webnovel

46 Dia Playboy

Wanita yang tampak lebih dewasa dari aku itu menunjuk-nunjuk ke arahku. Aku yang sedari tadi menguping langsung memalingkan muka sambil menikmati dinnerku.

"Aku belum menyentuhnya. Aku mau semua aku lakukan pasca menikah dengannya," balas Royan kepada gadis itu.

"Ooh ... jadi kamu seenaknya merusak gadis-gadis yang kamu mau, tapi kamu mau nikahnya sama gadis suci? Bisnis yang cantik,"

"Laura, aku tak mau berdebat lagi, dia menungguku terlalu lama." Royan menyudahi pembicaraan mereka dan meninggalkan gadis bernama Laura itu. Tampak dia masih menangis, tapi dia akhirnya berlalu pergi.

"Aku sudah selesai, aku sangat kenyang," ucapku bangkit dari kursi.

"Hei mau kemana? Aku belum makan,"

"Ya, makanlah, aku uda selesai kok." Aku telah habiskan dua porsi, yang satu porsi aku simpan di tempat bekal makanku di dalam tas.

"Kamu jangan pergi, temani aku dulu. Kalau kamu pergi lagi kamu harus mengulang dinner ini besok bersamaku,"

"Aku sudah kenyang, untuk apa aku disini,"

"Nez, aku mau kasih penjelasan tentang Laura,"

"Ooh aku tak tertarik kok, terserah kamu dan dia mau ngapain saja,"

"Nez, duduklah. Paling tidak saat kau ceritakan kepada Ayahmu, minimal cerita itu tepat. Jangan sampaikan yang kamu sendiri tak tahu kenyataannya, ayo duduklah sebentar. Setelah ini kita pulang,"

Aku akhirnya duduk lagi dengan pandangan mata yang tidak nyaman.

"Kau pasti ingat kan aku pernah bilang bahwa ketika aku putus asa ditinggal Keisya, aku benar-benar kacau dan mencoba bangkit selama tiga bulan," Royan mulai menjelaskan yang aku memang tidak tertarik. Dia bilang kehidupannya sangat kacau dan hancur setelah itu, pelariannya ke club, mabuk dan tidak punya tujuan hidup. Nah saat itulah Laura hadir, sekitar tiga sampai empat bulan yang lalu. Dia sudah menyukai Royan sejak dia masih menjalin hubungan dengan Keisya, jadi ketika Royan putus, Laura langsung menyambutnya dan merasa ada kesempatan untuk menggantikan posisi Keisya. Royan tak pernah memberi harapan, karena saat mencoba membuka hati dengan Laura, sudah mengatakan bahwa coba jalani saja, tapi Royan enggak janji bisa membuka hati untuknya.

Masalah tidur dengan wanita itu, Royan juga mengakui, tapi ia mengelak kalau ia lakukan itu atas dasar cinta, tapi lebih kepada karena dia mabuk. Padahal mereka belum ada ungkapan cinta. Ah masa bodoh, ada atau tidak ungkapan cinta, tapi ada cewek cantik di embat aja.

"Mama dan Papaku kan sudah cerita ketika di rumahmu, bahwa aku sudah banyak diberikan pilihan beberapa gadis yang akan siap dinikahi, tapi aku entah kenapa lebih memilih kamu. Tolong inilah cerita sebenarnya, katakan pada Ayahmu seperti ini, dan aku sangat menyesal atas kebodohanku itu." Royan segera mengelap bibir dan tangannya karena tadi berkata-kata sambil memakan menunya.

"Ooh ... Ya sudah, ayo pulang, aku sudah mengantuk," pintaku kepada Royan.

"Kamu enggak marah kan, Nez?" Royan meraih tanganku, tapi aku segera melepasnya.

"Marah kenapa? Aku enggak ada rasa apa-apa kok, kalau Ayahku mungkin saja marah mengetahui semuanya." Aku bergegas berdiri dan siap pergi meninggalkan tempat ini.

Di dalam mobilnya sungguh suasana sangat hening, entah dia malu atau merasa bersalah. Biasanya dia sangat tengil dan kegayaan. Kini dia membisu sambil menyetir mobilnya setelah diketahui belangnya satu-persatu. Musik pun ia tak memutarnya. Waktu berangkat saja bersiul-siul sambil nyanyi-nyanyi goyangkan kepala. Sekarang mati kutu deh kamu.

Setelah sampai rumah, aku langsung nyelonong saja masuk tanpa berpamitan atau maaf, tidak berterima kasih. Harusnya sih berterima kasih, tapi entah aku sangat tak ikhlas bila harus mengucapkannya.

Ia segera mendekati Ayah dan Ibuku. Ekspresi kedua orang tuaku? Tentu saja sumringah. Ia segera menyampaikan pamitnya lalu pulang meninggalkan rumahku.

Aku segera menarik lengan Ibu,

"Ibu, aku mau menyampaikan hal penting yang perlu Ayah dan Ibu tahu sebelum semuanya terlambat." Aku menggeret tangan Ibuku dan mengajak duduk di sofa ruang tamu,

Ayah masih berdiri seperti memganggap bahan pembicaraanku adalah hal yang tidak penting, namun beliau menatap aku.

"Ayah, Ibu, aku ingin menyampaikan sesuatu tentang dia. Aku minta Ayah dan Ibu berpikir dulu tentang masa depanku." Aku mengawali menceritakan tentang yang kulihat tadi disana.

Aku ceritakan semua tak bersisa kepada orang tuaku, agar mata mereka terbuka tentang siapa calon menantunya itu? Apa iya anak gadisnya ini mau diserahkan kepada lelaki macam itu? Tentu aku berharap pihakku mundur dan kembali memperbaiki hubungan dengan Arman. Karena mana mungkin aku bahagia menikah dengan lelaki macam itu? Ibuku terlihat sangat syok mendengarkan itu, matanya terlihat penuh penyesalan dan ketakutan, tapi kulihat Ayah tatapan juga responnya sangat santai.

"Ayah, bagaimana Yah? Anak kita mana bisa menikahi laki-laki macam itu? Bagaimana rumah tangganya nanti. Pasti akan ada perselingkuhan. Itu sangat berbahaya Yah, ayo sebaiknya kita ke rumah mereka meminta penjelasan dan kejelasan," tutur Ibu membenarkan ucapanku.

"Itu ... kejadian tiga sampai empat bulan lalu, dia sudah berjanji akan berubah, dan benarkan sejak itu sampai sekarang dia perlakukan anak kita dengan baik." Ha?! Aku terperanjat dengan jawaban Ayah seakan-akan dia tak mau kehilangan calon menantu kayanya ini, sampai rela menggadaikan Putrinya.

"Ayah bagaimana Ayah tahu dia sudah berubah? kita tidak lihat sehari-harinya dia," balasku sedih, tega sekali Ayahku menjual kebahagiaanku, meskipun sudah tahu semuanya tentang Royan. Ibu mengusap pipiku sembari memeluk aku.

"Aku sudah tahu semuanya karena Royan dan orang tuanya sudah membuka semua kekurangan dan kelebihan dia? Kita rasa kita harus beri dia kesempatan. Dia juga sudah bersumpah kepada Ayah untuk membahagiakan kamu."

"Ayah, kalau ada yang baik kenapa harus memilih yang jelas-jelas tidak baik? Bagaimana Ayah yakin kalau dia tidak menyakiti aku? Apa jaminannya Ayah? Tolong Ayah berpikir yang jernih. Aku anak Ayah, bukan dia," tangisku makin pecah.

"Ayah janji sama kamu, kalau dia kurang ajar terhadapmu. Ayah sendiri yang akan membunuhnya!" titah Ayahku.

"Ayah! Bukan masalah itu, apa menurut Ayah tidakkah terlambat? Jadi nunggu aku sakit baru Ayah bertindak? Kenapa tak kita pilih sekarang saja? Bagaimana jika saat kelak itu dia menyakiti aku saat aku sudah memiliki anak? Bagaimana nasibku jika akhirnya menjadi janda? Baru Ayah mau membunuhnya?" tukasku sangat sakit hati.

"Kalau nasibku sudah seperti itu aku takkan mungkin mendapatkan cinta Arman lagi Ayah, bagaimana nasib anakku tanpa Papa jika dia kelak main perempuan lagi? Mikir Ayah! Terus kalau aku sudah jadi janda? Siapa yang mau sama aku? Om-om nganggur itu Ayah, iya?! Hah?! jadi Ayah nunggu anaknya hancur dulu baru mau bunuh dia? Ayah yang luar biasa." isakku semakin mengeras.

ตอนถัดไป