webnovel

Arka mencalonkan diri

"Mimpi apa gue semalem? Jadi isunya lo jadi ketua kelas itu bukan hoax doang, ya?" pekik Melisa saat mendapati Arka yang masuk ke ruangan osis dan mengambil posisi duduk tepat di hadapannya.

Bangkit dari kegeramannya, Melisa pun lantas menarik Arka untuk menepi dari kerumunan siswa lain.

Lihatlah, bahkan hanya Arka yang berani memasuki ruangan keramat ini dengan baju seragam yang bagian bawahnya menyembul keluar, dasi melorot, kancing baju terbuka sampai dengan tiga teratas, dan parahnya dengan keadaan lusuh di bagian dada. Pria kekanakan itu habis berguling di lantai koridor mana sampai sebegitu kumalnya? Melisa bahkan di buat malu setengah mati saat lebih banyak orang mengenal mereka sebagai saudara.

"Lo bisa pergi sekarang, dan gue yang masih berusaha berbaik hati ini nggak bakalan ngelaporin tampilan badung lo ini ke tatib."

Melisa memberikan ancaman, namun apa peduli Arka? Pria itu hanya memutar bola mata dan sedikit membenahi diri, yang kemudian menggeser posisi Melisa yang menghalanginya.

"Lo budek ya? Gue bilang pergi, Ar!" Melisa yang mulai geram, lantas menyentak bahu Arka yang sudah malah kembali pada posisi duduknya.

"Ngapain gue harus nurut sama ucapan lo? Lagian gue di sini karena punya kepentingan juga, kali." bisik Arka tepat di telinga Melisa, tak ingin lebih banyak orang menjadikan keributan antar saudara seperti mereka menjadi pusat perhatian.

"Jangan ngada-ngada!"

"Ngapain lo sampek ragu? Nggak liat bibit-bibit kepemimpinan gue sejak awal, ya?"

"Nggak bisa bedain sama seenaknya sendiri, ya?"

"Sialan! Kenapa gue punya sister modelan nenek lampir kayak lo, dah? Untung aja gue sabaran orangnya."

"Sialan!" Melisa mengumpat, karena lebih sering ia yang hilang kata saat harus berdebat dengan Arka.

Memijat pelipisnya yang seketika berdenyut menyakitkan, yang parahnya lagi pandangannya malah menangkap ketidakkondusifan di luar ruangan pula. Kawan-kawan pria itu jelas tak lepas dari kepala. Bersikap berandal urakan, yang tanpa sungkan membuat lelucon dan mengganggu ketertiban dengan terbahak terbahak. Apa pula dengan celingukan di jendela?

"Pakek segala bawa komplotan, sebenernya tujuan lo ke sini buat ngerusuh doang, ya?"

"Nih, ngomong ma pantat gue!" Arka mengejek dengan caranya menepuk pantat.

"Sialan!"

Arka tersenyum girang, saat mendapati kemenangannya berdebat dan membuat Melisa pergi dengan raut penuh kekesalan.

Rapat pun di mulai, dengan pembicara dari ketua Osis. Kelas dua belas yang di haruskan bebas dari jabatan yang di emban supaya lebih terfokus pada lembar ujian berulang yang sudah siap menanti.

"Lo pilih nyalonin siapa, Ar?" bisik Fahmi yang duduk di samping Arka. Dua perwakilan dari masing-masing kelas di haruskan menulis satu nama yang bakal di calonkan menjadi kandidat ketua Osis.

"Nggak tau, asal nulis aja," balas Arka sengit, pasalnya Fahmi mengganggu konsentrasinya yang tengah asik memandang Nino.

"Oh, kalo gue kak Melisa, sih! Udah orangnya cakep, senyumnya manis, ramah, nggak sombong, lagi."

Melisa lagi, Melisa lagi...! Kenapa akhir-akhir ini selalu menyangkut tentang wanita itu, sih?!

"Lah, lo tuli ya? Mereka bilang yang punya kecakapam khusus dan bisa memimpin dengan baik."

"Menurut gue, kak Melisa udah yang paling sempurna. Pegang ucapan gue, Kak Melisa bakalan maju jadi kandidat dengan saingan terberatnya kak Nino."

... Eh, tapi ngomong-ngomong mereka berdua cocok juga, ya? Kayaknya emang udah banyak yang bicarain mereka, deh! Yang satunya ganteng, atletis, pinter. Yang ceweknya cantik, lemah lembut, pinter. Best couple, pasti."

Awalnya Arka berusaha menulikan pendengarannya, namun Fahmi yang bicara makin bersemangat membuatnya dongkol bukan main.

"Siapa yang bilang mereka bakal jadi couple? Gue bakal pastiin itu nggak akan mungkin terjadi."

Arka berikrar tentang itu. Membuka kembali sobekan kertas kecil yang bertuliskan, "Nino" di sana. Mencoretnya, yang kemudian Arka menulis namanya sendiri di kertas. Ingin menjadi kandidat yang setidaknya bisa duduk di sisi Nino di depan seluruh siswa.

"Untuk mempersingkat waktu, kita akan sama-sama membuka kertas yang telah kalian tuliskan satu nama. Saya harap selera kalian bisa sebagus cerminan dari kepemimpinan saya," ucap sang calon mantan osis dengan begitu percaya dirinya. Tak ada yang bereaksi, hanya Arka yang berani mencebik dan berdecih, "Cih, pedenya selangit."

"Nino."

"Nino."

"Melisa."

Mulai menyebut nama dari kertas yang terkumpul. Sebagian besar dari mereka sudah optimis mengenai dua nama yang hanya di sebutkan sedari awal. Bahkan peserta lain sudah siap beranjak dari duduk mereka dan lekas beranjak pergi, kalau saja pria dengan usia paling senior itu tak mengerutkan dahi dengan usaha penuh menerka tulisan dari kertas terakhir.

"A-... An? Ar-?"

Sialan. itu namanya pelecehan. Memangnya seburuk apa tulisan Arka sampai-sampai sulit untuk di baca?

Menepuk dahi, Arka lantas menyikut lengan Fahmi dengan memberikan kode mata.

"Arkana kali?"

"Eh, itu kan nama gue? Siapa yang ngajuin, ya? Padahal gue nggak pantes banget buat sekedar jadi kandidat, loh...!" Arka pura-pura terkejut, misinya berhasil, kan?

.

.

.

"Woy, coblos Arka! Kalo nggak... Lo bakalan ngelewatin masa sepahit mungkin selama di sma."

Sekarang saatnya ketiga kawan Arka menguji diri atas kesetiakawanan mereka. Berdiri menjadi garda terdepan, dan siap sedia berdiri di belakang dengan menunjukkan dukungan.

Brian, Zaki, dan Yuda mulai berkeliling sekolah, menyatroni per kumpulan dari para murid dan membuat ancaman serius.

Hanya satu tingkat setara merekalah yang di sasar, mereka masih belum sempat cek ombang mengenai karakteristik kakak tingkat. Hanya berjaga-jaga, tak ingin lebih dulu membuat perkara sebelum acara pemilihan ketua osis berakhir.

Empat orang gadis yang berkumpul di koridor depan kelas X Ips 1 pun juga di datangi. Tak lupa memberikan ancaman serupa berusaha menundukkan.

"Kita-kita pasti bakal dukung kok. Lo tenang aja."

Nah, respon cepat begini yang mereka inginkan. Ketiga bahkan sudah bersiap melenggang pergi dengan meninggalkan acungan jempol kalau saja gadis lain ikut menimpali.

"Tau pasti kalo kita-kita pendukung fanatiknya BrianArka, kan?"

"Heh? Maksudnya gimana? Jadi kalian cuman ngidolain Brian sama Arka aja, gitu?" Yuda mulai bersuara sengit.

"Eh, nggak-nggak. YudaZaki juga lucu, kita mulai ngefans, kok!"

"Nah, gitu kan enak. Jangan lupa ngomporin yang lainnya supaya ngefans geng kita, ya. Geng onani meper."

"Kyaa..." Keempat gadis itu mulai berteriak, mengiringi langkah kepergian para pria yang jelas menangkap maksud berbeda dari teriakan histeris itu.

Waktunya Farhan, si pria culun yang sukanya menyendiri di dengan bacaan bukunya. Brian mengatasinya sendiri, menyabet pusat perhatian pria itu dan mengalihkan tatapan sendu ke arah dengan paksa.

"Yo harus pilih Arka, nanti."

"Kenapa begitu, Bri? Harusnya kan pemilihan harus lu-ber-jur-dil. Nggak boleh pengaturan, apalagi pemaksaan."

"Ye... Segala pakek protes, mau jadi contoh buat yang lain lo, culun?"

ตอนถัดไป