Dan dari rumah keluarga Larasati, Pak Parman dan Larisa mendapat kan satu petunjuk. Mereka mendapatkan sebuah buku diary milik Larasati.
Yang hingga kini masih di simpan oleh ibundanya Larasati.
Sampai detik ini kedua orang tua Larasati tidak tahu apa isi dalam buku diary itu.
Karna memang mereka buta huruf.
Mereka hanya menyimpan sebagai kenang-kenangan saja.
***
Sepulang dari rumah Larasati, Pak Parman mengantarkan Larisa pulang kerumahnya.
Mereka pulang dengan berboncengan motor.
"Terima kasih Pak, sudah mengantarkan saya," tukas Larisa.
"Iya sama-sama, Larisa. Terima kasih juga sudah mau ikut Bapak pergi ke rumah Larasati."
"Iya, tidak masalah, Pak. Saya juga melakukannya dengan senang hati. Karna saya juga ingin bebas darinya yang terus mengganggu saya,"
"Ah, baiklah. Kalau begitu tolong rahasiakan ini ya," pesan Pak Parman.
Larisa mengangguk, "Baik, Pak. Saya akan merahasiakannya. Tapi bagaimana dengan buku ini," Larisa menunjuk bukunya.
"Sudah, kamu saja yang menyimpannya. Mungkin kamu lebih mengerti soal perempuan. Karna dia saat menulis buku diary itu, Larasati masih seusiamu." Jelas Pak Parman.
Lalu Pak Parman pun berlalu pergi.
Sementara Larisa masuk kedalam rumahnya.
Namun saat dia masuk kedalam rumahnya tiba-tiba di terkejut. Karna adanya Alex yang sudah duduk manis di kursi ruang tamunya.
"Alex, kok kamu ada di sini?" tanya Larisa yang keheranan.
Lalu datangkah ibunya Larisa sambil membawa nampan berisi teh hangat untuk Alex.
"Eh, Larisa kok baru pulang?" tanya Ibunya.
"Iya, Bu. Maaf tadi ada sedikit urusan. Jadi Larisa pulang agak telat," jawab Larisa.
"Oh, yasudah. Kamu temani, Nak Alex. Sudah sejak tadi dia menunggumu,"
"I-iya, Bu."
"Yasudah, Nak Alex. Ibu permisi dulu ya. Kalian ngobrol dulu, tidak usah buru-buru pulang. Anggap saja rumah sendiri," tukas ibunya Larisa.
Beliau sangat bahagia dengan kedatangan Alex yang mengaku sebagai temannya Larisa.
Karna selama ini Larisa tidak memiliki teman, apa lagi teman lawan jenis. Ini adalah kali pertamanya ada seorang teman laki-laki Larisa yang datang ke rumah. Tentu hal itu membuat ibunya Larisa merasa bahagia, akhirnya ada yang mau berteman dengan anaknya.
Sambil tersenyum ibunya Larisa menengok sesaat kearah Larisa. Lalu dia berlalu pergi.
***
Dengan perasaan yang sangat canggung Larisa duduk di samping Alex.
Dan selama beberapa detik Larisa hanya menunduk ke bawah tanpa bicara.
Lalu Alex pun mulai membuka topik pembicaraan agar suasana canggung itu segera hilang.
"Larisa. Kamu tadi habis dari mana?" tanya Alex.
"Ah, itu. Aku...."
"Tadi kamu pergi dengan, Pak Parman, 'kan?" tanya Alex.
"Da-dari mana kamu bisa tahu?"
"Aku, tadi melihat saat kamu pulang sekolah dan langsung pergi berdua saja dengan Pak Parman, penjaga sekolah."
"Ow, maaf, Alex. Aku sudah berjanji dengan Pak Parman untuk tidak berbicara dengan siapa pun."
"Kamu itu terlalu polos Larisa. Kita ini sudah berteman, 'kan? kenapa masih ada rahasia-rahasiaan segala sih,"
"Tapi—"
"Kamu pergi untuk mencari tahu tentang, Larasati, 'kan?"
Seketika Larisa langsung melotot. "Dari mana kamu tahu?!"
"Ya Karna hanya itu yang selama ini menjadi permasalahanmu dan Pak Parman. Jadi tenang saja, Pak Parman tidak akan marah jika aku mengetahuinya. Aku dan beliau sudah mengenal baik. Sekarang ceritakan saja semuanya denganku. Dan aku akan membantumu. Aku akan bergabung dengan kalian untuk mencari tahu tentang Larasati." Tutur Alex.
Akhirnya Larisa menceritakan semuanya, termasuk kedatangannya ke rumah keluarganya Larasati. Serta buku diary yang dia dapat dari ibunya Larasati.
"Apa, itu artinya kamu juga belum membaca buku itu?" tanya Alex.
Lalu Larisa mengangguk. Dan Alex pun meraih buku itu.
"Baik kalau begitu, mari kita baca bersama." Ajak Alex.
Dan mereka membaca buku diary itu bersama-sama.
Dan dalam buku itu bertuliskan tentang segala keluh kesah Larasati, bagaimana beratnya dia menjalani kehidupannya di sekolah.
Dia harus menahan segala olokan, cacian, bahkan kekerasan fisik dari teman-temannya. Selama ini dia menahannya sendirian.
Tidak ada yang tahu tentang kesulitannya. Termasuk kedua orang tuanya.
Larasati merahasiakannya. Karna dia tak tega melihat orang tuanya bersedih dan kecewa, karna melihat dirinya menderita.
Padahal mereka sudah cukup bangga, dengan putrinya yang bisa mendapat beasiswa dan bersekolah di sekolahan elite dan mahal.
Sebisa mungkin Larasati menutupinya dan selalu tampak ceria di depan orang tuanya.
Walau sebenarnya dalam buku diary itu Larasati merasa sangat lelah dan ingin segera mengakhiri hidupnya. Namun lagi-lagi karna kedua orang tuanya yang begitu berharap banyak kepadanya membuatnya tetap bertahan.
Dan dia juga menuliskan beberapa nama yang begitu berpengaruh dan di takuti dalam kehidupannya. Terutama kehidupan sekolahnya.
Nama itu diantara-Nya adalah, Seruni, Amara, serta Anton.
Dia menuliskan betapa kejamnya Seruni dan Amara yang pernah mengurungnya di dalam gudang.
Tentang Amara yang pernah melempar buku ke bagian telinganya, hingga telinga sebelahnya menjadi tuli.
Bahkan dia juga menuliskan bagaimana Seruni yang sangat membencinya karna mengetahui jika dia mengirim surat kepada Wijaya. Karna saat itu Seruni sangat menyukai Wijaya.
Namun Wijaya tidak pernah menganggap perasaan Seruni.
Dan justru Wijaya sempat membela Larasati, ketika Larasati sedang di ganggu oleh Seruni dan Amara.
Mulai dari situ Seruni dan kawan-kawan satu gengnya semakin sering mengganggunya.
Bahkan ancaman sudah sering dia dapatkan, termasuk saat dirinya masuk rumah sakit karna ulah Amara dan Seruni serta kawan satu gengnya.
Tapi dari semua cerita kelam itu ada beberapa cerita bahagia. Dimana dia menemukan dua orang yang bisa merubah hidupnya.
Dia menuliskan tentang ungkapan rasa terima kasihnya kepada Wijaya.
Karna meski dia seorang siswa yang popular dan menjadi incaran para gadis, termasuk Seruni.
Tapi Wijaya sangat baik terhadapnya. Bahkan Wijaya pernah beberapa mengajaknya pergi berdua.
Saat itu mereka hanya pergi ke toko buku saja, karna memang Wijaya adalah anak teladan dan juga pintar. Namun dibalik kecerdasannya dia sangat kagum dengan Larasati sehingga mereka berdua sering menghabiskan waktu berdua diluar jam sekolah. Untuk sekedar pergi ke toko buku, dan belajar bersama.
Meski Larasati diam-diam menyukai Wijaya, tapi Larasati tidak berani mengungkapkannya. Karna takut Wijaya akan menolaknya.
Baginya saat itu, dia sudah bisa dekat dan punya sahabat seperti Wijaya saja sudah sangat bahagia.
Dan selain tentang Wijaya, dia kembali menuliskan tentang perasaan bahagianya.
Di mana saat itu ada seorang siswi baru pindahan dari Surabaya. Dan siswi itu bernama Tyas.
Tyas adalah gadis cantik yang sangat baik hati. Meski banyak anak-anak popular ingin berteman dengannya. Tapi Tyas malah memilih berteman dengan Larasati yang kala itu hanya seorang anak culun dan jelek.
Bahkan Tyas sampai mau merubah penampilan Larasati yang sangat kurang menarik itu menjadi sangat cantik dan modis.
Alasannya tak lain, karna Tyas tidak ingin melihat Larasati terus di ejek dan di sepelekan, hanya karna penampilannya. Apalagi Larasati adalah anak yang sangat pandai dan teladan di sekolahnya. Seharusnya teman-teman sekolahnya menghargainya, bukan malah menyepelekannya.
Berkat Tyas, perlahan orang-orang mulai menghargai Larasati.
To be continued