Tak ada percakapan barang sedikitpun selama di pesawat. Bella enggan memulai sedangkan Vincent tidak mau bermurah hati memulai percakapan. Mereka duduk berjajaran menyandarkan punggung di kursi pesawat seperti orang asing. Saat sudah landing di Bandara Tjilik Riwut pun Bella hanya mengikuti langkah kaki Vincent tanpa bertanya apapun.
Setibanya di kamar hotel yang mereka pesan, Bella baru membuka suara, "Mengapa meski pesan double bed, mengapa tidak twin bed saja? Bapak sengaja?"
"Lho, sengaja apa?" tanggap Vincent.
"Bapak sengaja agar kita tidur bersama?" desis Bella sambil memincingkan matanya.
"Tidak, bukan saya yang memesan kamar ini. Tanyakan pada Chelsea, apakah dia sengaja menjodohkan kita," ujar Vincent.
Bella memutar bola mata malas, tidak ada gunanya bicara dengan lelaki itu. Mungkin nanti malam Ia akan mengalah tidur di sofa saja. Ia mengecek jadwalnya selama di kota ini sebelum mandi, besok pagi Vincent akan melakukan survey lapangan lahan kosong yang akan digunakan untuk bangunan hotel dan restoran, kemudian Vincent juga akan meninjau proyek yang sedang berlangsung.
"Kau tidak tidur?" tanya Vincent saat melihat Bella masih sibuk dengan handphone-nya.
"Saya akan mandi dulu, Pak," tanggap Bella.
"Baiklah. Sebenarnya ada bathtub yang bisa diisi bersama," ucap Vincent.
"Saya telah menyimpan nomor-nomor darurat di kota ini, Pak. Jika Bapak macam-macam saya tinggal klik fitur panggilan," ucap Bella.
"Apa yang Kau bicarakan, Bella? Lama-lama Kau tidak bisa memahami ucapan orang lain," ucap Vincent lalu Ia tertawa dan membuat Bella jengkel.
Saat Vincent keluar kamar mandi, Bella sudah terlelap di sofa depan TV. Ia membopongnya dan memindahkannya ke springbed dan membiarkan gadis itu tidur nyenyak di bawah selimut tebal. Wajahnya benar-benar cantik tanpa olesan bedak, bibirnya ranum kemerahan, garis matanya sangat tenang. Vincent meneguk air liurnya sendiri dan terus memandang Bella di sampingnya.
Vincent tak bisa tidur dengan tenang dan bangun jauh lebih awal dari pada Bella. Ia menyibukkan diri dengan seduhan kopi dan kue yang dipesan dari restoran hotel. Bibir Vincent menyesap kopi hitam pelan-pelan sembari memandang gadis di seberangnya yang menggeliat dan menguap. Tak kuat dengan pemandangan di depannya, Vincent terbatuk dan membuat Bella bangun.
"Lho, kok aku di sini?" gumam Bella dengan suara serak khas bangun tidur. Ia masih setengah sadar ketika mengucapkan hal itu.
"Kau selalu hampir jatuh dari sofa, aku memindahkanmu tadi malam," ujar Vincent.
"Oh, terima kasih, Pak," tanggap Bella. "Anda tidak berbuat macam-macam, kan?"
"Apa maksudmu?" tanya Vincent. "Macam-macam bagaimana?"
Bella mendesah frustasi dan mengacak-acak rambutnya, lelaki itu memang pandai bersilat lidah. Andai lelaki itu adalah boneka beruang, mungkin Bella sudah meremas-remasnya lalu menghamburkan bulu-bulunya.
Bella sangat buta tentang pengetahuan pembangunan seperti ini, Ia mengutuk keras mengapa harus dirinya yang dibawa oleh bos brengseknya itu. Bekerja sebagai sekretaris dengan background kuliah manajemen saja Ia harus mengulang pelajaran, apalagi yang sekarang Ia hadapi adalah tentang perteknik sipilan.
"Oh, Tuan Vincent. Selamat datang," ucap seorang lelaki dengan helm kuning khas pekerja. Lelaki itu adalah mandor dari proyek yang sedang Vincent borong.
Vincent mengangguk sopan sembari tersenyum ramah, begitu pula dengan Bella.
"Terima kasih banyak, Pak. Bagaimana, apakah ada kendala yang parah di proyek ini?" ucap Vincent.
"Sejauh ini tidak ada, Tuan," jawab mandor tersebut. "Mari mampir ke sekretariat, Tuan. Nyonya …"
"Saya Bella, sekretarisnya Pak Vincent," sahut Bella memotong ucapan mandor tersebut.
"Oh, Nona Bella, maaf," mandor yang telah dikenal oleh Vincent mengangguk sopan.
Baru kali ini Bella mendapatkan tugas mendampingi seorang bos besar, Ia merasa khawatir apakah jaraknya dengan Vincent terlalu dekat atau tidak, karena mandor tersebut mengira Ia adalah istri Vincent.
"Apakah posisi berdiri saya terlalu dekat dengan Anda, Pak?" bisik Bella sambil sedikit bergeser.
"Tidak, kita justru kurang dekat," jawabnya. Bella mendelik sambil menggertakkan gigi.
Bella melirik handphone-nya saat kembali ke mobil bersama Vincent. Ia menyembunyikan layarnya agar lelaki itu tidak mengintip.
"Apa yang Kau lakukan? Kau pikir aku tertarik pada handphone-mu?" gerutu Vincent. Bella tak menanggapi.
Sebagai sekretaris yang baru dua hari bekerja, tak banyak yang bisa dilakukan Bella dalam mendampingi CEO perusahaannya kecuali menjadi ekor Vincent yang mengikuti ke manapun Vincent pergi. Grup WhatsApp-nya bersama ketiga sekretaris Vincent yang lain ramai mengkhawatirkannya. Sekali saja Bella muncul untuk menanyakan sesuatu kepada Chelsea, grup langsung ramai menjawab sekaligus memberikan wejangan untuk Bella. Bella sampai pusing membacanya.
Menjadi sekretaris bukanlah target Bella, Ia melamar pekerjaan tersebut di divisinya dulu niatnya hanya untuk sementara. Tetapi sekarang Ia malah dinaikkan ke posisi sekretaris CEO dalam waktu dua bulanan sejak Ia diterima. Berjam-jam Ia merenung apakah hal ini tidak menimbulkan kecemburuan staf lain? Karena Ia mengamati naik posisi dan jabatan di suatu perusahaan sangatlah sulit, termasuk di perusahaan yang Vincent pimpin.
"Pak boleh saya menanyakan sesuatu?" celetuk Bella.
"Apa?"
"Kira-kira Bapak tahu tidak, mengapa HRD menaikkan saya dari sekretaris divisi ke sekretaris CEO?" ucap Bella.
Vincent mengedikkan bahu sambil tetap memegang Ipad-nya. "Memangnya kenapa?" Ia malah balik bertanya.
"Jujur, saya merasa terseok-seok. Saya kuliah jurusan manajemen, saya harus belajar dari awal tentang kesekretariatan. Baru adaptasi dua bulan sudah dipindahkan lagi," ucap Bella.
Vincent tertawa, "Kan Kau sendiri yang melamar jadi sekretaris."
"Tapi …"
"Bella, Kau tahu? Aku langsung menjadi CEO tanpa bekal apapun. Kita hampir sama dengan porsi yang berbeda, Kau masih beruntung," ucap Vincent pelan memotong ucapan Bella.
"Perusahaan ini jatah dari orangtua Anda, Pak," ujar Bella bicara pada diri sendiri.
"Iya," tanggap Vincent. "Saya hanyalah robot yang orangtua lahirkan, Bella," ujar Vincent dengan suara berat.
Baru kali ini Vincent mengungkapkan perasaan terdalamnya pada seorang staf. Tak ada yang tahu perasaan apa yang ada di dalam hati Vincent, Ia adalah CEO dingin dan kaku di kantor. Banyak di antara karyawan perempuan penggila tokoh fiksi, menyamakan Vincent dengan bos-bos besar di novel mereka.
"Bella, apa Kau tidur dengannya?"
Sial! Voice note yang Alanis kirimkan benar-benar menjijikkan.
"Apa itu?" pekik Vincent.
"Tidak, Pak. Maaf," ucap Bella. Giginya mengutuk Alanis dengan segala kesialannya.
"Ah, aku lupa mengatakannya. Mengapa kita tidak tidur bersama saja mumpung sedang di luar?" seru Vincent.
Bella menjerit dan tangannya refleks memukul kepala Vincent. Lelaki itu juga berteriak kesakitan karena Bella memukulnya dengan tiba-tiba. Sopir menoleh sekejap, tetapi langsung mengabaikan mereka karena mendapatkan pelototan dari Vincent.
"Lepaskan!" teriak Bella saat tangan kekar Vincent mendekap tubuhnya.
"Kau mungil sekali," ucap Vincent.
"Lepaskan," ucap Bella. Kukunya yang panjang mencakar lengan Vincent dengan ganas.
"Agggh, Kau keterlaluan," gerutu Vincent.
"Anda yang keterlaluan, Pak!" Bella berseru sekali lagi, nafasnya terengah-engah, keringatnya bercucuran meski berada di dalam mobil ber-AC, ada sesuatu yang menyengat dari sentuhan tangan Vincent di kulitnya. Bella bergidik ngeri.
"Jadi, Kita akan tidur bersama, kan?" ucap Vincent lagi.
"Tidak akan pernah. Jangan mengharapkan sesuatu yang mustahil, Pak!" desis Bella.
"Oh, mungkin saja. Buktinya temanmu sendiri menginginkan kita tidur bersama, tadi," ujar Vincent.
"Jangan bodoh, Pak. Teman saya justru khawatir," ucap Bella dengan nada kesal.
Mobil mereka berhenti tepat di depan lobby hotel mewah yang mereka tinggali saat ini. Vincent tersenyum bahagia sedangkan Bella membanting pintu keras-keras tanpa menunggu sopir membantu membukakannya. Biarkan mobil Vincent cepat rusak.
***