Happy valentine yaaa..
Dapat apa nih dari pasangan?
jangan lupa vote dan komen.
This part is sepecial.
~~~
Huwekkkk
Liana memuntahkan semua isi perutnya di wastafel kamarnya? Kamar ini berbeda dengan kamar hotelnya.
"Nona?"
Beberapa kali pintu terketuk dan Liana tau betul siapa pemilik suara itu. Jerix.
"Nona?"
Berisikk.
"Apa!"
"Anda baik saja?"
Bodoh, jelas-jelas kamu denger aku muntah tadi.
"Ya!"
Liana menatap dirinya dari pantulan cermin wastafel. Wanita itu menghirup oksigen sebanyak-banyaknya sebelum bergerak menuju sisi ujung kamar mandi.
Liana mulai menanggalkan seluruh pakaiannya dan segera berdiri di bawah shower dengan air yang meluncur membasahi seluruh kulitnya.
"Jerix?" Liana berbisik saat dia membuka pintu kamar mewah itu, "Ini dimana?" sambungnya.
"Rumah Ayah Anda, Nona."
Liana membulatkan bibirnya. Jelas ini rumah Papanya. Bukan rumah, lebih tepatnya mansion. Lihatlah ruang perpustakaan yang baru saja Liana lewati.
Lift yang berdenting kemudian terbuka itu memperlihatkan beberapa wanita dan pria berpakaian senada. Mereka menunduk sekilas dan tersenyum ramah kepada anak dari bos mereka.
Liana menoleh memohon penjelasan pada Jerix. Tapi yang di lihat, hanya diam menatap Liana dengan wajah datar. Liana menghembuskan nafasnya dan mulai memasuki lift. Menuju lantai dasar? Kenapa ada tulisan down di lift? Liana memencet tombol itu dengan penasaran.
Pintu terbuka menampilkan beberapa kubikel-kubikel dengan orang-orang yang tengah sibuk pada komputer di hadapan mereka. Kantor? Astaga! Bagaimana mungkin Ayahnya membangun kantor di dalam rumah?!
Liana menyesal, dirinya tidak pernah pergi ke Singapura. Dia tidak terlalu tertarik dengan Negeri Singa itu.
Liana melihat enam wanita dengan setelan kantor yang 'wow' tengah saling mempertontonkan paha porselen mereka. Dan empat lelaki lainnya tengah santai membahas sesuatu yang mungkin penting.
"Nona Liana?" seorang lelaki agak tua di sana menyapa Liana membuat perhatian beberapa orang beralih kepadanya.
Hingga senyumnya luntur saat matanya bertatapan dengan Dafa dan Leon.
Liana berbalik, tentunya dengan Jerix yang masih mengekori Liana.
"Jerix? Kenapa kau membawaku kemari?"
Jemari Liana memencet tombol up yang ia yakini itu adalah rooftop mansion mewah ini.
"Maaf Nona, itu perintah Master."
"Kau tau Leon? Anak Papa juga."
"Iya Nona," Jerix mengangguk dengan kaki yang melangkah mengikuti Liana menggenggam tralis yang menjulang tinggi di atas rooftop, "Tuan Leon semalam ingin membawa Anda tetapi saya tak mengizinkan."
"Bodoh," Liana berbalik dan memukul lengan kekar Jerix "Kenapa tak kau biarkan saja"
Jerix diam.
Wajahnya datar.
Matanya memandang ke lain arah selain Nona-nya.
Liana menggeleng melihat wajah datar Jerix dan kemudian mendaratkan bokongnya untuk duduk menghadap Singapura di siang hari.
Menikmati angin yang berhembus pelan dengan Jerix yang senantiasa berdiri di belakangnya.
"Merindukanku?" Liana menoleh sekilas dan mengembalikan pandangannya.
"Liana?"
Liana?
"Aku ke sini mau minta maaf soal masalah waktu itu"
"It's okay. Lagian aku sudah mempunyai someone"
"I see," Liana melirik gadis yang sedang menempelkan payudaranya di lengan Leon, "wish you happy."
Liana berdiri - menatap Leon dengan senyum manisnya dan melangkah pergi dengan hati yang panas.
Jerix mengekori Nona-nya, ia sempat menoleh dan tersenyum miring kala Leon melepaskan pelukan gadis itu pada lengannya.
"Temani aku ke toko oleh-oleh" Liana menggeret kopernya - meletakkannya di hadapan Jerix.
Tidak ada yang perlu di kemas. Kopernya masih rapi. Liana hanya mengenakan dress berwarna peach dengan flora yang memenuhi dressnya dan sepasang ankle boots berwarna merah.
Liana memberikan kemeja berwarna senada dan celana santai selutut untuk Jerix kenakan.
Tanpa bantahan, Jerix mengganti pakaiannya di dalam kamar Liana atas ijin Nona-nya itu. Sementara Liana telah menuruni lift menuju lantai satu dan berhenti tepat di pintu masuk mansion mewah ini.
"Mbakk" Liana menoleh dan mendapati Dafa tengah setengah berlari menghampirinya, "Mau kemana?"
"Balik lah"
"Balik?"
Liana mengangguk dengan semangat dan tersenyum melihat wajah Dafa yang kebingungan.
"Sudah ketemu Leon?"
"Sudah"
"Terus, kok balik?"
Liana mengerutkan keningnya, "Terus? Aku ngapain lama-lama disini Daf? Leon udah nemu yang baru kan?"
"Yang baru?" kali ini Dafa mengerutkan keningnya. Dia berpikir sejenak sebelum Liana menepuk bahunya dan terlihat seorang lelaki berperawakan tegap tengah menunggui Liana.
Ck. Dasar Leon stupid!!
Dafa hanya tersenyum dan melambaikan jemarinya kala mobil Liana menjauh dari mansion itu.
Ntar udah hilang baru nyesel setengah mampus.
Dafa tersenyum licik dan terkekeh pelan sebelum menggelengkan kepalanya mengingat bagaimana gilanya Leon terhadap Mbaknya itu.
Dan sekarang? Leon sok-sokan ingin menolak? Dafa tersenyum, we will see.
~~~
Liana terpekik tertahan saat tubuhnya di himpit oleh seseorang ke tembok kosong di sebelah rak souvernir berisikan topi.
"Mas" suara Liana sangat lirih seperti hembusan angin malam.
"Kenapa kamu abaikan panggilanku Liana? Kamu tau aku sangat frustasi!" Abimanyu mengelus lembut bibir Liana yang menjadi candunya.
"Aku menginginkanmu" Liana menggelengkan kepalanya dengan mata yang mulai memerah.
"Mas, Papa menolak hubungan kita. Ak-aku gak bisa lanjutin ini"
Abimanyu mengelus rambut Liana dan terhenti di leher Liana. Dari jarak sedekat ini dia bisa menjadi gila dan terbakar begitu saja dengan gairahnya.
Liana menutup matanya saat kesadarannya mulai hilang karena suntikan bius yang diberikan Abimanyu.
Abimanyu menggendong tubuh Liana dengan mudahnya dan tersenyum kepada Sam saat asistennya itu membukakan pintu belakang toko itu.
"Nona?" Jerix mengitari toko itu dan belum berjumpa dengan Nona-nya itu.
Hingga mata Jerix menatap cokelat yang tercecer di lantai serta sling bag berwarna pink pastel milik Nona-nya itu.
Shittt!!!
Jerix merogoh ponselnya di dalam saku dan menelepon Kepala Asisten yang bernama Tuan Fero.
"Bos, Nona di culik"
~~~
Seorang wanita sedang terbaring di atas kasur mewah dengan tangan yang terikat di kepala ranjang dan kedua kaki yang juga terikat. Wanita itu membuka matanya pelan saat merasakan keram di sekitar punggungnya.
Dia ingin menggerakkan tangannya, tapi tertahan. Matanya di paksa terbuka dengan keterkejutan yang melewati batas.
Tangannya ia gerak-gerakkan agar terlepas dari ikatan sialan itu. Tapi tidak bisa. Kakinya? Kakinya di tahan dengan entah apa namanya ia tak tau.
"Sudah bangun?" suara berat yang amat dia rindukan itu membuatnya menoleh.
Mendapati Abimanyu tengah duduk santai di atas sofa berwarna hijau.
Liana tidak menjawab. Matanya menatap sendu kepada Abimanyu. Mengapa harus seperti ini? Tidak perlu di ikat, dia tidak akan lari jika itu dengan Abimanyu.
Kasur yang Liana tiduri bergerak saat Abimanyu duduk di sebelah Liana.
Jemari Abimanyu mengelus setiap inci wajah Liana, "Aku terobsesi denganmu, Liana"
"Jangan menangis, oke?" Abimanyu menyapu air mata Liana yang mengalir membasahi pelipis dengan ujung jempolnya.
"Kenapa begini?" suara Liana terdengar bergetar.
Abimanyu membuka kemejanya mempertontonkan kulitnya yang ditumbuhi rambut halus di sekitar dada.
Pikiran Liana menerawang menuju hal yang ia takutkan. Tidak mungkin Abimanyu ingin memperkosanya kan? Oh Tidak!! Liana ketakutan setengah mati. Dia masih bersegel.
"Jangan Mas. Jangann" Liana meronta saat Abimanyu mulai menciumi wajahnya. Tangan lelaki itu menggerayangi tubuh Liana membuat wanita itu semakin menangis.
Abimanyu menyingkap dress Liana hingga memperlihatkan kulit mulus Liana. Jemari Abimanyu menelusup ke dalam inti Liana membuat Liana merasakan perih.
"Aku tau kamu masih perawan, Li. Aku tau ketiga anakmu bukanlah anak kandung" Abimanyu meremas payudara Liana dengan kasar.
Liana menangis. Sakit hatinya akan perlakuan Abimanyu menimbulkan perasaan benci untuk pria ini.
Liana menutup matanya kala suara desingan peluru memenuhi gendang telinganya.
Di lihatnya Abimanyu meringis memegangi betisnya yang mengeluarkan darah.
Abimanyu mengambil pisau mini di laci nakas dan mengerahkannya di sepanjang leher Liana.
Liana terkejut. Dia hanya bisa menggelengkan kepalanya tak mampu lagi bersuara.
"Jangan mendekat," satu tangan Abimanyu menunjuk orang-orang berpakaian hitam itu, "Atau ku bunuh Nona kalian."
"Abimanyu, lepaskan Liana."
Abimanyu menyeringai ketika melihat Leon muncul dari balik kerumunan orang itu.
"Ambil dia jika kau bisa"
Abimanyu menancapkan pisaunya di atas tulang selangka Liana membuat wanita itu teriak tertahan.
Darah memenuhi wajah Liana saat Leon menarik pelatuknya untuk menembak Abimanyu.
Liana melihat Jerix berlari ke arahnya, melepaskan ikatan tangan dan kakinya.
Jerix memperbaiki letak bra Liana dan menurunkan dress Nona-nya itu dengan pandangan kasihan.
"Biar aku saja"
Tangan Jerix terhenti saat ia ingin menggendong Nona-nya itu.
Leon menggantikan posisi Jerix. Tubuh Liana sudah lemas karena terkejut dengan perlakuan Abimanyu.
Liana dapat melihat Leon yang begitu seksi dengan jas yang terbuka dan kemeja putih yang keluar dari tempatnya.
Noda darah membekas di kemeja Leon. Wajahnya yang panik membuatnya semakin tampan. Rambutnya yang mulai memanjang menutupi matanya membuat jemari Liana tanpa sadar menyibak helaian rambut itu.
Leon menatap Liana yang berada dalam gendongannya, mengecup bibir indah itu sekilas sebelum Leon melajukan kakinya menghampiri mobil yang menunggunya.
"Bertahanlah sebentar"
Liana menggelengkan kepalanya, jemarinya masih mengelus rahang Leon.
"Cepat!!" Leon meneriaki supir yang menurutnya kurang laju membawa mobil itu.
"Aku sayang kamu, Leon"
Leon menunduk, menatap Liana. Wanita itu mengalungkan tangannya ke leher Leon untuk bangkit dan duduk menatap mata Leon yang mulai memerah.
Leon mengecup lembut bibir Liana. Mata Liana mulai sayu. Darah ditubuhnya tidak bisa berhenti keluar walaupun Leon sudah menekan luka itu dengan jasnya.
Sebelum kesadaran Liana hilang, dia masih bisa mendengar Leon berkata "I love You, Liana. I love You, Mbak"
Selamat hari libur bagi yang menjalankan 🤣🤣🤣🤣