webnovel

Malaikat Bersayap Kelabu

Kembali ke ruangan ini benar-benar tidak mengenakan. Ruangan pertemuan ini menurut Melodi adalah tempat para pengajar berkumpul dalam menyiapkan materi terhadap mahasiswa sebelum kabut ini dimulai. Ia merubah bangunan yang merupakan jati diri daerah Bandung Timur ini menjadi neraka tempatnya memulai percobaan.

Aku melihatnya betul mukjizat atau kutukan apapun itu yang diberikan Melodi pada mereka berdua di tempatku berdiri. Serangan tak kasat mata yang mempengaruhi gelombang otak katanya, mana ada yang seperti itu. Tapi jika aku tidak bisa menjelaskan kenapa kabut itu tetap terus ada, apakah mukjizat itu lebih logis? Lalu pola mata yang sama dengan yang kulihat di ruangan itu saat bersama mata-mata Pasukan Elang dan tentunya saat terjebak di kabut itu bersama Clara.

Aku sudah tahu ra, kebusukan Melodi Sang Penyelamat. Apa yang dilakukannya terhadap kota ini dan Pasukan Aliansi yang pada awalnya melindungi masyarakat dalam kabut. Tapi kami berdua sudah masuk cengkramannya saat mulai mencapai Bandung. Membantumu hanyalah bunuh diri saat ini. Tapi pertanyaannya adalah, sampai kapan ia dan kroninya akan terus mencengkramku?

Denyitan pintu mengagetkanku. Sosok yang kutakutkan muncul kembali di hadapanku. Ini bukan Melodi yang dulu kukenal. Wajah gipsum layak boneka dengan perban yang membalut seluruh tubuh yang menguning. Lalu topi biasa yang berisi rambut palsu berwarna emas yang dibiarkan memanjang sampai punggung dari velcro belakang topi tersebut. Matanya bisa saja membunuhku kalau mau.

"Ada apa denganmu sendirian di ruangan ini, bergabunglah ke ruang medis bersama Via dan Bimo," ajak Clara tanpa mengeluarkan emosi maksimalnya di balik wajah gips itu.

"Aku tidak terluka, yang tadi itu hanyalah sandiwara," jawabku sebisa mungkin tidak melirik matanya.

"Mereka belum bisa pergi ke ruangan ini, lagipula banyak hal yang harus kita bicarakan."

"Mel!" teriakku, "Kau harus jujur. Di mana kau mendapatkan kekuatan itu?"

Ia menatapku tajam. "Dulu saat mengerjakan proyek ini, aku merasa akan menyelamatkan dunia luar. Mereka memberikanku fasilitas yang membedakanku dari kalian yang berada di dalam sini. Yang membuatku seperti malaikat dalam mengawasi manusia-manusia yang tinggal di dalamnya. Tentunya sampai mereka mengkhianati lalu menjatuhkanku dan rekan-rekanku di dalam proyek ini," ia menunjuk matanya.

"Sebuah teknologi mutakhir yang menghubungkan database proyek ini. Kau bisa melihat semua yang ada di dalam kabut ini, perhatikan baik-baik." Matanya bersinar mengeluarkan cahaya yang terfokus pada tembok seberang ruangan seperti senter lalu ia mulai menggerakkan tangannya seperti meraba udara. Cahaya tersebut makin besar dan hampir memenuhi seisi ruangan layaknya layar proyektor mengapung di udara. Layar-layar itu memperlihatkan pergerakan flora, fauna, bahkan manusia.

"Apa-apaan ini?" Aku menghentikan nafas ketika layar-layar mengapung memperlihatkan kehidupan di Bandung dan CIragam. Lalu suasana kompleks yang seperti biasa dapat terlihat puluhan kilometer jauhnya. Tapi sesuatu yang berbeda terlihat pada pajangan orang hilang. Kumpulan poster bertambah sekitar 3 kali dari sebelumnya. Poster Clara, Syarif, Sadik, dan regu pencabut benalu tertera rapi seperti pengumuman pahlawan gugur.

Rudi dan Sinta berdiri memandang tumpukan poster itu. Mereka berdua tidak sadar meskipun seperti bertatap-tatapan langsung denganku. Lengan Rudi sibuk memegang erat tubuh Sinta yang sedang menangis. Tangan kanannya memegang sebuah poster yang digenggam kuat sampai permukaannya kasar.

Semua yang ditampilkan tampak nyata. Melodi mendekatkan citra gambar pada poster yang digenggam Rudi seperti meraba udara. Namaku tertera pada poster itu yang lalu dibentuknya menjadi segumpal bola lalu membuangnya. Sementara Sinta terus menangis di pundaknya.

Aku ingin sekali meminta maaf pada mereka berdua, pada Clara, Syarif, Sadikin, Bobby. Semua hancur saat kepergianku. Dan sekarang lihatlah yang terjadi, aku menjadi tawanan Sang Penyelamat, bukan Melodi. Melodi yang kukenal tidak akan melakukan hal seperti ini. Melodi yang asli sudah mati dan digantikan oleh monster ini.

"Berikan penjelasan logis padaku sekarang! Apa kau berusaha membunuh kami semua?" ujarku menahan amarah.

"Kenapa kau tidak percaya denganku? Aku sudah memberitahumu kunci dan inti kabut ada di Kota Ciragam itu."

"Tapi kenapa mereka mengatakan hal yang persis sama bahwa kau akan membunuh kami semua? Clara dan lelaki tadi yang kau begitu takut untuk habisi?"

"Kau tidak tahu apa yang William bisa lakukan dengan jentikkan jari," aku dapat mendengar ketakutan di balik suaranya meskipun ekspresinya terhalang wajah gipsum.

"Siapa dia sebenarnya?"

Meli menggelengkan wajahnya sejenak, "Ia adalah penyebab aku diasingkan dari proyeknya. Yang membuat kondisiku layu seperti ini," tangannya menggaruk-garuk perban yang membungkus lengan kiri bernanahnya, "William Sang Penjaga Kabut, penyelamat umat manusia yang tega mengurung kita semua di dalam kepungan kabut ini."

"Penyelamat umat manusia? Kau bercanda."

Ia menatapku lagi lewat lubang topeng gips itu, "Ya Mir persis seperti yang kubilang, Sangkar kabut ini adalah proyek terbesar yang pernah dijalankan oleh persatuan negara dunia untuk menyelamatkan umat manusia."

"Maksudmu … semua ini … disengaja?" tanyaku mulai merasa sesak.

"Mungkin kau perlu waktu mencerna semua ini, sebenarnya nasib kalian adalah hidup dalam sangkar. Andai kau tidak tinggal di salah satu area ini. Kau tidak ingat apa yang pilot itu katakan?" tanyanya.

Tubuhku ambruk pada kursi belakangku. Kakiku sangat syok sampai tidak bisa menahan berat tubuhku, "Dia mengatakan … dimana obatnya?" suara seperti hilang dari mulutku.

"Lalu apa yang kau lihat dari ciri-ciri kulitnya?" tanyanya dengan suara yang mulai terisak, apa ia menangis di dalam sana?

"Bercak-bercak hitam aneh yang kukira abu dari bara api tapi lebih kental. Lalu ia tampak mengalami gejala demam yang tak pernah kulihat sebelumnya. Apa yang sebenarnya terjadi padanya?"

"Ia terkena gejala pes langka yang sudah bermutasi di dunia luar. Bisa dibilang ia satu-satunya orang dari sekian banyak yang sudah bertemu penghuni di dalam sini," jawabnya.

"Penghuni tempat ini maksudnya … aku?"

Meli mengangguk.

"Lalu apa obat yang dimaksud?" tanyaku.

"Obat yang dimaksud adalah … kau. Kau dan semua orang-orang disini adalah obatnya Mir. Mereka akan memburumu cepat atau lambat."

Suasana seketika hening. Banyaknya udara disini tidak bisa membuat diriku tenang. Aku melingkarkan kedua tangan pada kedua kakiku yang ditekuk dengan kepala yang disandarkan pada lutut. Tidak, tidak mungkin kalau semua ini benar. Tapi siapa yang bisa membantahnya? Kita semua berspekulasi tanpa dasar yang kuat. Lalu kekuatannya … layar aneh yang ditampilkan … semuanya terlihat … meyakinkan dan … membingungkan.

"Mir, kemana pilot itu sekarang?" tanyanya.

"Pasukan Elang … membawanya", aku sudah tidak bertenaga untuk menyampaikan hal tidak penting itu, semuanya sudah tidak penting. Hidupku sudah tidak penting lagi.

"Jadi begitu ya, sebentar, aku lihat keadaan kota itu."

Aku mengintip dari lututku. Sebuah layar kecil seperti proyektor ditampakkan di depannya. Sekilas aku dapat melihat atribut khas Pasukan Elang yang berupa jaket jeans hitam dengan baju dengan motif sablon elang. Mereka semua memakai seperti sebuah masker. Teriakan dan tangisan orang-orang dapat terdengar dari layar itu. Apa ada perang sipil di Ciragam?

Namun salah seorang yang terbaring lemas di jalanan menunjukkan gejala yang sama dengan Sang Pilot. Bercak-bercak hitam aneh pada muka dan tangan mereka. Ada wabah disana? Begitu ya … Tapi itu semua tidak penting lagi. Kita semua akhirnya akan mati cepat atau lambat.

Melodi tertawa hebat. "Kau lihat itu William? Aku menang! Proyekmu, semuanya akan hancur karena wabah yang kalian coba sembuhkan. Itu yang kalian dapatkan karena mengkhianatiku dan rekanku yang bekerja pada kalian. Kondisi yang kalian timpakan padaku sudah terbalaskan. Ancaman kosongmu untuk menyelimuti Bandung dengan kabut sudah tidak ada artinya. Keselamatan manusia? Masa bodoh kalau aku dan yang lainnya tidak bisa merasakan keselamatan itu", suaranya menjadi parau selama berbicara pada pojokan langit-langit.

"Terimakasih Mir, kau sukses menghancurkan proyek ini. Meskipun Clara dan Pasukan Kompleks tidak bisa melihat apa yang kau perbuat, tapi aku berterimakasih yang sebesar-besarnya. Pertanyaanmu tadi bahwa apakah aku berniat menghancurkan proyek ini adalah benar, tapi kau yang menghancurkannya, bukan aku," tangannya meraba kepalaku lalu pergi begitu saja dari ruangan ini.

....

....

....

Hening

Aku dapat merasakan suara nafasku.

Aku benar-benar tidak berguna.

Aku pembawa sial.

Aku merasa kasihan bagi siapapun yang pernah berurusan denganku.

Mereka semua akan mati … karenaku.

Aku mengecewakan Clara … Syarif … Sadik … Rudy, Bobby, Sinta, Regu Pencabut Benalu, Pasukan Kompleks … mengecewakan orang-orang di dalam sangkar kabut ini.

Dasar tidak berguna!

Pukulan yang kuhasilkan pada diriku sendiri terasa tidak sakit. Aku saking tidak bergunanya, gagal melukai diriku sendiri.

Aku dengar pintu di pojok kembali terbuka. Tapi aku tidak ada kemauan untuk melihatnya. Sebuah bunyi terdengar seperti kursi yang sedang ditarik. Aku mencoba mengintip sosok itu dari balik lututku.

Ia hanya duduk disitu melihatku tajam. Pandangannya tak bergerak, ekspresi mulutnya masam. DIrinya tidak memaksaku untuk melakukan interaksi sosial kepadanya. Dia hanya menunggu. Seorang pria yang dikatakan Melodi sebagai pemilik kabut ini, William. Ia tampak tidak bahagia dengan kejadian yang baru saja terjadi.

Next chapter