"Sudah lama ya kita tidak bertemu pak tua yang terhormat." Sapa Rian dengan begitu santainya tanpa munjukan rasa hormat sama sekali, saat ia menyapa seorang Kepala Kepolisian.
Pak Kepala tersenyum menertawakan tingkah Rian tersebut. "Kau tak pernah berubah ya Rian, masih sama seperti dulu, kau selalu menggangap ini main-main." Ucap pak Joko dengan wajahnya yang serius menjabat tangannya Rian.
Rian tertawa mendengarkan ejekan dari pak kepala Joko tersebut. Seraya menjabat tangan pak kepala Rianpun berkata." Bukannya main-main, aku hanya mengenakan pakaian yang menurutku nyaman untuk kupakai, dan aku hanya bersikap seperti apa yang aku mau. 'Freedom' itulah mottoku." Ucap Rian dengan bangga.
Lalu mereka berdua melepaskan jabat tangan mereka, kemudian meraka duduk. Pak kepala Joko mulai menatap Rian dengan tatapan yang serius, nampaknya bagian seriusnya baru saja dimulai. "Bagai mana kabar si tua Wijaya, apa dia masih hidup, atau mungkin sudah menjadi abu? " Tanya pak Joko dengan menatap mata Rian serius.
Mendengar itu Rian langsung tertawa. "Hahaha. Sayangnya sampai sekarang dia masih hidup, saat ini dia sedang menikmati masa-masa pensiunnya, dengan hanya melakukan makan tidur dan buang air besar saja," sahut Rian bercanda. Rian lalu diam sejenak, kemudian ia tersenyum kembali. "Ya, mungkin dia sekali kali menatap langit merenungi hidup dimasa tuanya." Sahutnya.
Dimasalalu, Joko adalah seorang murid dari ayahnya Rian yaitu Wijaya Kusuma. Wijaya sendiri merupakan mantan kepala kepolisian sebelum Joko, Wijaya menunjuk Joko sebagai suksesornya, dikarnakan bagi Wijaya hanya Jokolah orang yang paling tepat untuk mengisi posisi tersebut.
Sebetulnya Joko menginginkan anak semata wayangnya yaitu Rian, untuk bergabung dengan kepolisian, agar suatu saat nanti, disaat Joko pensiun nanti, dirinyalah yang akan menggantikan Joko menjadi kepala kepolisian, seperti dirinya dulu. Namun apaboleh buat, Rian tidak tertarik sama sekali untuk bergabung dengan kepolisian, dengan alasan bahwa kepolisian dengan dirinya tak akan pernah sejalan.
Vivian hanya terdiam melihat pembicaraan mereka berdua, ia hanya duduk manis tersenyum simpul mendengarkan obrolan dua lelaki yang ia anggap hebat itu. Lalu ditengah obrolan antara Rian dengan Joko, Rian akhirnya melirik dirinya, seraya menunjuk Vivian menggunakan ibu jarinya Rain pun berkata. "Oh iya, omong-omong apa yang tadi sedang kau bicarakan dengan wanita cantik satu ini, pak tua ?" Tanya Rian penasaran.
Vivian pun terkejut ketika ia ditunjuk langsung oleh Rian, ia sempat mengangkat alis matanya sedikit. "Aku dan pak kepala sedang membahas hal penting barusan." Sahut Vivian menjawab pertanyaan Rian yang seharusnya dijawab oleh Joko.
Rian terdiam, lalu menatapnya heran, lalu kemudian Rian menoleh lagi kepada Joko, dan kembali bertanya. "Hal penting, apa itu ?!"
Pak kepala Joko tersenyum tipis sejenak, sebelum akhirnya ia tertawa. "Hei, apa yang lucu pak tua!" Cetus Rian geram.
Lalu pak Joko pun terdiam menahan tawa. "Oh Rian, bukankah sudah kubilang bahwa hari ini aku akan memperkenalkanmu dengan seseorang yang akan menjadi partnermu nanti ?" Ucap pak Joko seraya menahan tawanya.
Rian keheranan, lalu sedikit menganguk. "Ya..., dengan seorang detektif pintar dan hebat. Dengan detektif yang telah berhasil menyelesaikan beberapa teka-teki yang telah dibuat oleh Blue Bird," Gumam Rian membela diri. "Bukanya dengan model cantik papan atas sepertinya." Lanjut Rian seraya tanganya menunjuk kearah Vivian.
Vivian seketika kesal ketika Rian menyebutnya sebagai model papan atas. Bagi sebagian orang mungkin itu adalah sebuah pujian, namun khusus untuk Vivian yang bekerja sebagai detektif, baginya itu adalah sebuah hinaan untuknya. "Hei!!" Teriak Vivian emosi. Rian lalu memandanginya dengan perasaan bersalah. "Sorry." Lalu Rian kemudian memalingkan wajahnya dari Vivian kembali.
Dengan wajah datar pak Joko menunjuk Vivian menggunakan tangan sebelah kanannya seraya berkata. "Dan dialah orangya. Detektif hebat dan pintar yang telah memecahkan sebagian teka-teki dari Blue Bird itu." Hal itu pun seketika membuat Rian terkejut bukan main, alis matanya naik cukup tinggi, matanya ia buka lebar-lebar, begitu pula dengan pupil matanya yang membesar. Mulutnya pun ia buka lebar-lebar yang menandakan betapa terkejutnya dirinya itu. "Yang benar saja, wanita barbie ini ?" Sahut Rian seakan tidak percaya.
Lalu Rian menoleh kearah Vivian, menatapnya dari atas hingga kebawah. "Kau yakin kau tidak ingin jadi model ?, kurasa jika kau menjadi model kau akan langsung terkenal." Ucap Rian mengutarakan pendapatnya.
Vivianpun lalu tersenyum kecil, lalu ia kemudian sedikit tertawa sebelum menjawab pertanyaan Rian barusan. "Model ya..., tidak pernah terpikirkan olehku jika aku menjadi model. Itu pasti sangatlah membosankan untuku, dan aku rasa jikaku lakukan itu, aku akan menyia-nyiakan bakatku." Ucap Vivian menjawab pertanyaan Rian dengan senang hati.
Lalu Rian tertawa mendengarkan jawaban dari Vivian tersebut. "Aku suka jawabanmu wahai wanita cantik, kurasa aku mulai benar-benar menyukaimu. Dan kupikir kita akan menjadi partner yang hebat," Vivian hanya terdiam seraya terseyum menatap Rian, menunggu Rian menyelesaikan perkataanya. "Kalau begitu, siapa namamu barusan ?, aku benar-benar lupa." Tanya Rian seraya menatap tajam mata Vivian.
"Mohon maaf, aku tidak memperkenalkan diriku dua kali," jawab Vivian dengan senyuman manisnya. Mendengarkan jawaban tersebut bukanya membuat Rian emosi malah membuatnya semakin tertarik dengan Vivian, terutama dengan kepribadian dan kecerdasan dirinya. "Tapi nanti kau juga akan tau siapa namaku detektif." Sahut Rian menegaskan.
Rian lalu tertawa terbahak-bahak bahagia. " Kau tau, sebetulnya aku ingin membawa kamera kemari, karna selain aku suka menyelsaikan sesuatu yang orang lain tidak bisa lakukan aku juga suka dengan fotography. Ya, aku sangat menyukai keindahan, maka dari itu aku juga suka mengabadikanya," gumam Rian menceritakan sedikit tentang dirinya. Lalu Rian pun menoleh kaerah pak Joko seraya berkata. "Tapi aku tau, disini tidak ada sesuatu yang indah untuk diabadikan. Jadi kupikir, untuk apa aku membawa kamera ku kemari" Ucap Rian sembari tersenyum melihat sekeliling ruangan Pak Kepala. Rian kembali menoleh dan menatap wajah Vivian tajam, seraya tersenyum simpul ia berkata. "Tapi aku benar-benar tidak mengetahui bahwa di Jakarta ada orang seperti dirimu, aku menyesal tidak membawa kameraku dan mengabadikan seorang bidadari yang jatuh ke bumi." Ucap Rian berusaha memuji Vivian.
Wajah Vivian memerah, ia tidak menduga sama sekali bahwa Rian akan mengatakan hal seperti itu kepadanya. "Te..terimakasih" Ucap Vivian dengan agak malu.
Pak Joko pun tertawa, dan membuat pandangan dua orang yang berada di depannya pun teralihkan kedirinya. "Kalian benar-benar unik, kurasa kalian akan cepat akrab." Seru pak Joko mengomentari tingkahlaku Rian dan juga Vivian barusan.
"Ku harap begitu." Ucap Rian dengan wajah polosnya.
Lalu Vivian sedikit berdesit, seraya menggelengkan kepalanya ia berkata. "Tidak Rian, kita harus!" Seru Vivian menegaskan apa yang Rian ucapkan. Mendengarkan hal itu semakin membuat Rian tertarik dengan Vivian, Rian tersenyum simpul memandangi Vivian. "Ya, kita harus."
"Baiklah kalau begitu," Ucap pak Joko yang ingin memulai pembicaraan, Rian pun kembali menoleh ke arah pak Joko, dan memperhatikanya dengan serius. "Aku menugaskanmu Vivian untuk bekerjasama dengan orang satu ini," Ucap pak Joko seraya menunjuk Rian, sementara Vivian mengangguk perlahan. "Guna memangkah si pembunuh berantai ini, The Blue Bird! Kupercayakan dia kepada kalian, kuharap kalian tidak akan mengecewakanku."
"Ya, kami tidak akan mengecewakanmu." Seru Vivian bersemangat.
"Okey, baiklah kita sudahi basa-basi yang terlalu banyak drama ini pak tua," Sahut Rian seraya mulai beranjak dari duduknya. "Aku pergi sekarang, kuharap kau menjaga kesehatanmu pak tua, agar kau dapat melihatnya secara langsung wajah Blue Bird mendekam di balik jeruji besi. Bukan dari bilik rumah sakit melalu Video Call." Ucap Rian meledek pak Joko.
"Kenapa begitu ?" Tanya pak Joko penasaran. Rian yang telah membuka pintu ruangan tersebut berhenti sejenak, dan tersenyum sebentar seraya menoleh kembali kearah pak Joko.
"Karna orang tua rentan akan penyakit bukan ?" Teriak Rian seraya keluar dari ruangan tersebut.
Vivian yang menganggap ucapan Rian itu lucu, tak sengaja ikut tertawa akan hal itu, dan karna sadar itu adalah lelucon yang Rian buat untuk pak kepala ia pun lalu dengan segara menutup mulutnya dengan kedua tangannya seraya berkata. "Maaf." Ucap Vivian dengan perasaan bersalah.
Pak Joko pun tersenyum tipis. "Itu bukan masalah Vivian, tak usah kau pikirkan dalam hati," lalu kemudian pak Joko menggerakan bola matanya ke bawah dan keatas seraya melirik ke arah pintu keluar ruanganya, dengan masuk memberikan kode kepada Vivian untuk segera menyusul Rian. Vivian yang bingung hanya menatap pak Joko keherana tanpa berani berkata sepatah-kata pun. "Oh ayolah Vivian, kau menunggu apa lagi, cepat susul Rian." Seru pak Joko memberi perintah.
Vivian pun lalu dengan sigap segara beranjak dari duduk manisnya dan memberi hormat kepada pak Joko. "Siap pak!" Seru Vivian yang setelah itu segera pergi meninggalkan ruangan tersebut dan menyusul Rian.
Vivian langsung menghampiri Rian yang sedang berdiri di depan pintu seraya bermain dengan handphonenya. "Maaf, aku disuruh pak kepala untuk mengikutimu kemana pun kamu pergi, demi kelancaran pada kasus ini." Lalu Rian menaruh handphonenya tersebut di saku celananya. "Okey, kalau begitu sekarang waktunya kita bersantai-santai, aku ingin mengajakmu ke sebuah cafe tempat biasa aku menghabiskan waktu jika sedang ada waktu luang." Ucap Rian yang kemudian mulai berjalan keluar dari gedung.
Vivian mengikuti Rian dari belakang. "Mohon maaf sebelumnya Ri, tapi bukanya kita harus menyelesaikan kasus ini secepatnya. Jadi menurutku tidak ada gunanya untuk bersantai-santai dan membuang waktu, terlebih lagi kita belum melakukan apapun."
Rian tersenyum simpul. "Siapa bilang kalo kita bakal cuma bersantai-santai ria saja di sana, di sana kita juga akan bekerja Vivian."
Vivianpun menatap Rian heran. "Sekalian kerja ?" Tanya Vivian kebingungan.
Rian memejamkan matanya, dan menghelakan nafasnya sejenak. "Sudahlah..., nanti kamu juga tau apa yang akan kita lakukan disana, sudahlah... yuk kita pergi, keburu jadi bangke kalo terus terusan berada disini." Sahut Rian tegas.
Lalu dengan canggung Vivian menjawab. "Baik Ri." Sahut Vivian heran.
Rian pun menoleh kebelakang seraya tersenyum simpul kearah Vivian. "Sudahlah tidak usah terlalu difikirkan Vivian. " Ucap Rian yang kemudian memegang tangan Vivian dan menariknya ke depan Mobilnya.
Rian dan Vivian kemudian pergi menuju cafe tempat biasa Rian mengisi waktu luangnya, dan cafe tersebut bernama Imagine Cafe.
Imagine Cafe sendiri terkenal di seluruh Jakarta, sebagai Cafe dengan tempat dan pelayanan terbaik di Indonesia. Bahkan minuman dan makan yang berada disana semua berkualitas bintang 5. Selain terkenal berkelas, banyak desas desus yang beredar bahwa cafe tersebut dijalankan oleh salah satu Mafia di negara Indonesia, dan menjadi tempat atau sarang berkumpulnya penjahat berdasi untuk berdiskusi disana.
Rian sendiri sering mengunjungi Cafe tersebut bukan hanya karna cafe tersebut berkelas atau pun minuman dan makanannya yang enak saja, akan tetapi Rian sering berkunjung di sana dikarnakan juga untuk mencari informasi-informasi tentang kasus-kasus yang sedang ia kerjakan.
Tidak ada banyak orang yang mengetahui hal tersebut, hanya tim yang bekerja untuk Rian dan beberapa mafia ternama saja yang tau akan hal ini, bahwa Rian terkadang bekerja sama dengan salah satu temanya yang merupakan salah satu bos mafia yang menjalankan Cafe tersebut, dan Rian sering sekali berjual beli informasi dengan kenalanya tersebut.
Itulah alasan kenapa Rian bisa dengan mudah menyelesaikan misi-misinya meski tidak pernah berhubungan atau pun mendapatkan informasi secuil pun dari pihak kepolisian.