiap gerak gerikmu akan menentukan berapa nilai hidupmu." Leonardo memutar gelas wine, ia mencium aromanya terlebih dahulu sebelum menyesapnya pelan.

"Semakin tua wine akan semakin mahal, padahal rasanya cenderung pahit. Kau tahu kenapa, Baby??" tanya Leonardo.

"Apa?"

"Karena kadar alkoholnya juga semakin tinggi, rasanya semakin pekat, aromanya semakin kuat, dan kandungan tonicnya bagus untuk kesehatan jantung. Orang cenderung lebih menghargai apa yang menurut mereka berguna dan punya nilai," jawab Leonardo.

Jasmine terdiam ...

"Jadi, bisakah kau menunjukan nilaimu, Jasmine? Menunjukan berapa harga yang mesti kubayar untuk hidupmu?"

"Aku ...."

oooooOooooo

Hallo, author mau bikin give away. Berhadiah buku novel author (goresan warna pelangi). Kira2 mau pada ikutan nggak?

Next chapter