webnovel

47. Kemarahan Milly

Tangan Milly bergetar karena amarah. Dasar Nick bajingan! Berengsek! Ia merasa dirinya seperti wanita murahan.

Dengan sukarela ia membiarkan Nick memeluknya, menciumnya, sementara pria itu bahkan tidak pernah melupakan kenangan manis bersama kakak tirinya. Bagaimana bisa seorang adik tiri mencintai kakak tirinya? Cinta macam apa itu?

'Aku tidak pernah sekalipun melupakanmu. Rissa, aku tidak akan pernah ingin melupakan apapun yang pernah terjadi di antara kita'

'Aku tidak menyesal atas apa yang pernah kita alami bersama'

'Kamu tahu, semua yang kita alami bersama saat itu adalah hal-hal yang membahagiakan bagiku'

'Aku tidak ingin melupakan hari-hari itu'

'Keputusan untuk tidak pernah melupakanmu adalah keinginanku sendiri. Tidak ada hubungannya dengan apapun.'

'Jadi kamu masih menyimpan perasaan padaku?'

'Perasaan sayang akan tetap tinggal untuk selamanya'

Milly menggeram. Ia tidak tuli. Ia mendengar pembicaraan Nick dengan Rissa. Nick sengaja membiarkannya untuk mengobrol dengan Charlos supaya dia bisa berduaan dengan Rissa.

Tidak tahu malu! Rissa itu sudah menikah dan sudah punya anak. Untuk apa Nick masih menyimpan perasaan pada kakak tirinya itu?

'Perasaan sayang akan tetap tinggal untuk selamanya'

Setengah mati ia berusaha menahan diri untuk tidak menangis. Begitu air matanya tumpah, ia tidak tahu bagaimana caranya untuk berhenti. Ia harus kuat. Ia harus bisa menahan.

'Perasaan sayang akan tetap tinggal untuk selamanya'

Ugh! Milly benci sekali dengan pria itu. Ia sakit hati setengah mati.

Milly berjalan cepat menuju kamarnya. Ia meremas kartu kamar hotel di tangannya. Saat masuk ke dalam, Helen dan Ika sedang sibuk mengeringkan rambut sambil menonton TV.

"Hai, Milly! Kamu ke mana saja?" tanya Ika.

Milly berjalan lurus menuju ke kamar tanpa menghiraukannya. Ia harus membereskan barang-barangnya. Ika menghampirinya ke kamar, rambutnya masih basah.

"Karena omongan Nicholas tadi tentang olahraga, Helen mengajakku untuk berenang. Kamu tidak ingin berenang? Kolam renangnya bagus sekali."

Milly sibuk mengumpulkan kosmetik dan alat mandinya. Ika mengikutinya ke kamar mandi.

"Kamu kenapa sih? Kamu tadi bersama dengan Nicholas kan? Kalian ke mana saja?" tanya Ika.

Milly menutup retsleting tas kosmetiknya dengan kasar, lalu menatap Ika dengan amarah yang ditahannya habis-habisan.

"Jangan—pernah—menyebut—nama—itu—lagi!"

Ika menarik napas, lalu mengeluarkannya perlahan. "Kalian pasti bertengkar." Ia menahan tangan Milly saat ia hendak memasukkan tas kosmetiknya ke dalam koper. "Hentikan!"

"Kenapa?"

"Aku yang seharusnya bertanya. Kenapa kamu harus pergi? Kita sedang berlibur."

"Aku sudah tidak ingin berlibur lagi. Aku mau pulang." Milly kembali ke kamar mandi untuk mengurusi pakaian dalam dan celana panjangnya yang basah dan ... kaus Nick juga.

'Perasaan sayang akan tetap tinggal untuk selamanya'

Milly menggeram sambil meremas celana panjangnya.

"Kamu yakin tidak ingin ikut kami ke The Great Asia Africa?" tanya Helen ikut menghampirinya.

"Tidak," jawab Milly tegas.

"Tempatnya di Lembang. Aku lihat di Instangambar. Tempatnya bagus sekali untuk foto-foto," kata Ika menambahkan.

Lembang! Lembang! Ingin sekali Milly berteriak. Milly berkonsentrasi membereskan cuciannya di wastafel.

"Aku bilang tidak!" seru Milly yang terdengar seperti rengekan.

"Mil, sebaiknya kamu bercerita. Apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Helen.

Milly melempar celana panjangnya ke kaca, air sabun menyiprat ke mana-mana, mengenai matanya. Ia menggosok-gosok matanya. Tanpa terasa air mata pun ikut mengalir. Ia terisak.

"Milly ..." Ika memeluknya dari samping. "Kamu baik-baik saja?"

"Aku mau pulang!" rengeknya.

Helen dan Ika membantu memapah Milly untuk duduk di sofa. Tangisnya pecah. Sekujur tubuhnya bergetar. Ia marah, kesal, kecewa sekali.

Nick yang kejam! Pria itu berani menciumnya, membuatnya jatuh cinta dan tergila-gila padanya. Dasar bajingan!

Kedua sahabatnya tahu, setiap kali Milly menangis pasti lama sekali. Jadi mereka tidak banyak berkata-kata, hanya membiarkannya menumpahkan seluruh air matanya sampai kering, barulah mengajaknya berbicara. Ika menyerahkan gelas air minum.

"Minumlah. Nanti kamu dehidrasi."

Milly menurut untuk minum, menghabiskannya dalam sekejap. Matanya perih sekali dan bengkak. Hidungnya mampet. Ia kesulitan bernapas. Helen mengusap-usap punggungnya.

"Kamu sudah siap untuk bercerita?" tanya Helen.

Milly mengangguk. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu mulai bercerita. Ia bercerita saat ia bertemu Celia di bazaar, saat Celia membodohinya dengan mengatakan segala bualannya tentang Nick. Ika terkesiap, Helen mencibir.

"Semua perkataan Celia itu bohong. Kamu tidak usah percaya. Dia kan siluman rubah," kata Ika.

Milly berusaha untuk meyakini apa yang dikatakan Ika. Lalu ia menceritakan tentang tawaran bisnis Charlos.

"Waw! Itu hebat sekali, Mil," kata Helen. "Kita akan untung besar. Klien kita pasti akan bertambah. Sebentar lagi musim menikah. Kita bisa membuat brosur baru saat nanti pameran untuk paket pernikahan di Golden Ring. Itu benar-benar ide yang sangat brilian."

Milly hanya mengangguk tanpa gairah. Ika menatapnya bingung.

"Kalau memang begitu, seharusnya itu berita yang menyenangkan. Kenapa kamu sampai sedih begitu, Mil?" tanya Ika.

Setetes air mata berhasil meluncur di pipi Milly. "Setelah aku berbicara dengan Charlos, aku hendak mencari Nick. Tanpa sengaja, aku mendengar percakapannya dengan Rissa." Milly kembali tersedu-sedu.

"Memangnya apa yang kamu dengar?"

Milly mengatakan semua yang ia dengar, bagaimana Nick tidak pernah melupakan kenangan indah dan manis bersama Rissa, bagaimana Nick masih menyimpan perasaan sayang yang tidak akan pernah hilang untuk selamanya.

'Perasaan sayang akan tetap tinggal untuk selamanya'

Milly menutup wajahnya dengan bantal. Ingin sekali ia menjerit. Tapi ia hanya bisa menggigit bantal itu keras-keras sampai basah.

"Kenapa aku merasa kalau ... Tunggu, sepertinya ada yang salah." Ika mengerutkan dahinya, seolah sedang berpikir keras. "Dia memasak untukmu, membiarkanmu tidur di kamarnya, dia merangkulmu dengan sayang saat sarapan tadi. Kenapa dia jadi seperti itu? Tidak masuk akal."

"Tidakkah kamu tahu kalau itu namanya sandiwara," ucap Helen. "Semua pria memang sama. Mereka akan melakukan apa saja untuk membuat wanita yang diincarnya jatuh dalam pelukannya. Aku sudah pernah mengalaminya. Aku sangat mengerti bagaimana rasanya."

"Tapi kamu masih membela Efran," sergah Ika. "Kamu bilang kalau Efran adalah pria yang baik dan dewasa."

"Aku ... aku ..." Helen menunduk, kehabisan kata-kata.

"Ah sudahlah!" Ika menggerakkan tangannya. Lalu ia berbalik pada Milly. "Kamu tidak menanyakannya pada Nicholas? Apa benar dia sudah berkata seperti itu pada kakak tirinya?"

"Untuk apa aku harus bertanya lagi? Aku telah mendengarnya sendiri! Kupingku tidak mungkin salah. Aku mendengarnya dengan suara yang sangat sangat jelas. Mau mengelak apa lagi?"

"Tapi setidaknya kamu harus meminta penjelasan darinya. Kenapa dia melakukan semua itu kalau dia terlihat sangat bahagia saat bersama denganmu?" Ika menatap Milly tak sabar.

"Itu semua kebohongan, Ika," sahut Helen. "Nicholas sudah berhasil mendapatkan apa yang diinginkannya."

"Memangnya apa yang dia inginkan?" tanya Ika bingung.

Next chapter