webnovel

Bab 02. Nero d'Alova

Menenteng kado dan kotak berisi kue ulang tahun yang telah ia siapkan, berjalan tanpa arah dengan tatapan kosong.

Hujan kembali mulai membasahi bumi, seperti ikut merasakan sakit yang dialaminya, meskipun tidak sederas sebelumnya tapi itu sudah cukup untuk membuat pakaiannya basah kuyup.

Anna berjalan menyusuri trotoar tanpa memperdulikan guyuran hujan dan pandangan beberapa orang yang masih berkendara lalu lalang seakan akan menelanjangi diriya, teriakan tertahan yang ia pendam sedari tadi kini pecah, ia berteriak dan menangis sejadi-jadinya dibawah guyuran hujan. Tangisan pedihnya bercampur rinai hujan, bersatu padu membentuk simfoni penuh pilu, segala kenangannya bersama Brian berputar seperti kaset rusak di kepalanya.

Berada dalam poisisi itu selama beberapa menit, menumpahkan segala hal yang dirasakannya. Kehilangan Ibunya di usia muda, ditinggalkan Ayahnya dan sekarang Kekasihnya yang merupakan tempat terakhirnya berkeluh kesah mengkhianatinya.

Anna menjadi sadar, bahwa sejak awal ia memang sudah sendiri.

Hujan mulai reda, udara malam hari yang sepertinya sudah mencapai titik terendah menyadarkan Anna akan sesuatu yang semakin membuat hatinya sakit.

Apakah selama ini ia hanya dimanfaatkan?

Apakah Brian hanya berpura-pura padanya?

Pikiran-pikiran itu seketika membuatnya kembali ingin berteriak histeris.

Bekerja siang malam hanya untuk melunasi hutang dan membiayai pendidikan Brian bukan sesuatu yang mudah baginya, terlebih di usianya yang masih sangat muda.

Anna kembali melanjutkan langkahnya gontai, pakaiannya yang sudah basah kuyup tidak membuat langkahnya terhenti sedikitpun. Angin bertiup perlahan membawa aroma khas hujan.

Entah apa yang ada dalam pikiran gadis itu, langkahnya berhenti tepat di depan sebuah bar.

Tanpa ragu sedikitpun, Anna memasuki bangunan itu, dua orang penjaga meyambutnya dengan hangat tapi hanya diacuhkan olehnya.

Semua mata seketika tertuju padanya, mungkin karena pakaiannya yang masih basah dan mata sembab yang semakin memperburuk penampilannya tetapi Anna tidak peduli. ia terus saja berjalan mendekati counter desk dan duduk pada bar stool yang ada disana. Rambutnya yang panjang terlihat sangat kusut dengan sesekali butiran air menetes dari ujungnya. Ia tidak peduli jika ini adalah pertama kalinya memasuki tempat seperti ini pun tidak peduli bagaimana kacaunya penampilannya sekarang.

"Pesan apa Nona?" ucap seorang bartender yang sudah berada di depan Anna, hanya counter desk yang memisahkan mereka.

"Apa saja," ucapnya sembari mengusap matanya yang kembali ingin meneteskan butiran bening.

Tak butuh waktu lama, segelas minuman yang terlihat bening di letakkan di depannya membuatnya mendongak menghadap pria itu.

"Aku tidak meminta air mineral," kata Anna kepada pria itu.

"Cih."

Suara seorang pria yang ternyata berada tidak jauh darinya berhasil mengalihkan perhatiannya. Anna hanya berbalik melihat pria itu sekilas dan kemudian kembali berbalik menghadap pria bartender itu, toh baginya tidak ada yang salah.

"Ma-maaf Nona, ini buk..."

"Ganti! aku mau yang lain," ujar Anna memotong ucapan bartender itu.

"Ba-baik."

Bartender itu hanya menurut dengan muka memelas menahan tawa. Jika saja bukan karena aturan bar yang mengharuskan karyawannya untuk berlaku sopan kepada pelanggan mungkin sejak tadi ia sudah tertawa. Minuman itu bukan air mineral melainkan white wine salah satu minuman beralkohol yang ada di bar itu.

Suhu udara dalam ruangan ber-AC membuat tubuh Anna sedikit gemetar karena kedinginan terlebih karena pakaiannya yang masih basah.

Segelas minuman berwarna merah gelap diletakkan di depannya, aroma harum blueberry yang berasal dari minuman itu membuatnya ingin segera mencicipi. Tak butuh waktu lama Anna mulai menenggak habis minuman itu, rasanya sepat.

"Lumayan juga sebagai pemula." Suara pria itu kembali mengusiknya namun Anna memilih tak menggubrisnya.

"Lagi," ujarnya kemudian memajukan gelas kosong kepada bartender itu.

"Apakah Nona yakin? aku khawa..." belum menyelesaikan kalimatnya, Anna merebut botol bertuliskan Nero d'Alova tersebut dari tangan si bartender dan langsung menenggaknya dari botol tanpa menuangkan terlebih dahulu ke dalam gelas.

Anna tidak peduli apapun, yang ia inginkan sekarang hanyalah melupakan segalanya. Perasaan sakit hati yang dialaminya membuat kewarasannya sedikit menghilang. Ia tidak peduli jika orang-orang akan menyebutnya wanita nakal atau apapun sejenisnya, ia tidak peduli.

Cairan yang ia ketahui dari tulisan di botolnya merupakan red wine itu belum ia minum setengahnya dan ia sudah mulai pusing.

"Hei, ini untukmu," ujar Anna sambil melemparkan kotak pada pria yang duduk tak jauh darinya.

Seolah tau bahwa kotak itu sedang mengarah padanya, refleks salah satu tangannya meraih kotak itu dan meletakkannya di atas counter desk.

Apakah wanita ini sudah gila?

"Berhenti menatapku seperti itu, aku masih waras," ucap Anna kembali dengan suara khas orang yang mulai mabuk.

"Jaga barang itu untukku, atau terserah kamu saja. Tidak--tidak, buang saja."

"Tapi kalau kamu buang, maka aku yang rugi," ucapnya lagi mulai meracau dengan nada sedikit terisak.

Anna kembali menenggak isi botol itu, pikirannya sudah mulai mengambang, dan tubuhnya, ia merasakannya sangat ringan tidak seperti biasanya.

"Aku tidak membutuhkan sampah ini, buang sendiri dan jangan merepotkan orang lain," suara dingin dari pria itu kembali menggelitik indra Anna dan disaat yang bersamaan kotak yang ia berikan pada pria itu kembali dilemparkan ke arahnya dan mengenai kepalanya.

"Aduh, Sshhh.." Anna merintih.

"Heh, bahkan orang lain tak menginginkan hadiah ini," kata Anna mencoba meraih kotak yang sudah tergeletak di lantai, dengan salah satu tangannya memegang sandaran kursi yang tingginya hanya berukuran beberapa centimeter.

Dirinya sempat merasa oleng, namun karena tangannya yang berpegangan pada kursi berhasil mencegahnya terjatuh.

"Kalau begitu, ini untukmu," ucap Anna kembali mendorong kotak itu pada pria bartender yang melayaninya dengan salah satu tangan menopang kepalanya.

"Terima saja, atau aku akan menangis," tambah Anna. Butiran bening sudah lebih dulu mengalir membasahi pipi ranumnya sebelum menyelesaikan kalimatnya.

Tak tau harus bagaimana, pria bartender itu pasrah dan menerima kotak itu. Entah apa isinya ia tidak tahu.

Usai menyodorkan kado itu, semua yang berhasil dijangkau oleh pandangannya tiba-tiba berputar dan meninggalkan porosnya. Hal itu sukses membuat perasaan mual memburu dalam tubuhnya.

Perasaan dingin yang dirasakannya beberapa saat lalu kini menghilang tergantikan rasa panas, ia sangat gerah.

Menundukkan kepala pada counter desk dengan tujuan mengurangi perasaan pusingnya namun hal itu sama sekali tidak membantunya. Perasaan pusingnya semakin bertambah, dan bahkan untuk mengangkat kepala saja sudah sangat berat baginya. Namun disaat yang bersamaan, ia merasa sangat damai, sangat tenang, napasnya berhembus ringan, seperti tidak memiliki masalah apapun dalam hidupnya.

"Nona."

"Nona, apa anda baik-baik saja?" tanya pria bartender itu ketika melihat wanita yang duduk di depannya tidak bergerak sama sekali.

"Emm," Anna menjawab sekenanya.

"Nona, bisa anda memberiku nomor telepon keluarga atau temanmu, agar ia menjemputmu disini?"

"Emm," Anna kembali menjawab dengan gumaman yang tidak jelas, matanya benar-benar terasa berat. Namun indranya masih mampu mendengar jelas semua perkataan pria bartender itu.

"Dimana Handphonemu? biar aku yang mencari nomornya sendiri, kamu hanya perlu memberi tahuku namanya," ucap pria itu kembali.

"Aku sendiri," bisik Anna terdengar terisak.

"Eh?"

"Aku sendiri, aku tidak memiliki siapapun," racau Anna lagi

"Maukah kau menjadikanku istrimu?" tambah Anna lagi mengangkat kepalanya tiba-tiba untuk melihat pria itu.

"Ma-maaf?" pria bartender itu merespon kaget, meskipun ia tahu bahwa wanita di depannya sudah sangat mabuk, tetapi meskipun mabuk tak ada orang yang akan menawarkan dirinya pada orang lain secara cuma-cuma.

Hanya beberapa detik mengangkat kepalanya dan Anna sudah merasa seperti tidak berada dibumi, semua hal yang dilihatnya berputar seperti jarum jam. Bahkan ia sendiri tidak sadar dengan semua yang diucapkannya.

"Lupakan sajalah, kamu miskin," racau Anna semakin tidak jelas.

Next chapter