Bella menghela napas sembari tersenyum lega di balik pintu kamar tidurnya. Pertemuannya dengan Aron adalah pengalaman yang sangat mendebarkan, lelaki itu menuntunnya berbuat intim di depan umum dan itu sangat membuat Bella panas. Ada sesuatu yang tidak bisa disangkal di bawah sana, gadis itu basah oleh sentuhan-sentuhan mematikan Aron. Sampai detik ini dadanya masih bisa merasakan bagaimana tangan kekar itu bergerak.
Ketertarikan seksualnya yang berbeda dari orang biasa dan sangat-sangat tabu jika dijabarkan, kini mulai menemukan titik terangnya. Aron menunjukkan bahwa mereka berada di tempat yang sama, saling melengkapi dan saling memenuhi satu sama lain.
Lalu sekarang, Bella bukanlah gadis polos lagi. Ia telah melihat bahwa dirinya bukanlah gadis kecil menggemaskan seperti sebelumnya. Seseorang telah memberinya kenikmatan di bibir dan dadanya Bella sangat malu ketika teringat hal itu. Tetapi bagaimanapun Aron adalah lelaki yang baik. Ia bukanlah bosnya yang menjijikkan dan banyak bertingkah.
Bella mengedikkan bahu ketika Ia memikirkan Vincent, mereka bertemu setiap hari di koridor yang sama, di lift yang sama, dan terkadang di meja yang sama. Tetapi luka gadis itu akan perlakuan Vincent di awal perkenalan mereka takkan terlupakan oleh Bella. Mungkin Bella bisa memaafkan Vincent, tetapi Ia sama sekali tidak bisa melupakannya begitu saja. Vincent tetaplah orang yang sama yang melecehkannya di lampu merah saat Bella pergi untuk mencapai asanya.
Gadis itu menggeleng, menolak kenangan buruknya mengganggu tidurnya. Ia menyesal karena pengantar tidurnya adalah kenangan kelakuan bobrok Vincent. Andai Ia bisa menentukan jalan hidup ini, Ia mau hidupnya bahagia seperti di surga. Tapi kondisinya yang sebatang kara adalah hal yang sangat menyedihkan.
Bella bukanlah seorang anak yang berada di tengah keluarga harmonis seperti Vincent. Vincent sangat beruntung berada di tengah kedua orangtua yang utuh meski nasibnya berada di tangan mereka. Orangtua Vincent adalah pemegang kuasa atas semua yang ada pada lelaki itu. Ia dididik dengan keras hingga menjadi CEO muda yang disegani banyak orang. Ia menguasai semua bahasa internasional dan beberapa keterampilan di bidang seni dan olahraga.
Vincent adalah gambaran real pangeran impian setiap perempuan muda maupun sudah berumur. Siapakah ibu yang tidak ingin memiliki menantu seperti Vincent? Siapakah perempuan yang tidak mau disandingkan dengan Vincent?
"Hanya aku yang tidak mau dengan orang seperti dia, lelaki terkutuk dan menjijikkan," gumam Bella pada dirinya sendiri.
Ia berangkat ke kantor seperti biasa, berjalan kaki dan menikmati mentari pagi dengan suka cita. Menepis kenangan memalukan ketika melewati lampu merah, dan berjalan seperti biasa memasuki menara gading Sidomuktiningjaya. Sesekali Bella mengangguk ketika berpapasan dan tak sengaja berkontak mata dengan karyawan lain. Ia menganggap itu adalah upaya yang paling sopan di Indonesia. Tetapi ketika telinganya mendengar bisikan kecil yang sangat mengejutkan, Ia refleks mengerutkan dahi.
"Itu yang namanya Arabella."
Ia pernah mengalami ini sebelumnya, Ia seperti dejavu. Ia pernah mengalami ini sebelumnya tetapi hanya di dunia maya, ketika perang batinnya dengan Vincent membara. Tetapi kini Ia mendengar dengan kepala sendiri bahwa ada yang berbisik-bisik menyebut namanya dengan sinis. Bella menghela napas berusaha tidak peduli karena ini sangat mengganggu harinya.
Ketika Ia memasuki lift khusus yang langsung menuju ruang CEO, kekhawatirannya memuncak. Bagaimana jika Keilla dan Virra ternyata juga membicarakannya di belakang? Ah, itu tidak mungkin.
"Pagi, Bella. Kau berjalan sambil melamun," ujar Chelsea.
"Ah iya, ekhm. Pagi Chelsea," tanggap Bella dengan tergesa-gesa.
Melihat Chelsea, Ia semakin yakin bahwa orang-orang terdekatnya di kantor ini tidak membicarakannya di belakang. Bella mulai menghidupkan laptop dan membuka agenda hari ini. Melakukan tugas sesuai agenda dan beralih ke tugas lain apabila diminta Chelsea. Sesekali Bella menajamkan telinga kepada tiga orang di dekatnya.
"Bell, bisa Kau antar laporan kita ke Pak Vincent? Aku langsung menggunakan laptop karena ini belum fix," ujar Chelsea.
"Baik, Chelsea."
Sekretaris seniornya memang sangat perfeksionis, tetapi itulah yang membuat ketiga anak buahnya terpacu untuk belajar dengan keras. Bella membuka pintu ruangan Vincent dan dengan hati-hati membawa laptop Chelsea, lelaki itu tampak sedang bicara di gagang teleponnya. Kakinya dengan sangat anggun naik di meja tempat komputer dan seperangkatnya bertengger.
"Pecat semua yang membicarakan saya di belakang," ucap Vincent.
Bella bergidik ngeri mendengarnya, mungkin kali ini Vincent sedang mengambil keputusan dengan ego-nya. Tetapi Bella tidak bisa berbuat apapun, Ia hanya akan bertindak jika apa yang Vincent lakukan merugikan dirinya.
"Nanti saya lanjutkan," ucap Vincent di telepon. Lalu Ia menoleh ke arah Bella sembari mengangkat alisnya.
"Ada apa, Bella?"
"Laporan dari Chelsea," ucap Bella. Vincent menerima dan langsung memeriksanya. Tak ada komentar apapun yang keluar dari mulut Vincent. Bella berdiri menunggu apa yang harus dilakukan selanjutnya.
"Tinggal saja, aku tidak mungkin menyelesaikannya dalam satu menit. Atau kamu mau menemaniku di sini?" ucap Vincent. Satu matanya berkedip di akhir kalimat tanyanya.
"Oh tidak, Pak," Bella dengan cepat melangkahkan kakinya dari area berbahaya. Mengabaikan Vincent yang menatapnya penuh arti.
Tetapi yang justru membuat Bella berpikir berulang-ulang adalah ucapan Vincent dengan seseorang di telepon barusan. Apakah Vincent benar-benar akan memecat karyawan-karyawan di sini hanya karena mereka membicarakannya? Bukankah Vincent sudah lama tahu bahwa dirinya memang menjadi bahan gosip yang dielu-elukan setiap karyawan perempuan di perusahaan ini?
"Bella," panggil Vincent menghentikan keempat sekretarisnya beranjak dari kantor Vincent.
"Iya, Pak?" ujar Bella.
"Kau mau istirahat?" tanya Vincent.
Bella merasa jengkel karena sudah pasti Vincent akan memberinya tugas dan merampas haknya untuk beristirahat siang ini.
"Sayangnya ada berkas yang harus segera kita selesaikan dan Kau harus membantuku. Kau ingat fixasi proyek di Palangkaraya?" ucap Vincent, persis seperti dugaan Bella.
"Baik, Pak," ujar Bella dengan jeritan di kepalanya.
Ketiga sekretaris Vincent yang lain mengangguk sopan dan membiarkan Bella melakukan tugas yang diberikan Vincent..
"Kemarin malam Kau menelponku dan Kau matikan sendiri, ada apa denganmu?"
Alih-alih membicarakan pekerjaan kantor, Vincent malah membicarakan hal pribadi setelah Bella masuk ke ruangan pribadinya. Bella yang tidak menduga hal ini, terkejut sekaligus takut.
"Emm, saya …"
"Kau menggodaku?"
"Tidak, Pak! Saya salah pencet," ucap Bella setengah berteriak.
"Oh, salah pencet," Vincent tersenyum miring.
"Harusnya pencet di sini, ya?" Vincent menarik batang hidung Bella hingga membuat gadis itu menganga karena kehabisan napas.
"Pak, Pak," erang Bella.
"Atau di sini?" Vincent melepaskan tangannya tetapi Ia beralih mencengkeram dada kanan Bella.
Plak!
Tanpa berpikir panjang lagi, Bella langsung mendaratkan tamparan keras di pipi Vincent.
"Bapak tidak seharusnya kurang ajar begini!" desis Bella, air matanya menggenangi pelupuk dan satu detik kemudian tumpah membasahi pipinya.
"Hm?" Vincent mengangkat satu alisnya.
"Karena Kau anak nakal, Bella. jadi aku harus melakukan ini," ucap Vincent pelan namun dalam, membuat bulu kuduk Bella berdiri.
***
Terima kasih sudah baca ceritaku.
Buat Teman-temanku yang aku sayangi, aku mohon kesediaannya untuk kasih bintang 5 di ceritaku. Sertakan ulasan atau gambar sesuai kehendak kalian juga. Terima kasih banyak.