webnovel

CH. 6 - Desa Totsukawa

Hampir dua jam lamanya Akira menerobos kegelapan malam pekat. Ditemani dingin menyumsum yang meresap melalui pori – pori pada lapisan epidermis. Kedua tangannya secara alami bersedekap untuk memberi rasa hangat di sekitar tubuhnya.

Ekor matanya menyapu setiap ruang di pesisir hutan yang masih tampak remang – remang. Terlihat sangat sunyi. Akira tidak melihat satu orang pun dalam perjalanan sepi menuju desa Totsukawa.

Selama pengamatannya sepanjang jalan, Akira tidak menemukan bekas jejak kaki yang menunjukkan bahwa daerah itu pernah dilalui sebuah pasukan atau sekelompok orang. Dia menjadi sangat yakin desa Totsukawa akan baik – baik saja dan terhindar dari kehancuran.

Fisik Akira yang sudah terkuras energi, ditambah kerongkongan kering membuatnya tak bisa fokus dan berjalan cepat. Wajahnya pucat pasi. Demikian juga bibirnya memucat. Tangannya yang saling bertumpuk di depan ulu hati tak bisa menyembunyikan rasa gemetarannya. Penglihatannya menjadi kabur.

Dengan kondisi yang begitu buruk, Akira tetap memaksakan diri untuk melangkah. Dalam cakrawala alam bawah sadarnya, terlukis samar desa Totsukawa yang tentram dan damai. Desa yang menjadi tempat bermain sejak kecil.

Tak sampai setengah jam berlalu, kakinya yang lunglai tak mampu lagi menopang badan Akira. Langkahnya seakan menyeret di tanah. Sesekali terdengar cuitan hewan malam sekadar membuat kejut matanya agar tak terpejam.

Rasa lelah menyisir ke sekujur tubuhnya. Seperti sedang mengabsen satu per satu. Mulai dari kaki hingga ujung rambut seolah saling bergantian meminta dirinya untuk beristirahat sejenak. Akira sempat tak menggubris protes keras yang dilayangkan anggota badannya.

Karena tak kuasa bertahan, tubuhnya ambruk serupa slow motion. Kesadarannya melemah diiringi penglihatan yang menutup pelan – pelan. Hingga akhirnya jatuh tengkurap di tengah jalan tanah yang gulita, tapi dia masih sedikit menyisakan kesadaran.

Akira kembali bangkit kepayahan dan masuk ke dalam hutan melewati semak ilalang. Dia mencari sesuatu yang bisa diminum sekedar membasahi kerongkongan. Dia juga mencari tempat yang pas untuk bermalam dan memutuskan untuk melanjutkan besok pagi saja.

Enam jam kemudian, Akira terbangun dari tidur lelapnya. Cukup lama dia memejamkan mata. Badannya sudah terasa lebih segar dan cukup tenaga dari sebelumnya.

Saat pertama kali membuka mata, dia melihat horizon di akhir malam, bersama kelap kelip bintang yang muram karena sebentar lagi matahari akan menggantikan tugas mereka. Dilihat dari sisi manapun, dia menduga saat itu pukul setengah lima pagi.

Tak jauh dari tempatnya bermalam, Akira menemukan sebuah mata air yang mengalir jernih masuk ke dalam hutan. Padahal, dia sangat yakin semalam sudah berkeliling tetapi tak menemukan genangan air dan semacamnya di sana.

Setelah merasa cukup dengan bekal air yang dibawa dari tempat itu, Akira melanjutkan perjalanan. Pancaran mentari pagi yang menyeruak melalui sela – sela dedaunan pohon menjulang seperti sinar laser. Akira yakin dirinya akan sampai ke desa Totsukawa dalam waktu kurang dari sejam.

Jauh di depan jalur yang akan dilaluinya, Akira melihat sesosok siluet berjalan berlawanan dengannya. Orang itu semakin mendekat. Akira sempat berpikir mungkin orang itu adalah pengembara. Tatapannya memandang fokus lurus ke depan.

Setelah orang itu cukup dekat, kira – kira hanya beberapa jengkal saja, Akira mendekati dan hendak bertanya sesuatu. Dia berlari kecil, lalu berkata dengan ramah, "Maaf.. apakah jalur ini benar mengerahkan ke desa Totsukawa?"

Pria itu hanya mengangguk, kemudian menoleh ke belakang dan membentangkan tangan kananya. Telunjuknya terbuka dan memberi arah jalur yang lebih dekat. Orang itu berkata bahwa jika Akira melewati jalan yang saat ini diambil, kemungkinan dia harus memutar melawati tebing curam.

"Sebaiknya Tuan hati – hati. Belum lama ini, perkampungan itu diserang oleh sekelompok orang dengan persenjataan berat. Beberapa kabar yang beredar, kampung itu lenyap."

Akira mendengarkan dengan seksama.

Pria asing yang baru saja ditemui Akira menceritakan tidak terlalu detail, tetapi Akira sudah tergambar bagaimana kondisi terkini kampung itu yang diceritakan luluh lantak. Akira sendiri tidak seratus persen percaya begitu saja.

"Terima kasih untuk informasinya."

Untuk diketahui bersama, informasi di zaman itu adalah sesuatu yang mahal. Biasanya, jika bertanya kepada sesama ninja, mereka tidak akan memberikan secara cuma – cuma. Biasanya mereka akan meminta pengganti sepadan sebagai barter informasi.

Tetapi orang – orang biasa tidak mungkin berani melakukan hal semacam itu kecuali dia orang berada atau memiliki pengaruh.

Informasi dari pria asing itu membuat tekad Akira semakin kuat. Dia tak sabar segera kembali ke kampung halamannya.

Akira ingin menggunakan teknik teleportasi, tetapi dia tak bisa merasakan segel khusus yang menjadi penghubung teknik itu. Dengan fakta tersebut, Akira harus berjalan beberapa kilo meter lagi.

Dia menoleh ke belakang tanpa aba – aba. Pria asing yang tadi ditemuinya sudang menghilang di balik kabut pagi. Meski sebelah hutan tersebut adalah tanah lapang yang luas, tetapi asap alami membatasi jarak pandang.

***

Selamat Datang di Desa Totsukawa.

Begitu huruf – huruf yang ditulis menjadi beberapa rangkaian kata yang menunjukkan telah memasuki kawasan Desa Totsukawa. Tulisan itu berada pada gapura depan yang pada salah satu sisinya sudah hancur.

Desa Totsukawa adalah salah satu desa yang makmur di bawah kendali Fujiwara. Lokasinya yang dekat dengan benteng membuat desa itu menjadi penyuplai utama hasil pertanian, perkebunan, dan peternakan.

Di belakang desa Totsukawa, membentang luas padang sabana. Rerumputan hijau nan asri seluas mata memandang. Hewan – hewan ternak berkeliaran sesuka hati. Sementara di sebelah timur, berdiri kokoh bukit kecil yang dijadikan sebagai tempat perkebunan teh.

Asap melayang – layang tipis tak beraturan membumbung ke udara dari bekas rumah – rumah yang terbakar. Kabut pagi menyelimuti. Tidak ada satupun yang selamat dari bola api manjanik yang dilesakkan pasukan Oda dalam sepekan terakhir. Hampir semua rumah rata dengan tanah.

Juga puing – puing bangunan berserakan tak berbentuk lagi.

Beberapa mayat tergeletak begitu saja di pinggir jalan, di depan rumah, di halaman belakang. Suasana sangat kacau dan tidak lagi menunjukkan ada tanda – tanda kehidupan di perkampungan itu.

Yang lebih menyedihkan adalah beberapa mayat tergantung pada tiang – tiang yang berdiri di lapangan. Juga kepala – kepala manusia yang ditancap pada tombak. Darah segar mengalir bebas pada kayu tombak hingga alas.

Jalanan tak karuan. Banyak lubang bekas bola – bola api yang dilempar menggunakan manjanik. Orang yang menyaksikan langsung pasti akan mengatakan bahwa tak akan ada orang, apalagi rumah yang selamat dari serangan membabi buta itu.

Ketika matahari mulai menyingsing, Akira sampai di dekat desa Totsukawa. Awalnya dia sempat tak mengenali bahwa tempat itu adalah Totsukawa. Dia pikir tempat itu adalah pedesaan lain bekas peperangan, dan perlu beberapa waktu lagi hingga sampai ke Totsukawa.

Dia baru menyadari saat berdiri tepat di depan gapura desa. Meski tulisan pada gapura itu sudah hilang sebagian, Akira bisa membaca jelas kalimat 'Totsukawa' yang tersamar oleh debu dan cipratan darah.

Akira mengeryitkan dahi memandang tulisan itu yang tampaknya membuka kenangan lama. Saat itulah Akira tersadar bahwa di kampung itu, Takeda, paman sekaligus guru bela dirinya berada. Di sebelah kanan terdapat papan informasi yang bertuliskan 'Tamu Harap Lapor 2 x 24 Jam" menggunakan tulisan Hiragana.

Dua menit kemudian, Akira sudah berada di balik gerbang desa, melangkah tergesa – gesa di jalan sepi. Kanan – kiri berdiri bangunan permanen yang telah porak – poranda. Hancur lebur. Sangat mustahil membangun kembali desa itu. Semakin jauh Akira masuk ke pedalaman, semakin dia membayangkan kejamnya serangan Oda.

Bau anyir dan menyengat dari mayat – mayat warga desa yang membusuk, telah merusak kenyamanan hidungnya di pagi hari. Menusuk tajam pada indera penciuman. Angin senyap berembus searah langkah kaki Akira, meringankan beban yang harus ditanggung hidungnya.

Di sebelah timur, di kejauhan, di puncak sebuah bukit kecil, langit berbinar oleh kubah samar hasil polusi cahaya pagi.

"Pasukan Oda," kata Akira berbicara pada diri sendiri sebelum langkahnya semakin jauh ke dalam desa. "Kali ini, tak akan kumaafkan semua perbuatan kalian."

Tangannya mengepal kuat, ingin segera membalas dendam. Tapi saat ini, dia tak punya kemampuan untuk mengalahkan pasukan Oda.

"Paman.. Paman Takedaa."

Sekoyong – koyong suara Akira terdengar keras, nyaring memanggil – manggil nama pamannya. Menggema pada ruang terbuka yang senyap. Jantungnya berdebar kecang sekali, penuh pengharapan. Jelas dalam pikirannya, Takeda tak akan mati dengan mudah. Takeda adalah seorang ninja yang memiliki kemampuan di atas dirinya.

Mata Akira menatap tajam lurus pada seonggok daging terbungkus pakaian tergantung di tiang besar. Akira mengenali pakaian itu. Jaraknya beberapa meter. Akira berlari menuju tubuh yang sudah menjadi mayat dan mulai membusuk itu.

Dia kenal mayat tergantung itu adalah Takeda, pamannya. Luka sayatan dan memar di wajah orang itu tak membuat Akira bingung. Satu hal yang membuatnya yakin adalah cincin hitam bertuliskan 'Aku Takeda' menggunakan huruf hiragana, melingkar bebas di jari manis tangan kirinya.

Dengan gemetaran, Akira pun memotong tali itu dengan kunainya, dan langsung menangkap tubuh Takeda. Bau busuk yang menyengat tak membuatnya jijik. Takeda harus disemayamkan secara layak, sebab selama ini pamannya telah membesarkan dirinya dengan penuh kasih sayang.

Dia tak ingin larut dalam kesedihan, tetapi air matanya berkata lain. Sudut kelopak matanya mengembang, meneteskan setitik demi setitik air bening yang membasahi pipinya.

Dipeluknya tubuh yang sudah pucat itu dalam pangkuannya. Dipandanginya wajah pucat membiru dengan nanar. Dia tak menduga pamannya akan dibunuh secara keji.

Seketika, benaknya berputar mundur, Akira membayangkan apa tindakan yang sekiranya bisa dia lakukan dengan cara berbeda. Empat bulan silam, pada suatu malam diguyur hujan di Totsukawa, Takeda pernah mengatakan tentang jalan kebaikan dan orang – orang yang berhati suci.

Ketika itu, Takeda menceritakan tentang Tanabata, kisah yang berasal dari legenda Tiongkok bernama Qixi yang dibawa ke Jepang pada abad ke delapan masehi, menceritakan tentang kisah sepasang kekasih.

Putri Orihime, seorang penjahit yang sedang menenun pakaian indah di tepi sungai di surga menjadi simbol bimasaktinya. Orihime yang berkerja keras menenun pakaian indah menjadi sedih dan putus asa karena tidak pernah merasakan jatuh cinta.

Mengetahui hal itu, Dewa Langit (ayah Orihime) mengatur Orihime agar bertemu dengan Hikoboshi, seorang penggembala sapi yang tinggal di bimasakti lain.

Keduanya langsung jatuh cinta dan menikah. Cinta dan pengabdian mereka begitu dalam sehingga Orihime berhenti menenun dan Hikoboshi membiarkan sapinya berkeliaran di surga.

Ayah Orihime menjadi marah dan melarang para pasangan kekasih untuk bersama, tetapi Orihime mohon padanya untuk mengizinkan mereka tetap tinggal.

Dewa Langit yang begitu menyayangi putrinya kemudian luluh dan memutuskan untuk mengizinkan sepasang kekasih bertemu satu tahun sekali, pada hari ketujuh bulan tujuh dengan syarat, Orihime harus kembali menenun.

Di hari pertama Orihime dan Hikoboshi dapat bertemu, mereka terhalang oleh sungai (bimasakti) yang sulit dilewati. Orihime yang menjadi sedih ditolong sekawanan burung magpie dan membuatkan jembatan untuknya.

"Cinta, kesetiaan, serta pengorbanan. Tiga hal yang mutlak dalam setiap impian untuk membangun masa depan yang damai. Ingat baik – baik dan jadikan itu sebagai jalan ninjamu, Akira."

Sayup – sayup suara Takeda seperti berbicara dalam jiwa Akira. Dia serupa terperangkap dalam euforia malam empat bulan yang lalu. Lamunannya buyar ketika beberapa orang penunggang kuda memasuki desa Totsukawa.

Dengan cepat, Akira bersembunyi di balik tembok yang masih setengah berdiri di sisi tiang gantung. Mayat pamannya digeletakkan terngkurap, berjaga – jaga, khawatir orang – orang tersebut mengenalinya. (RS)

Next chapter