"Berurusan sama gue, maka hidup lo bakal kelar." (Dira)
*****
Gadis itu berjalan bersama seorang guru perempuan yang diketahui sebagai wali kelasnya nanti di kelas XI IPA 2. Dia berjalan dengan dagu terangkat angkuh dan menatap tajam para cowok yang melihatnya dengan tatapan mesum membuat para cowok itu lari terbirit-birit.
Guru yang diketahui bernama Bu Cinta dengan umur sekitar 30-an berhenti di depan kelas yang pintunya tertutup. Langkah gadis itu pun terhenti seketika sambil mendongakkan kepalanya menatap sebuah papan kecil yang menggantung bertuliskan XI IPA 2.
Gadis itu mengatur napasnya yang memburu. Dia sangat gugup, jantungnya berdetak kencang sampai membuatnya hampir meledak. Wajah cantik yang dihiasi bulu mata lentik dengan mata bulat dan bibir merah muda terlihat kaku karena sang pemilik meresa tegang.
Bu Cinta memasuki kelas itu terlebih dahulu meninggalkan gadis itu di luar. Kelas yang tadinya ribut mendadak hening ketika wali kelas memasuki kelas yang dibimbing.
"Assalamualaikum, Anak-anak."
"Wa'alaikumsalam, Bu," jawab mereka secara serentak.
"Kalian kedatangan murid baru, loh," ucap Bu Cinta membuat seisi kelas heboh karena penasaran termasuk kelima cowok yang duduk di meja pojok belakang.
"Siapa, Bu? Cewek atau cowok? Kalo cewek mau saya gebet nih, Bu," ujar Dimas sambil cengengesan ketika semua temannya menyorakinya.
"Sudah diam! Nak, ayo silakan masuk."
Kelas menjadi hening kembali, semua merasa penasaran siapa yang akan menjadi teman satu kelas mereka. Beberapa pasang mata melotot tatkala melihat gadis yang tadi pagi membuat seisi sekolah menjadi heboh ada di hadapan mereka.
"Hah, itu cewek terlibat insiden dengan Azka, 'kan?" bisik salah satu cewek yang duduk di depan.
"Iya, itu gue, masalah?" Gadis itulah yang menjawab bisikan cewek yang duduk di depannya. Cewek itu tersentak lalu menunduk takut tatkala melihat tatapan tajam yang ditunjukkan oleh gadis itu.
"Eh Bro, itukan cewek yang gampar lo tadi," bisik Rafka sambil menepuk pundak Azka yang sedang menatap ke arah lain. Mendengar itu Azka spontan menoleh ke depan dan benar saja gadis itu ada di sana.
"Ayo perkenalkan diri kamu."
Gadis itu menatap sekeliling kelasnya dan tatapannya terhenti pada mata elang Azka. Gadis itu tersenyum sinis mengingat Azka telah mencium pipinya ini.
"Hai, nama gue Dirandra Angelina, kalian pasti tahu 'kan siapa gue?"
Dira, gadis itu menaik turunkan alisnya sambil tersenyum puas melihat wajah pias dari teman satu kelasnya. Termasuk Bu Cinta yang saat ini tersenyum kaku ke arah Dira.
Dirandra Angelina, nama yang begitu tidak asing karena nama itu selalu disebut dimana pun bahkan media masih mencoba menggali informasi mengenai pemilik nama itu. Dira adalah putri dari Pemimpin Mafia Black Angel yang bergerak dalam dunia bisnis dengan menawarkan jasa bodyguard. Bayaran yang diminta senilai puluhan hingga ratusan juta. Jasa bodyguard di Black Angel tak pernah mengecewakan dan mereka bekerja untuk mengawal para petinggi negara..
Semua orang pasti tahu nama tersebut, tapi tak pernah melihatnya karena dia disembunyikan oleh Keluarga Angel. Namun, siapa sangka sekarang gadis itu ada di hadapan mereka dengan tatapan angkuh dan tajam yang membuat seisi kelas bergidik ngeri.
"Kalau kalian udah tahu, gue peringatkan yah. Jangan macam-macam sama gue, oke. Gue gak jamin kalian bisa lolos dengan mudah," ucap Dira dengan penuh penekanan yang membuat seisi kelas meneguk ludahnya gugup.
"S-sekarang kamu boleh duduk bersama Fara." Bu Cinta menunjuk seorang gadis berkacamata yang tadinya sedang membaca buku sekarang menatap tak percaya sekaligus takut.
Dira melangkah santai menuju meja yang ditunjukkan oleh Bu Cinta. Dira tersenyum geli melihat teman satu mejanya yang sepertinya ketakutan.
Apa yang teman satu mejanya takuti? Padahal Dira hanya memberi mereka peringatan saja karena biasanya jika ada murid baru pasti akan diserbu berbagai macam pertanyaan. Akan tetapi, Dira tak mungkin bisa menjawabnya karena dia bahkan hampir tak pernah bersosialisasi dengan cara yang wajar.
Ngomong-ngomong, Nick dan Edward sepertinya masih di Ruang Kepala Sekolah untuk mengurus dokumen kepindahan Dira di SMA Merpati. Yah, punya bawahan kan memang sudah seharusnya kita suruh-suruh. Anggap saja ini hukuman dari Dira karena mereka akan menjadi pengawalnya mulai sekarang.
"Hai! Nama gue Dira. Lo, siapa?" Dira mengulurkan tangannya dan dibalas dengan kaku oleh Fara.
"H-hai, nama gue Fara Adinata," jawab Fara takut.
"Lo gak usah takut sama gue, oke? Gue enggak bakal gigit kok kalau lo gak gigit gue duluan. He he he." Fara mengangguk kaku lalu kembali fokus pada buku bacaannya.
"Lo suka baca buku, Fa?" tanya Dira sambil mengamati Fara dari samping yang membuat Fara gugup.
Rambut panjang yang dikuncir kuda dengan kaca mata bulat dan tangan yang memegang buku tebal, mungkin banyak yang salah mengira bahwa Fara itu anak yang culun. Tapi, yah, penampilan luar tak menggambarkan sifat seseorang. Karena menurut analisis Dira, Fara tipe perempuan yang tidak banyak bicara. Namun, sekalinya bicara akan memberikan kesan pada semua orang.
"I-iya."
Fara mengalihkan pandangannya dari buku yang dia baca lalu tersenyum kecil pada Dira.
"Kalau gue sih gak usah baca buku aja udah diberi otak yang yah cukup Jeniuslah. Tapi gue gak sombong loh Fa, he he..." Dira cengengesan sendiri yang membuat Fara terkekeh kecil. Ternyata dugaannya tentang Dira yang menakutkan tidak sepenuhnya benar, karena saat ini dia tengah berusaha mengajaknya mengobrol.
"Kalau lo suka apa, Dir?" tanya Fara berusaha untuk menjalin hubungan pertemanan dengan Dira melalui obrolan ringan.
"Banyak yang gue suka ... Apa aja yah ..." Dira mengetuk-ngetuk jari telunjuknya di dagu layaknya sedang berpikir.
"Kelamaan lo mikirnya. Katanya Jenius, jawab gini aja gak bisa," cibir Fara yang membuat Dira terkekeh geli mendengar Fara yang mencibirnya.
Lihat, kan? Sekalinya Fara bicara meninggalkan kesan yang mendalam tanpa difilter, yah kesan menyakitkan juga termasuk.
Dira tidak mempermasalahkan kepribadian Fara yang sekalinya berbicara akan menusuk, bukan karena adanya maksud untuk menyinggung Dira. Mungkin karena Fara terlalu jujur atau karena tak memahami apa arti dari perkataan yang menyinggung.
"He he... Gue sukanya main tembak tembakan pakai pistol, pacuan kuda, memanah, dan nusuk-nusuk pakai pisau."
Saat mengatakan itu, hati Dira terasa ngilu karena sebenarnya itu kegiatan sehari-harinya di rumah. Karena itulah dia menjadikan kegiatan tersebut sebagai hobi.
Jawaban Dira membuat Fara sejenak berhenti bernafas karena merasa shock dengan mata melotot. Dira tertawa renyah di keheningan kelas yang memang saat ini sedang jam kosong. Semua menatap takut pada Dira yang masih terbahak. Tebak apakah tadi semuanya mendengar pengakuannya? Dira yakin seyakin-yakinnya saat dia mengatakan perihal kesukaannya tadi kelas sedang hening jadi pasti semua mendengarnya termasuk kelima cowok yang menatapnya horor.
"Az, mending lo gak usah berurusan sama dia deh. Bisa berabe kita di tangan dia," bisik Dimas sambil menatap cemas Azka yang keningnya berkerut.
"Memang dia siapa harus kita takuti?"
Dimas menatapnya horor sambil menggelengkan kepalanya.
Maklumi saja karena Azka sangat jarang membuka ponselnya apalagi bermain media sosial. Itulah yang membuatnya tak tahu tentang Dira.
Tanpa Azka sadari, banyak yang mengidolakannya karena Dimas dengan iseng membuat Ingstagram atas nama Azka dan mengunggah foto Azka saat dia bermain basket. Akun palsu yang Dimas buat ternyata banjir followers. Tentu saja Dimas tak memberi tahu Azka mengenai akun palsu tersebut. Azka mungkin akan mengamuk karena Dimaslah penyebab banyaknya perempuan yang selalu berusaha mendekatinya.
"Lo enggak tahu gitu?" Kali ini Andre yang paling kalem angkat bicara. Sikapnya yang selalu tenang dan berwibawa. Dia tak banyak bicara, akan tetapi selalu bisa membuat perubahan besar sekalinya bertindak. Contohnya tindakan Andre yang memberi Azka tantangan untuk memegang tangan perempuan supaya penyakit fobia perempuan Azka terobati sedikit demi sedikit. Tindakan Andre yang terlalu berisiko tersebut ternyata membawa perubahan besar pada Azka. Azka bukan hanya memegang tangan seorang perempuan tanpa mual, bahkan sampai menciumnya di tempat umum.
"Hm, gue enggak tahu," jawab Azka cuek.
Azka seharusnya berterima kasih pada Andre karena dia juga menyadari adanya perubahan besar darinya. Namun, perbuatan Andre yang terkesan tak memikirkan kemungkinan terburuk sehingga membuatnya teringat dengan masa lalu yang hampir dia lupakan. Kenangan itu tak mudah untuk dilupakan karena menjadi traumanya sampai sekarang.
"Dia putri dari Pemimpin Mafia Black Angel. Masa lo enggak tahu sih?!!" geram Dimas tertahan dengan suara sedikit dikecilkan takut-takut Dira akan mendengarnya.
"Gue denger loh." Sebuah suara menginterupsi kelima cowok tersebut.
Dimas menelan ludahnya kasar karena saat ini Dira sudah berdiri di depannya dengan tatapan tajam.
"Nyesel gue pas bilang kalau mau gebet kalau murid barunya cewek. Di depan dia aja gue langsung kicep." Dimas menggerutu dalam hatinya. Tak mungkin dia mengatakan hal memalukan seperti itu.
"Kalian lagi ngomongin gue, ya?" tanya Dira sambil menatap satu persatu dari kelima cowok tersebut.
"E-eh enggak kok cantik. Boleh kenalan enggak? Nama gue Dimas." Dimas mengulurkan tangannya pada Dira yang hanya menatap tangannya malas.
"Enggak usah sok kenal deh!" Dira berkata dengan ketus membuat Dimas menunduk malu. Dira mendekatkan bibirnya ke telinga Dimas lalu berbisik, "Jangan sok ceria padahal lo masih aja lari dari kenyataan. Gue bukannya simpati, tapi miris aja lihat lo seolah enggak punya masalah. Ternyata lo yang paling punya banyak masalah, gampang banget dibacanya."
Wajah Dimas yang awalnya berseri berubah menjadi kaku dan terlihat menyeramkan. Dimas menjauhkan diri dari Dira dengan melayangkan tatapan tajam seolah ingin membunuh Dira di tempat.
Dira tak menghiraukan tatapan membunuh yang melayang padanya. Dia mengendikan bahu tak peduli karena perkataannya tidaklah salah. Untuk apa bersusah-susah lari dari kenyataan kalau hal tersebut sudah benar-benar berlalu dan kita yang paling tahu. Harusnya kita menghadapinya sesakit apapun kenyataan di kehidupan kita.
Dira mengalihkan atensinya pada keempat cowok di depannya. "Coba sebutkan nama kalian satu persatu." Ucapan Dira diangguki oleh mereka kecuali Azka yang menatapnya datar.
"Gue Rafka," ucap Rafka sambil menatap datar Dira.
"Gue Andre," ucap Andre dengan sedikit tersenyum walau terkesan kaku.
"Gue Widi." Kali ini Widi memperkenalkan diri dengan senyum misterius.
Ah, Widi memang yang paling sulit dibaca oleh Dira hanya dengan sekilas melihatnya. Mungkin perlu beberapa pendekatan untuk bisa mengenal kepribadian Widi sesungguhnya.
"Kenapa lo?" tanya Dira sambil menatap tajam Widi yang hanya menggeleng sambil tersenyum kecil, matanya melirik Azka yang tatapannya hanya terfokus pada Dira.
"Enggak apa-apa." Widi terkekeh kecil lalu menggelengkan kepalanya seolah tak habis pikir.
"Kalau ini namanya siapa?" Dira menunjuk Azka.
"Nama gue, Azkara Ranendra." Azka menatap tajam dengan raut dinginnya pada Dira yang tersenyum penuh arti.
"Oh, jadi nama lo Azka. Lo cowok yang udah gue tampar di lapangan 'kan? Malu enggak, lo? Pasti malulah, ha ha... Rasain tuh." Dira tertawa mengejek pada Azka yang saat ini sudah sangat geram dengan wajah memerah menahan amarahnya. Rafka yang mengerti keadaan segera menepuk pundak Azka menenangkan. Azka mencoba mengatur napasnya untuk meredam emosinya yang siap meledak.
Mungkin Azka memang memiliki ketertarikan pada Dira, akan tetapi insiden di lapangan basket tentu saja masih membuatnya merasa terhina.
"Kenapa lo?! Mau marah, heh?! Mau coba tampar gue?! Ayo, coba tampar gue kalo lo berani," ucap Dira menantang sambil melipat kedua tangannya di depan dada. Pipi kanannya diarahkan pada Azka. Posisi ambigu itu seperti halnya Dira ingin meminta ciuman bukan tamparan. Pipi mulus yang terlihat menggoda, namun tidak bagi Azka.
Azka menatap tajam dengan sorot dingin yang begitu kentara di wajahnya dengan tangan yang terkepal kuat. "Tampar lo? Cih, gak sudi gue menyentuh kulit kotor lo." Ucapan Azka membuat amarah Dira seketika memuncak.
"Terus lo pikir gue sudi gitu, kalau tangan kotor lo itu gampar pipi mulus gue?! Dih, najis!" Kepalan tangan Azka semakin kuat memperlihatkan otot tangannya.
"Lo tahu? Dimata gue itu lo enggak lebih dari sampah!" hina Azka yang membuat Dira naik pitam.
BRAKK!!!
Dira menendang meja yang ada di depan Azka membuat seisi kelas menelan ludahnya kasar karena suasana kelas yang hening berubah menjadi mencekam.
"BILANG APA LO TADI?!! COBA ULANGI!!" teriak Dira dengan tangan terkepal kuat di belakang tubuhnya. Aura permusuhan begitu kentara menguar dari Dira maupun Azka.
"LO ITU SAMPAH!!"
BUGHH!!
BRAAKK!!!
Dira memukul sudut bibir Azka dengan kuat yang membuat Azka jatuh tersungkur menghantam meja. Suasana kelas semakin mencekam dengan kejadian ini, semua tak ada yang berani melerai karena takut-takut menjadi sasaran berikutnya oleh Dira.
Manik mata Dira berubah menggelap dengan sorot dingin yang diselimuti amarah. Sementara itu Azka meringis ketika merasakan nyeri di bagian punggungnya yang menghantam kuat meja dengan sudut bibirnya yang sobek. Andre dan Dimas membantu Azka untuk berdiri, karena gerakan memukul Dira tadi tidak terbaca oleh mereka.
Azka menatap Dira tajam bak elang yang siap menerkam mangsanya, tetapi Dira tidak peduli dan malah menatap lebih tajam.
"Itu akibatnya jika ngomong yang enggak-enggak tentang gue," desis Dira kemudian berlalu menuju mejanya.
Semua bergidik ngeri melihat itu dan kembali pada aktivitas masing-masing ketika Azka menatap mereka tajam.
Dira melangkah santai dengan senyum puas karena merasa sudah impas dengan Azka. Fara yang menyaksikan kejadian tersebut, tubuhnya bergetar takut saat Dira duduk di sampingnya.
"Apa wajah Dira seram ya sampai Fara takut? Padahal, 'kan Dira cantik. Masa Fara takut, sih?" Manik mata Dira berubah menjadi cerah dengan memperlihatkan senyum termanisnya pada Fara yang malah membuat Fara semakin bergidik.
"Ishh enggak usah senyum-senyum gitu, ah... Bukannya senyum manis, tapi menurut gue seram bikin gue merinding tahu enggak," ucap Fara pelan yang membuat Dira terkekeh pelan.
"Huftt... Ah, Fara mah enggak asyik. Masa sama teman sendiri takut sih? Sebel deh." Dira pura-pura merajuk dengan memasang wajah merenggut yang membuat Fara terkekeh geli.
"He he... Kenapa sih kok kesel gitu? Nanti mukanya enggak cantik lagi loh," goda Fara yang membuat Dira kesal.
"Ishh Fara mah ngeselin, Dira itu cantik..."
"Iya-iya Dira cantik." Keduanya terkekeh geli bersama-sama.
"Eh yang tadi maksudnya teman gimana yah?" tanya Fara dengan takut-takut.
"Oh tadi, iya sekarang Fara jadi teman Dira. Tahu enggak? Fara itu teman Dira satu-satunya, karena Dira itu selalu dikurung di rumah dan gak punya teman deh selain main sama senjata-senjata di rumah he he" celoteh Dira.
Fara menanggapi dengan tersenyum kaku karena Dira sedang menceritakan tentang dirinya pada Fara. "Jadi, sekarang kita teman?"
"Yah kita teman," jawab Dira sambil mengulurkan jari kelingkingnya yang dibalas oleh Fara.
"Yeah, Dira punya teman," ujar Dira kegirangan yang membuat Fara terkekeh geli.
Sedangkan Azka yang berada di pojok kelas hanya menggelengkan kepalanya. Azka merasa heran dengan sosok Dira yang berubah-ubah. Kadang dingin, cuek, datar, judes, lucu, imut, polos, dan seperti anak TK contohnya saat ini yang sedang memekik kegirangan seperti bocah yang mendapatkan hadiah.
"Dasar bocah," gumam Azka sambil menatap lurus pada satu titik.
Azka: Di chapter awal gue sapa pakai ciuman, dan sekarang dibalas bogeman:"( Mirisnya hidup ini karena apa yang kita tanam hasilnya bisa saja mengecewakan jika kita tak merawatnya dengan cara yang benar.
Lidia: Iya deh saya ikut miris karena enggak ada yang baca curhatan kamu, Az.
Saya sudah memberi tag untuk buku ini, datang dan mendukung saya dengan pujian!