webnovel

Tempat Baru

lNdari mencoba untuk tidak tertidur meksipun banyak teman lainnya memutuskan tidur, termasuk Vivi. Jarak tempuh kurang lebih memakan waktu dua jam.

"Ndari, bagaimana tanggapan orang tuamu ikut seleksi ini?" tanya salah satu petugas mencoba basa-basi.

Aduh, mampus! Mana enggak pamit sama Ayah. Ndari mengigit bibir bawah cemas. Ia pura-pura menguap.

"Ngatuk ya?"

"Eh, apa Pak? Maaf saya enggak fokus," sahutnya pura-pura.

"Hehe enggak papa, tidur aja. Lagian masih satu jam lagi sampai," ujarnya menyarankan.

Ndari mengangguk, dan mencoba menutup kepala dengan tudung jaket yang dikenakan. Mencoba terpejam meskipun sebenarnya tak dapat tidur di dalam mobil.

Malah pikirannya melayang ke ayah. Kira-kira beliau lagi apa ya, dan apa kabarnya? Haduh, Ndari membuka mata. Mencoba mengambil ponsel hendak mengirim pesan. Namun, lagi-lagi pikirannya sadar sebab ayah juga tak memperdulikan.

'Mungkin Ayah sudah diperalat oleh Tante Mitha," keluhnya dalam batin.

Vivi terbangun karena merasa posisi tidurnya tidak enak. Kedua tangannya mengucek mata, "Belum sampai ya?"

"Belum, tidur aja lagi. Enggak ada yang ngelarang kok," sahut Ndari.

"Hemm."

"Sebentar lagi sampai. Kalian tidur aja dulu," ucap petugas yang masih fokus dengan setirnya.

***

Atmaji diam, di depan komputer tak fokus pada yang dikerjakan. Entah mengapa malah kepikiran anaknya. Ndari, anak itu benar-benar memiliki keberanian untuk keluar rumah.

"Makan apa dia?" Matanya melihat ke atas, menatap putihnya pelafon.

Jari-jemarinya mengetuk-ngetuk meja kaca dalam hatinya yang was-was. Tiba-tiba saja ponselnya berdering satu panggilan dari Mitha. Entah mengapa, atau mungkin dirinya baru menyadari. Saat memikirkan anaknya, Mitha selalu saja menganggu.

"Mas nanti langsung pulang ya, makan di rumah aja. Soalnya udah aku masakin."

"Sebenarnya Mas pengen makan di luar, Mith."

"Di rumah aja, Mas. Kan kita bisa makan bareng," ucapnya genit menggoda.

"Kira-kira Ndari sudah makan belum ya?"

Mitha menarik napas, mencoba untuk tidak marah saat pria itu bertanya perihal anaknya. Tentu saja, ia tak suka. Andai yang dibahas Sinta tentu Mitha akan mendengar dan peduli. Namun, sayangnya ia harus berpura-pura agar Atmaji mengira dirinya menyayangi Ndari.

"Mas, jangan berpikir yang aneh-aneh. Ndari itu sudah besar, sudah lulus sekolah. Tak usah dicemaskan hal-hal sepele begitu."

"Tapi aku takut dia kelaparan Mith," ucap Atmaji parau.

"Mas ... Mas, Anda itu sebenarnya buang-buang tenaga lho, lha wong Ndari baik-baik saja kok."

"Lho, emang kamu tahu dia di mana Mith? Kamu ketemu?"

"Ya enggak Mas. Cuman memastikan dari feeling aja. Jangan cemas, dia sudah bisa hidup mandiri kok. Harusnya Mas Maji bangga dong!"

Atmaji diam, hening untuk sesaat, apa yang diucapkan istrinya itu benar tidak ya? Benarkah Ndari sudah mulai mandiri?

"Pokoknya nanti jam istirahat pulang ya, Mas. Supaya masakan Mitha enggak sia-sia hehe."

"Sore pas pulang nantikan Mas bisa makan, Mith. Enggak harus pulang istirahat nanti?"

"Oke, kalo itu mau Mas. Enggak papa!" cetusnya galak.

"Lho, kok kamu marah sih. Ya udah deh, nanti aku pulang," pungkas Mas Atmaji.

Padahal rencananya ingin mencari Ndari tetapi seperti tak mungkin, sebab Mitha memintanya pulang.

***

***

Para petugas membangunkan siswa yang sebagian tertidur. Beberapa di antaranya juga ada banyak mobil pengantar yang hadir dari berbagai kabupaten kota.

"Kita sudah sampai?" lirih Vivi sembari mengucek mata.

"Iya, jadi seperti ini ya panti." Ndari turun dari mobil mengamati sekeliling.

Andai saja tak ada pertengkaran atau Tante Mitha tak pernah masuk di kehidupannya, tak mungkin sampai di sini. Apalagi di sebuah panti. Tentu tak bisa dibayangkan, bagaimana nasib Ndari nantinya. Namun, apapun yang terjadi harus tetap dijalankan.

Lagian, bersama dengan Vivi akan lebih baik ketimbang sendiri menunggu rumahnya. Vivi melihat ke atas, suara pesawat tengah mendarat tepat dan benar saja, ternyata panti ini tidak jauh dari Bandara.

"Ndari lihat ada pesawat!'' tunjuk Vivi seperti anak kecil bertepuk tangan senang.

"Wah, kita bisa melihat pesawat dengan jelas setiap harinya," sahut salah satu peserta rombongan kami.

"Iya, betul!" seru yang lain menimpali.

Ndari juga tersenyum kagum. Bandara terlihat jelas dari panti ini. Tak lama para petugas memberi arahan untuk masuk ke gedung aula.

"Satu persatu masuk dan duduk, ingat ya kalian di sini jaga sikap karena membawa nama kabupaten masing-masing. Belajar sungguh-sungguh taati peraturan." Begitulah arahan dari petugas yang mengawali kami dari dinas.

"Baik, Pak." Kami serentak menjawab.

Ndari mencoba masuk begitu juga dengan Vivi. Mereka langsung ditanya satu per satu, menyesuaikan data di wisma mana akan tinggal.

"Ndari, silakan isi biodata dan jangan lupa tulis nomor telepon di sini," pinta petugas di meja satu.

Setelah selesai di meja satu kemudian di arahkan ke meja kedua. Di sana Ndari langsung mendapat selimut, sarung bantal dan guling, dan piring dan gelas.

"Ini jangan sampai hilang ya, sampai kamu lulus nanti." Pesan petuga situ.

Ndari mengangguk, lanjut menuju meja ketiga. Ia shock saat disuruh matikan HP dan langsung diletakan pada kotak bersama dengan HP peserta lain.

"Sudah tahukan peraturan di Panti tidak boleh menggunakan HP?" ucap petuga meja ketiga dengan sedikit mengejek.

Petugas itu terlihat lebih muda dibandingkan dengan petugas lain. Lagi-lagi Ndari hanya mengangguk, menelan Saliva dan merasa kering tenggorokannya.

"Ini, kartmu dan bawa langsung ke dapur dan berikan pada petugas dapur di sana."

"E, dapurnya di mana pak, ehh, Kak?" Ndari bingung memanggil apa sebab beliau terlihat masih usia 20-an.

"Kamu ikuti aja jalan ini, terus belok kanan nanti ada jalan kecil dan belok kiri. Nah, di sana dapur. O ya, kamu wisma apa?"

"Wisma ...." Ndari mengambil kartu kecil yang sebelumnya dipegang dari meja sebelah di situ ada nama dan wismanya, " wisma, jihad bulan, pak?"

"Bulan jihad," ralat petugas itu kalem.

"Ohhh iya ya hehe, maaf." Saking geroginya sampai salah menyebut nama tempat.

Ndari langsung keluar, membawa kopernya dan Vivi teriak, ''Ndari tunggu aku."

"Kamu wisma apa?" tanya Ndari langsung.

"Junjung Buih, kamu?"

"Bulan jihad, itu!" Ndari menujuk kebetulan wismanya ada tulisan nama dan wisma pertama saat memasuki area panti.

"Terus wismaku di mana? Temeni dong," renggeknya.

"Oke, bentar aku taruh ini dulu."

Ndari menaruh koper di depan pintu wisma, menuju dapur bersama Vivi sekaligus mencari wisma tempatnya. Ternyata letak Wisma Jukung Buih berada diujung.

"Sepertinya hanya wisma Bulan Jihad yang tak memiliki tetangga. Lihatlah, wismaku berdekatan dengan wisma lain."

"Iya ya," sahut Vivi yang baru saja menyadari.

"Ayo ke dapur!"

Vivi dan Ndari sempat berbincang-bincang dengan ibu dapur yang meminta dipanggil Bunda. Beliaulah yang akan memasarkan untuk semua siswa yang ada di sini nantinya.

"Oke, Bunda salam kenal ya, senang bertemu dengan Anda."

"Oke!" sahut Bunda mengedipkan mata.

Tampaknya Bunda tipekal orang ceria dan mudah bergaul. Baru pertama bertemu saja sudah membuat akrab tanpa merasa canggung.

Vivi dan Ndari berpisah, mereka menuju wisma masing-masing. Saat mengetuk pintu dan mengucap salam dari langsung disapa seseorang yang bernama Maria. Dia bilang sudah datang dari satu hari yang lalu, mengingat jarak kabupaten kota menuju sini kurang lebih 7 jam.

"Kenalin aku Ndari. O ya, di mana kamarku?"

Ternyata tak hanya Maria, di dalam sudah ada banyak orang. Kebetulan satu Wisma kami berjumlah 14 orang yang berasal dari berbagai kabupaten kota. Maria tak lupa mengenalkan ke teman-teman lain. Tampaknya anak ini juga mudah bergaul sama seperti Bunda dapur yang ditemuinya tadi.

"Nah, jadi kamu tinggal pilih ada dua kamar yang masih kosong."

"Hai, kamu sama aku aja ya di sini," ucap salah satu perempuan yang mengarah padaku.

"Oke, sebentar ya aku mau tengok kabar sebelah."

"Esstss, sini aja. Enggak usah ke sebelah. Bareng aku aja, di sini ada tiga kasur kita perlu satu teman lagi. Di sana cuman ada dua." Terang perempuan itu bernama Risma.

Ndari mengangguk, baguslah. Setidaknya dia sudah memiliki teman meskipun baru.

ตอนถัดไป