"Tahu apa kau?!" Rei membentakku untuk kesekian kalinya. Lengannya yang menahan tanganku bergetar, tak ada cukup tenaga baginya untuk menahanku, apalagi kini ia menangis tersedu.
Dengan sekali hentak, aku bangkit dan mendorong Rei menjauh. Aku sudah duduk di depan Rei, wajahnya memucat terkejut sekaligus takut. Mungkin saja takut karena aku tak menampilkan ekspresi apa pun. Air matanya masih deras mengalir. Perlahan aku mengusapnya, membersihkan pipinya yang kotor oleh abu rokok yang membekas karena air mata, meraih beberapa puntung rokok bekas yang tersangkut di rambut hitam panjang sebahu itu.
"Tidak akan ada yang akan tahu apalagi paham dengan perasaanmu, jika kau tidak mencoba memberi tahukannya." Rei menunduk dalam. Pundaknya berguncang kuat, kini suara tangisnya tak lagi ia tahan. Dia menangis seperti bocah berusia 5 tahun.
สนับสนุนนักเขียนและนักแปลคนโปรดของคุณใน webnovel.com