webnovel

Penegasan

-Moirai Valentine-

Apa ada senyawa kimia yang membuat gejolak cinta semakin rendah atau semakin membara dalam diri seseorang?

Anak Kimia dadakan yang nyasar, aka Erlangga Lorenzo.

--------------------------------

Otak manusia itu memiliki empat lobus utama yang memiliki fungsi berbeda sebagai pengendali aktivitas harian yang dilakukan manusia. Termasuk berbagai reaksi spontan yang terjadi tiba-tiba.

Erlang tidak pernah menyangka dia akan memantung seperti saat ini. Tubuhnya membeku tapi aliran darahnya mendidih saat euphoria menyambut sentuhan di pipinya.

Hembusan napas Maura dan dinginnya bibir gadis itu seperti menari nari di atas kulitnya.

Hening ….

Tegang ….

Dan wangi … Vanila .....

"Itu bayaran.." Maura berlari memasuki asramanya tanpa menoleh lagi.

Meninggalkan Erlangga yang melotot, memaksa tubuhnya untuk kembali ke bumi saat itu juga.

Erlang mengangkat tangannya, mengusap lembut tepat jejek yang Maura tinggalkan. Perasaannya bercampur aduk, senang, heboh dan meletup-letup.

"Huhhh…" Erlang mengambil napas panjang, menahannya dan menghembuskan dengan perlahan.

Bibirnya tersunjing keatas, "Dia … Manis," cicitnya.

---------Moirai Valentine---------

Erlangga tidak pernah menurunkan raut bahagianya. Senyuman manis selalu tersunjing di bibirnya sepanjang jalan. Beberapa anak perempuan yang berpapasan dengannya langsung salah tingkah, mengira sang Prince sedang tersenyum ke arah mereka.

Sesampainya Erlang di asrama, sambutan khas dari temannya tidak lagi membuat jengkel seperti terakhir kali.

Ia juga tidak marah saat kelopak bunga mawar berhamburan tepat di atas kepalanya. Pria itu hanya mengusapnya, lalu mengakat bahu tidak peduli.

Ia kembali tersenyum, Err … mempesona.

Jika anak perempuan yang melihat itu, mungkin akan langsung pingsan, atau paling tidak manggap-manggap seperti ikan kekeringan.

Tapi saat ini ruang tengah tidak lagi dihuni banyak teman-temannya. Tidak ada anak perempuan. Hanya beberapa yang ia kenali, Gilang ada di paling depan dengan raut bergidik menahan jijik.

"Lo masih waras, Lang?" tanyanya.

Seumur hidupnya berteman dengan Erlangga, baru kali ini melihat bocah itu tersenyum lebar sampai memperlihatkan gigi putihnya.

"Lo abis kejedot pintu? Atau kepelest?"

Grrrr…

Erlang menghentikan senyumannya. Kali ini menatap kesal ke arah sahabatnya itu. Pria itu berjalan lurus melewati Gilang yang sudah ingin mengintrogasinya atau lebih tepatnya mengecek kewarasan otaknya.

Damn it!!

"Lang jawab dong, Lo abis kejedot pintu bukan? Ngaku Lo." teriak Gilang sambil membuntuti Erlang yang tengah menaiki undakan tangga dengan cepat menuju kamarnya.

"Lang!!"

"Ngomong dong!! Atau jangan-jangan Lo abis kejedot pohon yang ada jin penunggunya."

Gerr....

Erlangga menghela berat, saat ini mereaka sudah berada di lorong panjang yang memiliki pintu berderet di sisi-sisinya.

Ia berbalik tiba-tiba, "Gua gak kejedot pintu atau jin penunggu pohon!! Tapi kejedot Maura, puas lo!!"

"Oh kejedot Maura tuh, bilang dong!"

Erlang mendenggus. Ia meninggalkan Gilang di belakang yang tiba-tiba menyadari sesuatu.

"Erlang!! Lo abis ngapain sama Maura sampai kejedot berdua gitu, Woii … jawab woii!!"

Gilang berteriak, mengejar Erlangga yang sudah membuka pintu kamar dan menutupnya dengan cepat. Beruntung seseorang memanggil Gilang, kalo tidak temannya itu pasti akan bicara menanyakan hal-hal aneh padanya.

"Huuuhhh.."

Erlang menyandarkan tubuhnya ke belakang pintu.

"Baru datang."

Degh..

Erlang mendongkrak, ini pertama kalinya setelah lebih dari seminggu Bintang bicara dengannya.

Bintang menunggunya, monitor yang biasa ia gunakan sudah mati. Itu tandanya sedari tadi Bintang tidak menggunakannya sama sekali.

Ekor matanya mengamati raut yang tidak biasa dari Bintang. Mata memerah, menahan amarah. Erlang bisa melihat pria itu mengepalkan tangannya.

"Hm, gak kemalaman. Lo tenang aja."

Erlang melepaskan pakaiannya, meletakan ke keranjang kosong dan mengambil handuk di atas Kasur. Tujuannya hanya satu, mandi. Tubuhnya lengket karena keringat di tambah lagi dengan taburan bunga mawar tadi, rasanya gatal.

Erlang mengumpat pelan, saat melihat guratan mereh di sekujur lehernya.

Damn it!! Jangan Bilang mereka meletakkan ulat bulu di tumpukan mawar itu? Sialan!!

"Lo masih berkencan dengan Maura? Kenapa? Bukannya taruhan kita sudah selesai!"

Erlang berbalik, "Yang bilang selesai siapa?"

"Lang!! ini sudah lewat hari valentine, harusnya Lo tinggalin Maura. Taruhan kita sudah selesai!" Bintang menaikkan nada suaranya.

Erlang terekeh pelan. Ini dia, Bintang kesal karna Maura. Pria itu benar-benar menyukai Maura.

Erlang menyeringai, apa jadinya jika Bintang mengetahui Maura sudah menciumnya tadi. Apa dia akan cemburu? Atau mengamuk?

"Kalau aku menolak?"

"Shitt!! Apa maksud Lo?"

Tepat sasaran!

Bintang sudah mengeluarkan belangnya.

Erlang melemparkan handuknya kembali, membiarkan tubuh bagian atasnya yang terekspos, "Bagaimana jika aku keberatan mengakhirinya? Selain itu sepertinya Maura juga mencintaiku, jadi tidak masalah."

Bintang tidak bisa berkata-kata. Lidahnya kelu, menahan amarah yang begitu besar.

"Tapi Lo gak suka sama dia, Lo Cuma melirik Sella seumur hidup Lo, jadi lupakan tentang mempermainkan Maura, lupain dia."

Erlang mendecih kasar, "Bicara tentang mempermainkan, bukannya di sini Lo yang paling parah? Pertama taruhan ini adalah ide Lo, dan kedua Lo juga yang membongkarnya pada Sella."

Degh..

"Apa maksud Lo?"

"Bintang … Bintang … gak usah pura-pura Lo. Tadi Sella menatakan tentang taruhan kita, dari mana lagi dia tau kalau bukan dari Lo. Dasar munafik, terus Lo bilang tentang menyakiti Maura? Ngaca Lo, dari awal ini semua berasal dari Lo!!"

Setelah mengatakan itu Erlang berbalik, mengambil handuknya. Sedangkan Bintang mematung di tempat yang sama.

Pria itu seperti sedang menyadari kesalahan terbesarnya, dia yang memulainya, sampai tidak terkendali lagi.

"Erlang!! Kapan kalian akan berakhir?" tanya bintang putus asa.

Erlang mengangkat bahunya, "Entahlah … kalo gua bosan."

Brakk…

Bintang menatap pintu kamar mandi yang tertutup rapat. Ia menghela napas berat, "Aku tunggu.." bisiknya memelan.

Bintang kembali ke posisinya, duduk di depan monitor dengan beralasan karpet bulu yang lembut. Tidak berapa lama kemudian, derap langkah besar mendekat.

Ceklek ….

Suara pintu terbuka, Bintang menoleh. Gilang masuk dengan membawa beberapa cemilan hasil merampok dapur asrama, meletakkannya di atas meja dan melepaskan hoodie hitam dan menggantungnya di belakang pintu.

Suara riakan air dari kamar mandi membuat Gilang menoleh sebentar, pria itu menatap Bintang, bertanya dan langsung di angguki ampunya.

Gilang menghela pelan, sebelum menjatuhkan tubuhnya ke sofa di dekat Bintang.

"Kenapa belum mulai?"

"Nunggu Lo."

"Tumben? Biasanya Lo main duluan." Gilang mengambil stik ps, "Sudah baikan sama Erlang?" tanyanya.

Gara-gara perang dingin itu, Gilang jadi beralih propesi dari wasit ke pemain dadakan.

"Sudah … kayanya."

Bintang memejamkan matanya beberapa saat, "Dia masih berhubungan dengan Maura." bisiknya.

Gilang mengangguk, "Memangnya kenapa? Lo cemburu?"

Bintang mengeling canggung. "Dia ikar janji, katanya berhenti, nyatanya sampai sekarang masih bersama dia."

"Biarkan saja, tuh mereka cocok kok. Siapa tau Erlang pindah haluan dari Sella ke Maura."

Awalnya Gilang ingin mengatakan perihal perkataan aneh Erlang tadi, tapi saat melihat situasi dan kondisi lebih baik ia menyimpannya seorang diiri.

Hanya firasatnya saja.

Bintang tersenyum kecut, "Dunia gak semudah itu."

Bersambung…

Next chapter