webnovel

Tabrakan Hati

-Moirai Valentine-

Sisa malam itu berlalu dengan cepat, bahkan terlalu cepat untuk menyadarinya. Rasa sakit sudah mulai terbentuk, menciptakan kubangan menganga di sana.

----------------------------------

Pagi hari, Erlang sudah tiba di depan asramanya. Ayahnya tidak akan menanyakan tentang keadaanya yang tiba-tiba ingin datang lebih awal dari biasanya.

Jika dalam kondisi wajar, dan normal. Erlangga biasanya akan datang tepat saat bell masuk hampir tiba. Dia dan bintang serta Gilang akan menghabiskan waktu di luar terlebih dahulu sebelum kembali ke asrama mereka.

Tapi kali ini berbeda, ia terang terangan menolak tawaran Bintang untuk menghabiskan waktu di luar seperti biasa. Rasa kesalnya pada Bintang juga di sebabkan oleh Gilang yang mencoba memberi penuturan.

'Ini mungkin hanya salah paham..'

Kalimat itu selalu muncul ke permukaan. Sahabatnya itu seakan membujukkanya untuk tenang.

"Semuanya sudah, tuan muda. Ada yang perlu saya bantu lagi?" Supir pribadi yang mengantarkannya membukua suara. Ia meletakkan tas ransel milik majikannya.

"Tidak ada, kau boleh pergi."

Tidak ada yang berubah selain ekspresi wajahnya yang berubah semakin dingin tak tergapai. Bibirnya tertutup rapat seolah tidak akan terbuka selamanya.

"Erlang!!" teriak seseorang.

Erlangga menghentikan langkahnya. Ia berbalik, Gilang tepat berada di belakangnya saat ini.

Napasnya terenggah-enggah, seakan baru saja habis lari maraton.

"Bisa kita bicara?" tanyanya.

Erlang mendenggus asal, ia menaikkan alisnya tinggi-tinggi kemudian berbalik tanpa mengatakan apapun pada Gilang.

"Lang!!"

"ERLANGGA LORENZO!!"

Erlang tidak mengubris teriakan Gilang. Ia melangkah lebih cepat, melewati ruang depan asrama mereka.

Beberapa siswa dari asramanya terlihat masih hilir mudik dan duduk-duduk di sofa dan karpet berbulu. Terdengar saling tertawa, menggoda dan bercerita satu sama lain.

Tapi kehadiran Erlang langsung mengubah situasi. Mereka kompak menatap pria tampan yang berjalan setengah berlari dengan Gilang yang memanggil-manggilnya.

Erlang tidak terlalu memperhatikannya, ia hanya terus berjalan cepat menyusuri undakan tanga yang melingkar sampai ke atas.

"Erlang!! Tunggu!!" seru Gilang setelah berhasil menyusul sahabatnya itu.

Kini mereka sudah berada di depan kamar asramanya. "Kenapa kemari!! Kamarmu bukan disini!" ucap Erlang.

"Ayolah Erlang, hanya sebentar, ok?"Gilang meletakkan bawaannya ke atas ubin.

"Mau membicarakan tentang mereka lagi, hah? Sudah kebaca, dan asal Lo tau aja. Itu tidak akan mengubah kekesalanku!"

Gilang tentu paham apa yang di maksud dengan 'mereka' versi pemuda di depannya ini.

"Ayolah, Bro. kau hanya membutuhkan berpikir tenang. Satu yang kita yakini, Bintang itu sahabat kita. Dia tidak akan mungkin mengkhianati kita, apalagi sampai nusuk Lo dari belakang."

"Apa yang kulihat jelas berbeda dari semua itu, Gilang!!"

Gilang mengumpat pelan, inilah tabiat Erlangga yang tidak dia sukai. Sahabtanya itu terlalu cepat emosi dan memendamnya seorang diri.

"Ini hanya kesalahpahaman, Lang. Lo ingatkan kalo keluarga Bintang dan Sella itu berteman baik. Well, tidak menutup kemungkinan jika mereka saling mengenal, ini hanya makan malam biasa, hm." Seru Gilang panjang lebar.

Pria itu bercermin dari kegagalannya menenangkan situasi tadi malam. Erlang terlebih dahulu kabur saat melihat pemandangan itu sebelum ia sempat mendengar penuturan langsung dari Bintang.

Erlang mengangkat bahunya sedikit.

"Entahlah. Yang kulihat tadi malam, lebih dari sekedar makan malam biasa. dia terlalu akrab dengan Sella."

"Apa Lo lupa, kalo Bintang itu temenan sama Sella sudah dari kecil. Jelas mereka akrab. Asal lo ingat, kita berdua mengenal Sella juga dari Bintang, bukan." Seru Gilang.

"Bicaralah dengan Bintang, Lo membutuhannya, Bro. Jangan korbankan persahabatan kita hanya karna salah paham."

Setelah mengatakan itu, Gilang meninggalkan Erlang di depan kamarnya. Membiarkan pria itu berpikir tentang keadaan yang sebenarnya.

-------Moirai Valentine----------

Erlang tau jika dirinya pengecut. Sepanjang siang dia menghindar dari semua orang, dari Gilang, Bintang dan bahkan teman-teman asramanya.

Tidak ada makan siang, ataupun sejenis perkumpulan lainnya. Sejak awal dia sudah menghindar dengan tidak bicara pada siapapun. Memilih mengasingkan diri di atap gedung sambil menikmati angin lembut yang menimpa wajahnya.

Pandangannya terpejam, pemikirannya mulai terbuka. Mungkin disini dialah yang salah, Gilang benar. Dia hanya emosi sesaat.

Pandangannya langsung menggelap saat menatap kajadian tadi malam, kedakatan mereka seperti membenarkan semua tuduhan ayah dan ibunya tempo hari, tentang pertunanagan.

Tangannya mengepal lagi. Sepertinya opsi itu lebih masuk akal, mengingat mereka makan malam dengan keluarga masing-masing.

Bintang benar-benar mengkhianatinya?

Erlang menghembuskan napas panjang, dia sudah memutuskan untuk kembali setidaknya untuk makan siang.

Erlang menuruni tangga. Pada saat ia melewati aula besar, meja dan kursi-kursi kosong itu menggodanya untuk membolos dan bersembunyi di sana.

Tapi langkah kakinya membawa Erlang menikung ke arah koridor menuju perpustakaan.

"Shitt!!" Erlang mengumpat pelan. Agak memperotes, namum tak dapat melakukan apa-apa. Kakinya berjalan sendiri dan berhenti tepat di depan pintu eks itu.

"Untuk apa aku ke sini? Buang-buang waktu saja." gumamnya pada diri sendiri.

Tempat ini identik dengan Bintang, dimana pria itu selalu tidur saat-saat jam kosong dan istirahat, dan tempat favoretnya adalah perpustakaan.

Erlang menghela napas berat, kemudian melangkah masuk.

"Selamat dat- Eh, Erlang?" seru penjaga perpustakaan yang terkejut mendapati keberadaannya saat ini.

"Boleh aku masuk?" tanya Erlang.

"Y-yah, tentu saja.." jawabnya sedikit terbata.

Erlang tidak lagi menunggu reaksi wanita dewasa itu. Ia langsung melangkah masuk, mengamati rak-rak besar yang menampung buku di dalamnya.

Meja-meja kosong yang tidak di huni siapapun. Alisnya mengangkat naik, sepertinya tempat ini cocok dijadikan tempat tidur dan bersembunyi.

Terlalu sepi untuk seukuran perpustakaan.

Erlang mendekati rak besar yang memuat buku tentang astronomi. Tidak terlalu tertarik sebenarnya. Stok buku di rumahnya bahkan lebih lengkap dari ini.

Erlang yakin jika ia sudah menguasai hampir separuh buku yang terpajang di rak itu.

"Buku itu akan terbakar jika di pelototi setajam itu."

Erlang langsung berbalik saat suara tidak asing di belakngnya. Rambut panjang, hitam terurai dengan wajah tersenyum serta tumpukan buku yang sedang ia bawa.

"Maura.."

"Yah, itu aku. Ngomong-ngomong, Erlang sedang apa di sini? Belajar atau mencari buku yang ketinggalan lagi?"

Maura meletakkan tumpukan buku itu di atas meja yang tidak jauh dari tempat mereka berdiri.

Erlang tertawa pelan, ia mengeling "Bukan aku yang ke sini, tapi kakiku yang tidak mau menuruti perkatanku. Kau tau tentang sikronisasi antara otak dan gerakan?"

Maura mengeling, "Tidak, lagi pula itu gak ada hubungannya dengan pelajaran bukan?"

Erlang mengangguk pelan, iris abu-abunya menatap tumbukan buku yang tadi dibawa oleh Maura, "Kau sedang belajar? Atau mencari file lagi yang keselip di buku besar itu?"

Tentu saja, mengingat beberapa bulan lagi mereka akan mengadakan ujian kelulusan.

"Sama sekali tidak."

"Erlang, aku tau kau memahami tentang Mamaku, maksudku keanehannya. Selain terobsisi dengan pria yang bisa memasak, Mamaku juga terobsesi dengan orang pintar. Nah ini adalah satu cara agar Mamaku tidak mengomel tentang anime yang ku tonton." Jelas Maura panjang lebar.

Erlang berkedip beberapa kali, "Aku gak paham, asli." Gumamnya.

Maura menghembuskan napas panjang, "Maksudnya, Mamaku selalu mengecek buku-buku di dalam asrama yang kupinjam. Dia bicara seperti hapal seluruh buku saja."

"Mamamu unik."

"Aneh, lebih tepatnya." tambah Maura.

Bersambung…

Next chapter