webnovel

A.8 PRESTIGE

Handphone Bella bergetar, Ia meraba tempat tidur mencari di mana handphone miliknya berada. Seseorang mengiriminya pesan di tengah malam, Ia merasa sangat kesal, mengapa harus mengirimkan pesan jam segini? Apakah tidak bisa ditunda besok pagi saja atau sekalian tadi sore? Padahal Ia merasa baru saja bisa tidur.

Vincent.

Bella mengerjapkan mata sekali lagi, Ia menggelengkan kepala tidak percaya melihat siapa yang mengirimkan pesan. Dari mana orang itu mendapatkan nomornya? Ah, Bella menepiskan pertanyaan bodoh itu. Vincent memiliki beribu-ribu karyawan yang bisa dimintai apapun tentang Bella.

"Bella, aku ingin mengajakmu makan besok malam," pesan Vincent. 

Bella melemparkan handphone-nya ke sisi lain kasurnya. Ia kembali memejamkan matanya dan melanjutkan tidur yang sempat terganggu. 

"Nis, Kau tahu? Ada orang asing yang mengirimiku pesan tengah malam untuk mengajakku makan malam," Bella berseru sembari menuruni tangga.

"What?" Tanggap Alanis sambil tertawa.

"Orang itu adalah ... Coba tebak," Bella tak bisa menahan senyumnya.

"Orang yang menciummu di lampu merah." Alanis tertawa terbahak-bahak, beberapa teman satu kontrakan yang kebetulan sedang masak bersama juga ikut tertawa.

"Sudah kuduga Kau menyukai orang itu," Alanis memutar bola matanya.

Siapa yang tidak prihatin melihat korban pelecehan yang menyukai pelakunya. Meskipun hanya sebuah ciuman, tetapi Alanis sangat menyayangkan Bella. Bella justru membela Vincent karena orang itu telah menyelamatkannya dari pengangguran. Terlebih, Bella justru memberikan kesempatan Vincent untuk kembali menciumnya di kantor. Bella telah menukar harga dirinya demi sebuah pekerjaan.

"Kau akan menghadiri ajakan itu bukan?" Tanya Alanis.

"Belum tahu, belum kujawab. Kurasa Ia hanya mengigau tadi malam," jawabnya.

"Semoga begitu," sambung Alanis.

Bella bekerja seperti biasa sebagai sekretaris divisi pengadaan barang. Entah mengapa hari itu terasa sangat cepat, padahal Ia baru saja menyelesaikan beberapa pendataan saja. Ia melirik layar handphone-nya, belum ada chat masuk lagi dari Vincent sedangkan Ia juga belum menjawab chatnya tadi malam.

"Sayangnya, hari ini kita harus lembur. Laporan bulanan dimajukan lima hari dari biasanya," ucap Kepala Divisi-nya memecah sepi.

"Semuanya harus lembur, Bu?" Tanya salah satu staf.

"Iya, bahkan hampir di semua divisi hari ini lembur," jawab perempuan yang memimpin divisi di mana Bella bekerja.

Bella tersenyum dalam hati, Ia bisa beralasan lembur untuk menolak undangan Vincent dengan sopan. Jika ternyata orang itu memaksa, Ia pun sudah menyiapkan amunisi untuk berdebat melawan Vincent. 

Teman-temannya menghubungi keluarga ataupun mengatur ulang agenda sore ini karena harus lembur. Sementara Bella tersenyum riang gembira di dalam hatinya sambil membayangkan Ia menolak ajakan Vincent. Tetapi, seandainya Ia tidak bisa menolak karena Vincent lebih jago meluluhkan hati Bella. Maka Bella akan mengalah dan dengan berat hati menerima undangan itu.

Sejatinya ada rasa yang membuat Bella sesekali merindukan Vincent, tetapi Bella tidak terlalu menghiraukan itu. Terkadang jika teringat Vincent, Bella merasakan desiran asing di ulu hatinya. Tetapi Vincent tetaplah lelaki hidung belang yang harus Bella waspadai, itu yang membatasi Bella untuk tidak terperdaya tampang Vincent.

Resepsionis Divisi-nya memberi tahu bahwa Ia dipanggil ke Ruang CEO. Bella sudah pasti bisa menebak apa yang dilakukan Vincent. Lelaki itu pasti akan melakukan apa saja untuk membuatnya mengikuti kemauannya. Bella melangkah dengan ragu-ragu, namun Ia harus melakukan itu. Siapa tahu hanya urusan kantor seperti biasa karena ini masih dalam jam kerja.

"Kau sudah membaca pesanku bukan?" Vincent langsung melontarkan pertanyaan seperti yang ada di benak Bella.

"Sudah, Pak," jawab Bella.

"Kalau begitu Kau juga sudah tahu bagaimana seharusnya Kau menjawabnya," ujar Vincent.

"Maaf, Pak. Tapi sayangnya saya tidak bisa menghadiri undangan yang Bapak berikan kepada saya," jawab Bella.

"Mengapa?" Vincent bertanya dengan sangat biasa seolah Ia sudah tahu Bella pasti menolaknya mentah-mentah. 

"Maaf, Pak. Saya harus lembur malam ini," jawab Bella dengan singkat dan cepat.

"Kau tidak harus lembur," ujar Vincent. 

"Atasan saya yang memberi perintah," sangkal Bella. 

"Saya atasannya atasan kamu," Vincent tidak mau menyerah.

"Jika Bapak memaksa saya untuk mendatangi undangan apapun di luar urusan kantor, saya tidak akan mau. Urusan saya dengan Bapak hanya bekerja dan saya bukan staf di kantor CEO lagi," jawab Bella.

Vincent mengamati wajah Bella dengan saksama, ada ketegasan di sana, ada luka yang belum sembuh, ada banyak bekas luka yang kian lama kian mengumpul.

"Bella? Kau masih membenciku?" Ucap Vincent dengan suara yang cukup dalam.

"Saya menyayangkan kelakuan Bapak dan saya juga tidak menyukai cara Bapak memandang saya," Bella mengakui itu semua di depan Vincent. 

Bella tak perlu merasa sungkan mengungkapkan apa yang sebenarnya Ia rasakan kepada Vincent, apa lagi tentang kebenciannya. Di matanya, Vincent hanyalah lelaki anak orang kaya yang bebal lalu kemudian tuanya menjadi lelaki brengsek, hidung belang, dan tidak berperikemanusiaan.

"Sebenarnya undangan makan malam itu sebagai cara mengungkapkan permintaan maafku padamu," ucap Vincent. 

"Kalau begitu saya maafkan, tetapi saya tetap tidak akan menghadiri undangan itu," tanggap Bella. Ia akan tetap pada pendiriannya, tidak makan malam bersama Vincent alias kencan. Dengan menghentakkan kaki akhirnya Bella keluar dari ruang CEO.

Hari semakin merangkak menuju senja, Vincent tercengang karena baru kali ini Ia mendapatkan penolakan dari seorang wanita. Tetapi Ia akan tetap memesan slot fine dinning di sebuah restoran Ia biasa dinner dengan kolega bisnisnya. 

Ia akan bersikeras bagaimanapun caranya meski lewat tangan kanannya untuk mengenal gadis itu lebih dekat. Meski gadis itu sangat bahaya untuknya karena sulit ditebak, Vincent akan menerobos segala cara yang ada. Surat tugas ada ditangannya, yang isinya adalah tentang laporan sekretaris divisi mengenai arsip bergerak milik perusahaan. Vincent memberikan itu kepada asistennya untuk disampaikan ke divisi pengadaan barang dan aset.

"Meghan, kirimkan Zhavia Arabella untuk tugas itu," Vincent mengingatkan Ketua Divisi. 

"Lho, mohon maaf, Pak. Ia anak baru di sini. Ia belum berpengalaman. Apakah tidak sebaiknya yang menyampaikan sekretaris yang lebih senior saja, agar laporannya lebih jelas?" Jawab Ketua Divisi dengan terkejut.

"Jika begitu, bagaimana Kau melakukan kaderisasi jika tugas apapun diserahkan kepada senior?" tanggap Vincent dengan santai.

"Oh, baik, Pak. Baik." Meghan tak berani membantah lagi jika Vincent sudah balik bertanya. Vincent tersenyum lega, jari-jarinya mengetuk-ngetuk meja dengan irama yang tidak tertebak.

Ia memastikan sekali lagi agar acara nanti malam berjalan dengan lancar. Satu set meja makannya tak boleh berdekatan dengan meja lain meskipun itu fine dinning untuk dua orang. Vincent tak sabar menunggu malam tiba. 

Sementara di sisi lain, Bella menggertakan gigi mendapati surat tugas itu. Tugas apa yang dilakukan di sebuah restoran ternama? 

"Mungkin laporannya semi formal, Kau tidak usah terlalu tegang, Bella. Nanti kalau ada hal yang perlu ditanyakan kepada saya, bisa langsung WhatsApp. Saya tidak mungkin melepaskan staf begitu saja, apalagi yang meminta laporan kepada kita adalah CEO langsung," ujar Meghan saat melihat wajah Bella merah merona.

"Baik, Bu. Nanti saya hubungi Ibu jika ada hal penting," tanggap Bella.

Mau bagaimanapun Bella menolak, Vincent tetap menjadi pemenangnya. Ia memiliki kekuasaan di tempat Bella berada.

***

ตอนถัดไป