BAB 26
Kebingungan dan tanda tanya besar masih meragas teluk pikiran Angela, Felisha Aurelia, dan Carvany.
"Apa yang harus aku perbuat pada kristal ini?" Angela mencari-cari jawabannya dalam pikirannya, tapi dia tidak bisa menemukan jawabannya. Sama halnya dengan Felisha dan Carvany.
Mendadak pintu kamar ketiganya diketuk oleh seseorang dari luar. Ketiganya tampak panik. Angela segera membuka lemari, mengeluarkan sebuah selimut yang cukup besar, dan menutupi kristal biru dengan selimut tersebut. Felisha cepat-cepat menidurkan kristal hijaunya dan menyembunyikannya ke dalam kolong tempat tidur. Ivana segera menarik kristal merahnya ke dalam kamar mandi dan menyembunyikannya di sana.
Angela membuka pintu. Tampak kedua orang tua berdiri di luar kamar dengan sedikit raut wajah bertanya-tanya.
"Ada apa, Gel?" tanya Bu Erica.
"Tadi kami ada dengar bunyi gedebug begitu, seperti ada sesuatu yang berat jatuh begitu… Ada masalah dalam kamarmu ini?" sahut Pak Riansin.
"Tidak ada apa-apa tuh… Aku saja tidur dan terbangun karena ketukan di pintu oleh Ayah dan Ibu nih…" Angela pura-pura menunjukkan gaya mengantuknya.
"Oke deh kalau tidak ada masalah… Berarti bukan rumah kita, Riansin. Bisa jadi di rumah sebelah itu…" kata Bu Erica.
"Ya… Bisa jadi…" Pak Riansin masih terlihat sedikit bertanya-tanya.
Kedua orang tua Angela berlalu dari pintu kamarnya. Angela menutup pintu kembali. Dia kembali ke kristal birunya. Untung saja tadi orang tuanya tidak sempat masuk ke dalam kamar ini. Sempat saja mereka melihat adanya sebuah kristal besar di dalam kamar, dan ada pula seorang lelaki telanjang di dalam kristal itu, entah apa yang harus dijelaskannya kepada kedua orang tuanya.
Untung saja mereka tidak sempat masuk ke sini. Jika mereka sempat melihat tubuh Kenny yang hanya dibalut celana dalam dalam kristal ini, entah apa yang harus kujelaskan kepada mereka. Sekarang aku harus melakukan satu hal terhadap kristal dan badan jasmani ini, Kenny baru bisa membuka matanya dan kembali menjadi manusia. Apa ya…? Angela terus mereka-reka dalam pikirannya.
Mendadak satu ide muncul di benaknya. Tangan meraba-raba kristal biru tersebut. Tampak wajah yang super tampan sedang terlelap di dalam. Angela menjadi tersenyum-senyum sendiri.
Bahkan dalam keadaan terlelap pun, dia tetap terlihat tampan. Memang benar apa kata orang-orang… Orang yang sedang jatuh cinta, segalanya akan terasa begitu indah, begitu nirmala, tanpa cela dan tanpa cacat. Angela mencium kristal tersebut.
Sekonyong-konyong, kristal tersebut mulai bersinar. Kristal tersebut mendadak berubah kembali menjadi sebuah swipoa kuno. Swipoa kuno terjatuh ke lantai dan tubuh Kenny Herry jatuh menimpa Angela ke tempat tidur. Angela berusaha untuk tidak memekik supaya kedua orang tuanya tidak naik lagi dan mendapatinya sedang dalam posisi tidak senonoh dengan sesosok tubuh telanjang di atas tempat tidurnya. Bibirnya dengan bibir sang pangeran pujaan tidak sengaja saling bertaut ketika tubuh tersebut jatuh dan menindihnya ke atas tempat tidur.
Sekujur tubuh Kenny Herry bersinar. Angela menunggu dengan deg-degan. Perlahan-lahan sinar meredup dan akhirnya Kenny Herry membuka matanya. Dia agak terkejut telah menindih tubuh sang putri pujaan dalam keadaan telanjang.
"Kenapa kau bisa menempatkan tubuhku dalam posisi yang demikian?" Kenny Herry bangkit dan ia menjentikkan jari. Muncullah pakaian yang serba biru sekarang membalut sekujur tubuhnya.
"Tadi tubuhmu terjatuh menimpaku ketika kau keluar dari kristal itu." Angela merasa sedikit kikuk. Kedua belahan pipinya terlihat memerah.
"Kupikir… Kupikir… Kau sudah sangat tidak sabar ingin mendapatkan hal itu dariku." Kenny Herry melemparkan sebersit senyuman nakal.
"Tidak… Tentu saja tidak… Aku tidak tahu apa yang mesti kuperbuat pada badan jasmanimu sehingga kau bisa membuka mata kembali. Aku tidak sengaja… tidak sengaja… tidak sengaja…"
"Tidak sengaja apa…?"
"Tidak sengaja mencium kristal biru itu. Waktu kau keluar dari kristal itu dan menimpaku, tidak sengaja… tidak sengaja… tidak sengaja aku menciummu lagi. Jadi, akhirnya… akhirnya kau membuka kedua matamu."
Oh ya…? Jadi ketiga dewi kami harus mencium kristal itu dan mencium kami sekali lagi baru kami bisa membuka mata dan sadar kembali. Sungguh keterlaluan Dewa 5 Unsur ini… Kenny Herry tertawa dalam hatinya. Kepada sang putri pujaan, dia berujar,
"Terlalu banyak tidak sengaja akan menjadi sengaja. Kau tahu itu kan, Gel?" tangan Kenny Herry mulai membelai-belai rambut dan kepala sang putri pujaan.
Angela duduk membelakangi sang pangeran pujaan sembari setengah menutupi wajahnya karena merasa malu, "Tidak… Tidak… Aku benar-benar tidak sengaja menciummu tadi. Aku tidak ada ide lain supaya kau bisa keluar dari kristal biru itu dan sadar kembali."
"Just kidding deh…" terlihat Kenny Herry terkekeh-kekeh. "Thanks banget, Gel… Kau telah mengeluarkan badan jasmaniku ini dari kristal biru itu – kristal yang mengurungku selama lebih dari 80 tahun."
Angela merebahkan kepalanya ke dada sang pangeran pujaan. Dia merasakan sejenis kehangatan yang lain, dan juga bisa mendengar detak jantung sang pangeran pujaan. Dia yakin Kenny Herry telah kembali seperti dulu.
Angela mengangkat kepalanya lagi dan bertanya, "Kekuatan gaibmu masih ada, Ken?"
Kenny Herry sedikit cengengesan, "Karena kami kong kali kong dengan Dewa 5 Unsur supaya mereka mengizinkan kami meneruskan satu kehidupan lagi di alam manusia ini… Jadinya, mereka meminta kami untuk meneruskan tugas kami sebagai tiga malaikat pengantar nyawa meski kami sudah berwujud manusia. Jadi yah, kekuatan gaib yang mereka berikan pada kami tetaplah ada."
Angela mengangguk senang. Dia kembali merebahkan kepalanya ke dada sang pangeran pujaan.
"Jadi apa rencanamu ke depannya?" tanya Angela sembari mengulum senyumannya.
"Rencanaku beberapa bulan ke depan atau beberapa menit ke depan?" tanya Kenny Herry dengan sebersit seringai nakal.
"Dua-duanya…"
"Beberapa bulan ke depan tentunya mau mengurus jati diriku di masyarakat ini supaya aku tidak dicurigai yang tidak-tidak oleh orang-orang. Tentu saja, mau menikah dan hidup berkeluarga denganmu. Kali ini, aku mau punya tiga anak, Gel. Tidak satu lagi… Kau mau kan?" Kenny Herry mengangkat dagu sang putri pujaan. Angela hanya mengangguk.
"Dan rencanamu beberapa menit ke depan?"
"Tadi… Tadi aku masih dalam keadaan tidak sadar, sehingga aku tidak merasakan kau menciumku. Sekarang, bolehkah aku merasakannya lagi?"
Angela mulai memejamkan matanya. Kenny Herry mendaratkan satu kecupan mesra ke bibir sang putri pujaan. Segalanya menjadi tidak tergantikan. Asa bahagia kembali meragas benak Kenny Herry dan Angela Thema.
Cinta beriak dan kembali menggeligit kuncup pikiran Kenny Herry dan Angela Thema. Angela Thema merengkuh sang pangeran pujaan ke dalam pelukannya.
"Aku cinta padamu, Gel…"
"Aku juga sangat mencintaimu, Ken…"
Pembicaraan selanjutnya meliputi perencanaan masa depan mereka dan bagaimana mereka bisa mengumpulkan karma-karma baik guna menyempurnakan ilmu kekuatan mereka sebelum mereka kembali ke kerajaan surgawi milik Maha Dewa dan Maha Dewi.
Sementara itu di kamar tidur Carvany… Mendadak saja pintu langsung dibuka dari luar oleh Bu Nickesia. Bu Nickesia dan Pak Kenric langsung memberondong masuk ke dalam kamar anak perempuan mereka.
"Ada apa tadi, Carvany? Ada suara benda berat yang jatuh begitu disertai dengan getaran hebat sebentar tadi. Kau tidak dengar apa-apa tadi?" Bu Nickesia tampak sedikit cemas.
"Dari kamarmu inikah?" Pak Kenric juga terlihat sedikit cemas nan bertanya-tanya.
Dengan gaya yang pura-pura dungu nan tidak tahu apa-apa, Carvany menjawab, "Tidak ada apa-apa tuh. Suara apa memangnya? Aku habis buang air besar dari kamar mandi. Tidak kedengaran apa-apa tuh dari kamar mandi…"
Carvany berlagak polos nan tidak mengerti apa sesungguhnya yang telah terjadi.
"Getarannya hebat sekali loh tadi… Ibu pikir ada gempa. Ayahmu sampai jatuh di tangga. Didengar-dengar, sepertinya suaranya jelas berasal dari kamarmu ini. Benaran kau tidak mendengar apa-apa tadi?" masih tampak raut kecemasan di wajah Bu Nickesia.
Carvany menggeleng dengan wajah polos, "Benaran loh, Bu… Tidak ada apa-apa tadi. Mungkin ribut-ribut di rumah sebelah…"
"Oke deh kalau tidak ada apa-apa… Mungkin aku sendiri yang menaiki tangga dalam kondisi setengah mengantuk dan tidak lihat ke anak-anak tangga yang kunaiki. Jatuh jadinya aku…" Pak Kenric tampak meledak dalam tawanya sebentar.
"Oke deh kalau begitu… Kita taruh obat dulu ya ke lututmu itu, Ken. Kuingat aku ada simpan sekotak P3K di dalam lemarimu sana, Carvany. Coba kaukeluarkan dulu untuk mengobati luka di kaki ayahmu ini." Bu Nickesia bergerak dengan cepat nan tangkas ketika itu sudah menyangkut pertolongan pertama untuk anggota-anggota keluarganya.
Dia begitu lemah lembut dan begitu perhatian padaku… Dia masih Nickesia Chowin yang dulu ketika aku menikahinya. Dia masih Nickesia Chowin yang dulu ketika kami berpacaran. Dia masih lemah lembut, perhatian, dan tetap menomorsatukan aku dalam segala aspek kehidupannya. Ya Tuhan… Apakah selama ini aku sendiri yang berubah? Apakah selama ini cintaku sendiri yang berubah terhadapnya sehingga ia bisa mengupayakan berbagai cara untuk mempertahankan aku di sisinya? Aku yang telah memaksanya untuk menciptakan kebohongan ini, Tuhan… Aku yang telah memaksanya untuk membeli Carvany dari suatu tempat dan kemudian membesarkannya sebagai anak kami, Tuhan… Oh, Tuhan… Ternyata masih ada yang menganggapku begitu penting dalam hidupnya sampai-sampai ia rela berbuat apa saja, mengarang suatu kebohongan guna mempertahankan keberadaanku di sisinya. Apakah selama ini aku yang salah…? Pendirian Pak Kenric Chen mulai goyah. Kebencian dan kemarahan mulai disamarkan oleh cinta dan kehangatan yang kembali mencuat ke permukaan.
Selama ini kami sekeluarga hidup bahagia. Apakah dengan mengetahui Carvany iya atau bukanlah anak kandung kami, itu mempengaruhi kebahagiaan keluarga kami? Bagaimanapun juga, Carvany adalah anak yang baik dan selama ini dia dibesarkan dalam keluarga Chen ini. Aku sudah menganggapnya sebagai anakku sendiri. Carvany iya atau bukan anak kandung kami, itu sama sekali tidak berpengaruh bukan? Oh Tuhan… Hampir saja… Hampir saja… Hampir saja aku merusak dan menghancurkan kebahagiaan keluargaku sendiri… Hampir saja aku melakukan sesuatu yang bisa membuatku menyesal di kemudian hari…
Bu Nickesia Chowin terlihat mengoleskan obat antiseptik ke kedua lutut suaminya dengan lemah lembut. Sesekali ia akan menghembus obat tersebut supaya obat tersebut bisa cepat mengering. Perban segera dibalut ke luka pada kedua lutut dan diikat dengan rapi.
"Bisa-bisanya kau juga hebat dalam P3K, Nick…" kata Pak Kenric sembari membelai-belai kepala dan rambut istrinya.
Carvany melihat adanya sinar mata yang lain dalam sinar mata ayahnya malam itu. Carvany tersenyum simpul melihat sinar mata itu.
"Tentu dong… Kan sewaktu penataran dosen dulu, kami ada diajari sedikit mengenai P3K dalam kegiatan outbound kami. Masa kau tidak, Ken?" senyuman nakal Bu Nickesia tampak merekah dan menghiasi sudut bibirnya.
Kembali Pak Kenric mengusap-usap kepala dan rambut istrinya. "Sudah… Ayo kembali ke tempat tidur. Sudah malam… Carvany juga mau beristirahat…"
"Benaran tidak ada apa-apa di dalam kamarmu ini kan, Carvany? Jelas kali tadi suaranya berasal dari…"
"Carvany bilang tidak ada, ya tidak ada, Nick… Jangan terlalu paranoid deh…" Pak Kenric sedikit tertawa geli dengan sikap paranoid sang istri.
"Oke… Oke… Tidak ada apa-apa… Kita kembali tidur sekarang, Ken… Kau bisa jalan? Perlu kupapah?"
"Tentu saja… Sesekali kau perlu memberiku perhatian lebih supaya aku tidak lari ke pelukan wanita lain…" Sebersit senyuman nakal terpancar dari raut wajah sang suami dan menghiasi bibirnya.
Bu Nickesia dan Carvany sama-sama terperanjat kaget dengan perubahan perangai Pak Kenric malam itu. Namun, Bu Nickesia bisa menetralisir keadaan dengan ikut larut ke dalam gurauan Pak Kenric. Tampak Bu Nickesia mencubit pinggang sang suami dengan lemah lembut.
"Nakal banget deh kau ini… Sudah tua, anak sudah besar… Tapi kau masih saja genit seperti itu…"
"Kalau begitu, kau harus memapahku ke kamar deh… Nanti aku akan memberimu imbalan yang setimpal," kembali kedua mata Pak Kenric tampak mengerling-ngerling nakal.
Carvany hanya tertawa geli mendengar gurauan sang ayah malam ini, yang lain dari biasanya, yang agak berbeda dari biasanya.
"Ada anak di sini, Ken… Nanti di dalam kamar kausampaikan lagi kepadaku juga belum terlambat…" bisik Bu Nickesia juga dengan sebersit senyuman geli pada sudut bibirnya. Kemudian, dia mulai memapah sang suami keluar dari kamar anak perempuannya.
"Kami kembali ke kamar dulu, Carvany. Kau sudah boleh tidur, Nak. Jika mendengar atau melihat sesuatu yang aneh dalam kamarmu ini, segera beritahu kami ya…" kata Bu Nickesia mengalihkan sebentar perhatiannya ke anak perempuannya.
Oh, Ken… Entah bagaimana reaksimu seandainya kau tahu Carvany bukanlah anak kandung kita. Aku terpaksa membohongimu agar kau tetap berada di sampingku. Aku tahu aku tak boleh kehilanganmu. Jadi untuk itu, aku harus melakukan segala cara untuk tetap mempertahankan keberadaanmu di sampingku. Maaf… Maafkan aku… Mungkin ini sudah menjadi utangku terhadapmu dari kehidupan lampau sampai dengan kehidupan sekarang. Selama ini, aku memang merasa bersalah terhadapmu, Ken. Namun, satu hal yang pasti adalah… Aku tidak pernah menyesal dengan segala keputusan dan pilihanku… Apa yang sudah kulakukan takkan kusesali karena sampai sekarang aku masih memilikimu di sampingku. Bu Nickesia Chowin hanya bisa diam-diam menghela napas panjang seraya memapah sang suami masuk ke dalam kamar mereka.
Carvany hanya mengangguk sembari tersenyum. Dia menutup pintu kamarnya dan menguncinya dari dalam sepeninggal kedua orang tuanya, supaya orang tuanya tidak masuk secara tiba-tiba lagi nanti. Dia kembali ke dalam kamar mandinya. Untung saja tadi ayahnya atau ibunya tidak sesak ingin buang air kecil dan masuk ke dalam kamar mandinya. Entah penjelasan apa yang harus diberikannya jika sempat saja ayah ibunya melihat ada sebuah kristal merah besar dengan sesosok tubuh lelaki telanjang di dalam kamar mandinya.
Tampak kristal merah yang sama masih berdiri dengan tegaknya dalam kamar mandi. Carvany mulai kebingungan. Apa yang harus dilakukannya pada kristal merah itu sehingga sang pangeran pujaan bisa keluar dari kristal?
Carvany tanpa sadar memperhatikan wajah sang pangeran pujaan yang sedang terlelap di dalam kristal. Astaganaga… Bahkan dalam keadaan terlelap pun, dia tetap terlihat tampan… Benar-benar tidak diragukan lagi dia adalah Dewa Bunga Mawar, salah satu pewaris tahta kerajaan surgawi belahan barat daya di atas sana. Aku jadi merasa mungkin sejak pertama kali aku bertemu dengan Jacky dalam sosok Dewa Bunga Mawar ini, aku sudah jatuh cinta padanya. Ya ampun… Apa yang harus aku lakukan supaya kau bisa keluar dari kristal ini, Jack?
Carvany masih memperhatikan ketampanan Dewa Bunga Mawar yang terlelap dalam kristal merahnya. Tanpa sadar, Carvany mendaratkan satu kecupan mesra ke kristal merah tersebut. Kristal merah mulai bersinar terang benderang dan akhirnya berubah kembali menjadi sekumpulan flash cards yang sering digunakan Jacky Fernandi dalam mengajari murid-muridnya di masa lalu. Tubuh Jacky Fernandi keluar dari kristal, tapi Carvany masih belum menyadari hal itu. Dia tetap memberikan kecupan mesranya. Sepasang bibirnya akhirnya bertaut dengan sepasang bibir sang pangeran pujaan. Kali ini, sekujur tubuh sang pangeran pujaan mulai bersinar terang benderang. Sang pangeran pujaan akhirnya membuka matanya.
Carvany terhenyak kaget karena ternyata sang pangeran pujaan sudah keluar dari kristal merah dan sudah membuka sepasang matanya. Carvany memekik halus dan mundur ke belakang beberapa langkah. Tanpa sengaja tangannya menyentuh keran air yang ada di belakangnya. Pancuran air mulai memancarkan air. Air mulai mengguyur turun dan membasuh dua insan yang ada dalam kamar mandi. Kaki Carvany terpeleset karena ia mundur secara refleks tadi. Tentu saja Jacky Fernandi segera melingkarkan lengannya ke pinggang sang putri pujaan supaya ia tidak jatuh.
"Kau… Kau… Kau sudah keluar rupanya, Jack…" terdengar suara Carvany yang bergetar.
"Sorry… Aku tidak berpakaian, Carvany… Dewa 5 Unsur mengembalikan ragaku hanya dalam keadaan terbalut undies-ku ini. Sorry apabila aku sudah membuatmu merasa tidak nyaman…" tampak sebersit seringai nakal Jacky Fernandi.
Carvany menggeleng cepat. "Aku bahkan sudah melahirkan anakmu di kehidupan yang lampau, Jack. Dalam saat-saat kita begitu dekat seperti ini, apa lagi yang mesti aku takutkan?" bisik Carvany juga dengan sebersit seringai nakal.
"Kau tidak takut aku akan menelanmu bulat-bulat?"
Carvany menggeleng cepat. "Tidak… Karena aku tahu kau akan memperlakukan aku dengan penuh cinta."
Jacky Fernandi meledak dalam tawa renyahnya. "Aku hanya minta satu ciuman darimu malam ini, Sayang. Sudah lama aku merasa kau tidak menciumku. Beda dong mencium ke raga asli dengan mencium hanya ke raga bayangan."
"Itu perkara gampang, Jack…" Carvany mendaratkan lagi satu kecupan mesra ke sepasang bibir sang pangeran pujaan.
Detik demi detik berlalu. Cinta tidak pernah berhenti menyelangkupi semenanjung batin Jacky Fernandi dan Carvany apabila sudah berada dalam jarak dekat seperti ini.
"Dalam jarak jauh, aku akan merindukanmu. Dalam jarak dekat, aku akan semakin mencintaimu. Aku tidak tahu lagi kapan belenggu cintaku ini akan berakhir, Jack…" Carvany benar-benar terbuai ke dalam gelora asmara.
"Aku ingin ikatan cinta kita berbentuk sebuah lingkaran, Carvany Sayang…"
"Kenapa harus lingkaran?"
"Dengan demikian, lingkaran itu takkan terputus dan selamanya kita akan terus berputar-putar dalam tali lingkaran yang sama. Kau mau kan?"
"Dengan demikian, kau takkan mencapai pembebasan dong…?" senyuman cerah Carvany tampak menghiasi sudut bibirnya.
"Jikalau ingin mencapai pembebasan, kita akan bersama-sama mencapainya dan bersama-sama lenyap dari tali lingkaran kita itu."
Carvany tertawa renyah sebentar. Dia menenggelamkan diri ke dalam pelukan sang pangeran pujaan. Air dari pancuran terus mengguyur turun dalam kamar mandi.
Sementara itu, suasana kamar Felisha Aurelia langsung menegang tatkala kedua orang tuanya membuka pintu dan memberondong masuk. Untung saja Felisha sudah sempat menyembunyikan kristal hijaunya ke kolong tempat tidur.
"Apa yang kaucari-cari di lantai itu? Ada apa ya, Felisha?" terdengar suara Bu Quenby Clara yang sarat akan kekhawatirannya.
"Tidak apa-apa… Aku sedang mencari sandal jepitku yang terdorong masuk hingga ke dalam kolong tempat tidur. Aku mau ke kamar mandi nih… Sudah malam begini, kenapa Ayah dan Ibu masih belum tidur dan ke kamarku ya?" tanya Felisha Aurelia, pura-pura dengan gaya kebingungannya.
"Tadi kami dengar ada suara benda berat yang jatuh begitu. Suaranya berasal dari kamarmu ini. Kau tidak dengar?" tanya Bu Quenby Clara sembari sedikit mengerutkan dahinya.
Felisha Aurelia terperanjat sejenak. Jadi suara tadi terdengar hingga ke kamar Ayah dan Ibu? Namun, Felisha Aurelia berpura-pura seolah-olah dia tidak tahu apa-apa.
"Suara benda yang jatuh? Benda apa itu?" Felisha Aurelia mengerutkan dahinya kali ini.
"Jelas-jelas tadi ada suara benda jatuh. Suaranya berasal dari kamarmu ini, Felisha. Kami pikir telah terjadi sesuatu padamu." Si ayah menelusuri seisi kamar anaknya dan tidak menemukan tanda-tanda yang mencurigakan.
"Aku tidak dengar loh, Yah, Bu… Suara apa ya? Aku terbangun karena sesak kencing dan aku mau cari sandal jepitku yang biasa aku pakai ke kamar mandi. Ternyata sandal jepitku masuk sampai ke dalam kolong tempat tidur. Pas itu, Ayah dan Ibu langsung masuk." Felisha Aurelia berusaha menampilkan kebingungan yang senetral mungkin.
Ayah dan ibunya saling berpandangan sesaat.
"Sepertinya dari rumah sebelah, Wan…" kata Bu Quenby Clara.
Pak Erwan Viraluo mangut-mangut, "Bisa jadi… Keras sekali suaranya dan lantai terasa sedikit bergetar. Entah apa yang jatuh itu tadi. Benaran kau tadi tidak mendengar apa-apa, Fel?"
Felisha Aurelia menggeleng cepat, "Tidak loh, Yah… Benaran tidak apa-apa… Mungkin saja suaranya terdengar pas aku lagi terlelap. Mungkin saja suara dan getaran tadi yang membangunkan aku. Entah deh… Kurang jelas karena kan lagi nyenyak-nyenyaknya tidur…"
Felisha Aurelia berusaha sedikit meringis. Pak Erwan Viraluo menelusuri seisi kamar anak perempuannya lagi untuk memastikan tidak adanya tanda-tanda aneh nan mencurigakan.
"Okelah… Mungkin memang benar suaranya dari rumah sebelah, Quenby…" kata Pak Erwan ke istrinya.
"Okelah… Tidak apa-apa deh… Telah berlalu dan memang tidak ada tanda-tanda ketidakberesan di sini. Sudah boleh kembali tidur kau, Fel," kata si ibu.
Ayah dan ibu Felisha Aurelia keluar dari kamarnya. Felisha mengunci pintu kamarnya dari dalam supaya kedua orang tuanya tidak memberondong masuk lagi. Felisha segera bergerak ke kristal hijau yang ia sembunyikan di bawah kolong tempat tidur tadi. Ia sedikit bernapas lega. Untung saja ayah ibunya tidak mengecek apa sebenarnya yang dicari-cari Felisha di bawah kolong tempat tidur. Jika mereka sempat menemukan kristal hijau ini dan sesosok tubuh lelaki telanjang di dalamnya, entah penjelasan apa yang harus diberikan Felisha kepada kedua orang tuanya.
"Apa yang harus aku lakukan supaya kau bisa keluar dari kristal hijau ini, Boy?" Felisha Aurelia terdengar seakan-akan sedang bersenandika dengan dirinya sendiri.
Berpikir detik demi detik, menit demi menit, jam demi jam, Felisha benar-benar kehilangan akal apa yang harus diperbuatnya terhadap kristal yang ada di hadapannya. Pikiran terus membelandang dari titik kemungkinan ke titik kemungkinan yang berikutnya. Lelah karena terus melanglang di alam pikirannya, tanpa sadar akhirnya Felisha Aurelia jatuh tertidur di atas kristal hijau tersebut. Tampak wajah sang putri cantik jelita yang dekat sekali dengan wajah sang pangeran tampan. Keduanya hanya dipisahkan oleh sebuah alas kristal berwarna hijau terang.
Malam berganti pagi. Sinar matahari mulai menerobos masuk ke dalam kamar melalui tirai jendela. Felisha Aurelia terbangun karena sinar matahari yang begitu terang nan menyilaukan mata.
Felisha membuka kedua matanya secara perlahan. Akhirnya, dia kembali ke alam realita. Pikiran segera aktif. Ia kembali ke pokok permasalahan yang solusinya tak kunjung ditemukan. Kepala diangkat dari kristal hijau. Mata memandang ke seraut wajah tampan yang tampak terlelap dalam kristal hijau tersebut. Kembali terdengar desahan napas panjang Felisha.
Meski dalam keadaan tertidur pun, kau tetap terlihat tampan, Boy… Aku sedang merenung… Apakah ini kesan pertama yang kudapatkan ketika aku pertama kali bertemu denganmu di bar pada malam hari itu? Ataukah pada waktu itu, aku mendapatkan kesan bahwasanya aku bisa mempercayakan masa depan kita ke tanganmu? Ataukah pada waktu itu, aku mendapatkan kesan bahwasanya aku bisa melewati berbagai samudra dengan ombak terganas sekalipun asalkan kau tetap berada di sisiku? Oh, Boy… Aku sungguh-sungguh mencintaimu…
Felisha tanpa sadar mendaratkan sebuah kecupan mesra ke kristal hijau yang ada di hadapannya. Sinar hijau mulai bersinar terang-benderang meski keadaan kamar sudah terang. Kristal hijau berubah kembali menjadi sebuah mesin tik kuno yang sering digunakan oleh Boy Eddy di masa lalu.
Felisha sama sekali tidak menyadari hal itu. Kecupan mesra kali ini mendarat dengan mulus di bibir sang pangeran tampan. Sekujur tubuh sang pangeran pujaan tampak bersinar hijau terang benderang. Perlahan-lahan, Boy Eddy mulai membuka kedua matanya. Dia mendapati sang putri masih dalam jarak yang begitu dekat dengannya, memejamkan kedua matanya, menikmati setiap detik dan menit kedekatan mereka.
Felisha Aurelia perlahan-lahan membuka kedua matanya. Dia sedikit terperanjat kaget. Rupa-rupanya sang pangeran pujaan sudah terbebas dari kristal hijau dan sudah membuka kedua matanya. Felisha Aurelia cepat-cepat mengangkat kepala dan tubuhnya, dan juga menutupi kedua matanya dengan sepasang tangannya.
"Cepatlah berpakaian, Boy… Oh, Boy… Kenapa kau tidak beritahu aku bahwasanya kau sudah sadar?" Felisha tampak begitu tersipu-sipu malu.
"Kalau aku beritahu kau aku sudah sadar, ciuman tadi… takkan bertahan lama. Aku tidak menginginkan ciuman tadi cepat berakhir begitu saja," kata Boy Eddy mulai melingkarkan kedua tangannya ke pinggang sang putri pujaan.
"Apakah… Apakah… kau sudah berpakaian, Boy?" tanya Felisha Aurelia masih dalam kondisi menutupi kedua matanya.
"Ini kan di dalam kamarmu. Mana ada pakaian laki-laki di sini…" bisik Boy Eddy dengan sebersit senyuman nakal menghiasi sudut bibirnya.
"Oh iya… Aku sudah lupa… Kita sedang berada di kamarku dan sama sekali tidak ada pakaian laki-laki di sini…"
"Lagipula, tadi ketika aku masih terlelap, kau berani buka mata dan menciumku. Sekarang setelah aku sadar dan membuka mata, kau langsung merasa malu dan menutup mata seperti ini. Ternyata diam-diam tadi kau melakukan hal tidak senonoh padaku ketika aku dalam kondisi lengah dan tidak sadarkan diri. Coba bilang… Bagaimana kau bisa mempertanggungjawabkan hal tadi kepadaku?" Boy Eddy diam-diam meringis dan tersenyum nakal.
"Kau adalah laki-laki… Kau kan… kan… tidak perlu pertanggungjawaban bukan…?"
"Siapa bilang? Laki-laki membutuhkan pertanggungjawaban secara moril dari perempuan yang ia cintai dan ia kasihi, asal kau tahu saja…" Boy Eddy berusaha membuka kedua mata sang putri pujaan dan mendekatkan wajahnya ke wajah sang putri pujaan.
Felisha Aurelia bisa merasakan desahan napas sang pangeran pujaan yang begitu dekat. Dia yakin sekali… Kali ini sang pangeran pujaan benar-benar sudah kembali menjadi manusia.
"Oke… Oke… Aku akan bertanggung jawab… Aku akan bertanggung jawab nanti… Tapi kau berpakaianlah terlebih dahulu. Oke kan?"
Boy Eddy meledak dalam tawa renyahnya. Dia menjentikkan jarinya. Kaus hijau dan celana jeans warna hitam tampak sudah membalut sekujur tubuhnya.
"Bercanda deh, Fel… Sejak jadi Valencia dulu sampai sekarang kau tetap gampang dicandain."
"Kau… Kau… Kau masih memiliki kekuatan gaibmu yang dulu, Boy?" perlahan-lahan Felisha Aurelia membuka matanya dan takjub menatap sang pangeran pujaan sudah berpakaian lengkap sekarang.
"Iya… Karena kami tetap memaksa ingin meneruskan satu kehidupan ini lagi di alam manusia, Dewa 5 Unsur juga takut mereka akan dihukum oleh Maha Dewa dan Maha Dewi ketika mereka memberi laporan nanti. Jadi, sebagai gantinya, kami bertiga harus meneruskan kerjaan kami sebagai tiga malaikat pengantar nyawa sehingga Dewa 5 Unsur nanti memiliki alasan yang bisa dipertimbangkan dalam laporan mereka nanti. Aku kembali menjadi malaikat pengantar nyawa, kau tidak keberatan bukan?"
Felisha tersenyum cerah dan menggeleng santai, "Sama sekali tidak… Aku tahu kau memiliki pertimbangan dan pandanganmu sendiri. Asalkan kau tidak melupakan aku dan tetap mencintaiku, selanjutnya aku akan mengikutimu, Boy… Terus mengikutimu ke mana pun kau melangkah… Selanjutnya, kau akan terus terganggu karena kehadiranku."
Boy Eddy meraih sang putri pujaan ke dalam pelukannya. Senyum mulai menebar ke berbagai arah. Kebahagiaan mulai menggeliat nan menggeligit kuncup sanubari dua insan yang kembali dimabuk asmara itu.
Ketukan di pintu kamar sedikit mengganggu kemesraan mereka berdua. Boy Eddy berubah kembali menjadi asap hijau dan menghilang dari hadapan Felisha. Mau tidak mau Felisha berdiri dan membuka pintu kamarnya.
"Ada apa, Bu? Baru jam tujuh nih…" kata Felisha berpura-pura mengantuk di hadapan Bu Quenby Clara.
"Itu di bawah ada Hengky yang mencarimu. Katanya mau sama-sama pergi sarapan dulu. Habis itu, dia akan mengantarmu ke kantor. Orang sudah datang pagi-pagi begini, jangan kau sia-siakan lagi usaha orang ya…" kata Bu Quenby Clara sedikit menyipitkan matanya.
"Sudah berkali-kali aku bilang, Bu… Kenapa Ibu masih tidak mengerti? Aku tidak ingin menikah dengan Hengky! Kenapa Ayah dan Ibu terus memaksa sih!" terdengar suara Felisha Aurelia yang naik beberapa oktaf.
"Usiamu sudah memasuki saat yang tepat bagimu untuk menikah. Sekarang ada Hengky yang tertarik padamu dan dengan gigih mengejar-ngejarmu. Kok kau bodoh sekali mau menyia-nyiakan laki-laki dengan kriteria yang istimewa seperti Hengky itu, Fel?" suara Bu Quenby Clara juga naik beberapa oktaf.
"Aku sudah ada calon pilihanku sendiri, Bu. Aku memang akan menikah. Aku memang akan mendiskusikan rencana pernikahanku dengan Ayah dan Ibu dalam beberapa waktu ke depan. Namun, aku takkan menikah dengan Hengky Fredieco. Aku sama sekali tidak mencintainya. Sekarang Ibu mengerti kan?"
Terhenyak kaget, Bu Quenby Clara menjadi tergagap-gagap.
"Calon sendiri? Calon siapa? Kok selama ini kau tidak pernah ajak dia makan di rumah sekaligus memperkenalkannya kepada Ayah dan Ibu?"
"Dia… Dia… Dia selama ini bekerja di luar negeri," kata Felisha Aurelia asal-asalan. "Tapi, hari ini dia pulang ke Medan kok. Jika dia sudah sampai, aku akan memperkenalkannya kepada Ayah dan Ibu."
Bu Quenby Clara memerlukan waktu beberapa menit untuk mencerna kalimat-kalimat anak perempuannya.
"Aku mau siap-siap dulu, Bu…" Felisha kembali menutup pintu kamarnya. Ia tampak bersandar pada pintu kamar dengan sedikit kesal.
Sinar hijau berkelebat lagi. Sinar hijau berubah lagi menjadi sosok Boy Eddy di dalam kamar Felisha Aurelia.
"Kok kau langsung bilang akan memperkenalkan aku ke kedua orang tuamu tanpa menanyakannya terlebih dahulu kepadaku?" Senyuman Boy Eddy sungguh terlihat menggemaskan di mata Felisha Aurelia.
Felisha Aurelia memeluk sang pangeran pujaan. "Sorry… Really really sorry, Boy… Mendadak datang lagi si Hengky Fredieco dan aku tidak tahu lagi bagaimana caranya supaya Ayah dan Ibu bisa berhenti menjodohkan aku dengannya."
Boy Eddy menatap lekat-lekat ke mata sang putri pujaan. "Kau benaran ingin menikah dengannya?"
"Tentu saja tidak… Daripada menikah dengannya, lebih baik aku menjadi bhiksuni saja dan belajar untuk mencapai pembebasan."
Boy Eddy meletakkan jari telunjuknya di depan bibir sang putri pujaan. "Jangan pernah katakan hal itu lagi. Jika kau sudah mencapai pembebasan, aku juga mau mencapai pembebasan. Kita berdua akan sama-sama lenyap dari tali lingkaran percintaan ini."
Felisha sedikit terkekeh-kekeh, "Just kidding, Boy… Masih ada banyak hal yang belum aku lakukan dan aku lihat bersama-sama denganmu…"
"Oke… Dalam satu kehidupan ini, kita akan sama-sama mengumpulkan karma baik sehingga ketika kita kembali ke alam surgawi sana, ilmu kekuatanmu sudah setara denganku. Dengan demikian, Maha Dewa dan Maha Dewi akan mengizinkan kita bersama dan merestui hubungan kita. Kau mau kan?"
Felisha Aurelia mengangguk mantap. Kembali Boy Eddy merengkuh sang putri pujaan ke dalam pelukannya. Kali ini, Felisha Aurelia bisa menemukan sebentuk kehangatan yang asli nan nyata.
Cinta dan senandung surgawi perlahan bergelitar di tudung sanubari kedua insan tersebut.
***
Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan lewat sedikit ketika Felisha Aurelia turun, dan langsung berjalan ke arah pintu depan mengabaikan ayah ibunya yang sedang bercengkerama dengan Hengky Fredieco di ruang tamu.
"Fel! Fel! Felisha!" Hengky Fredieco mencegat lengan Felisha ketika dilihatnya gadis itu melewati ruang tamu begitu saja.
"Aku sudah terlambat pergi ke kantor. Ada yang bisa aku bantu, Hengky Fredieco?" terdengar nada suara Felisha Aurelia yang dingin.
Erwan Viraluo sudah ingin menghardik anak perempuannya ketika Bu Quenby Clara mengangkat tangan kanannya di depan wajah sang suami, menahan emosinya.
"Tadi sebenarnya ingin mengajakmu pergi sarapan sama-sama dulu. Habis itu, baru mengantarmu pergi ke kantor. Tapi, kau lama sekali turunnya. Sekarang hanya bisa mengantarmu ke kantor." Hengky Fredieco tampak berusaha untuk tersenyum.
"Thanks sebelumnya sudah mau membuang-buang waktumu untuk mengantarku ke kantor. Tapi, aku sudah terlanjur janji sama orang. Sudah ada yang akan mengantarku pergi ke kantor hari ini, Hengky."
"Hah? Siapa tuh?" Hengky Fredieco sedikit kebingungan.
Felisha Aurelia menatap Hengky Fredieco lekat-lekat dan menyebutkan sebuah nama, "Boy… Boy Eddy Wangsa…"
Hengky Fredieco langsung terhenyak. Dia terlihat mundur dua langkah ke belakang. Beberapa kepingan ingatan dan kenangan lama muncul kembali ke permukaan. Dendam dan kebencian lama kembali mencuat ke permukaan.
Bu Saniyem mempersilakan Boy Eddy masuk. Boy Eddy masuk dan segera memberi salam kepada Pak Erwan Viraluo dan Bu Quenby Clara.
"Pagi, Paman… Pagi, Tante… Aku akan mengantar Felisha ke kantor," kata Boy Eddy dengan jelas, singkat, padat, berisi.
Bu Quenby Clara memperhatikan kegantengan Boy Eddy dengan mata tanpa kedip dan dengan mulut yang sedikit menganga. Pak Erwan Viraluo hanya mengangguk. Memang sebelumnya istrinya sudah menceritakan tentang percakapannya dengan anak perempuan mereka di depan pintu kamar si anak tadi pagi.
Pak Erwan mulai mereka-reka. Tidak jelek juga nih anak… Dari penampilannya, terlihat dia setara dengan Hengky Fredieco Godwin… Tapi, bisa saja penampilan menipu bukan? Harus tahu dulu di mana ia tinggal dan latar belakangnya itu seperti apa.
Kini, Hengky Fredieco hanya bisa menatap Boy Eddy Wangsa dengan tatapan nanar. Tidak salah lagi… Dia adalah Boy dari kehidupan lampau… Dia adalah Boy Eddy Wangsa. Ingatanku tidak sepenuhnya kembali. Ingatan Felisha sudah sepenuhnya kembali. Felisha kini terjun kembali ke dalam pelukannya. Felisha kini bersama-sama lagi dengan si Boy Eddy Wangsa ini. Kenapa bisa demikian? Kenapa dari satu kehidupan ke kehidupan yang berikutnya, aku harus selalu kalah dari Boy Eddy Wangsa ini? Kenapa…?
"Siapa namamu, Anak Muda?" tanya Pak Erwan Viraluo.
Pak Erwan Viraluo berpaling ke istrinya. Dia mencubit lembut paha istrinya ketika disadarinya sejak tadi sang istri hanya memperhatikan lelaki muda yang ada di depannya ini dengan sinar mata terpesona dan mulut yang sedikit menganga. Tampak Bu Quenby Clara tersentak kaget sejenak.
"Namaku Boy, Paman… Boy Eddy Wangsa… Aku terbiasa dipanggil Boy saja. Sebenarnya aku sudah mengenal Felisha sejak masa SMA kami dulu. Hanya saja, aku empat tahun kuliah di Australia dan kemarin baru balik Medan." Boy mengedipkan sebelah matanya kepada Felisha Aurelia tanpa sepengetahuan Hengky Fredieco dan kedua orang tua Felisha.
Felisha Aurelia berdecak kagum. Dia sedikit terpana dengan kebohongan Boy Eddy yang begitu mengagumkan.
"Oh ya…? Jadi sekarang sudah tamat dan balik Medan?" tanya Pak Erwan Viraluo lagi.
Boy Eddy melemparkan sebersit senyuman ringan, "Begitulah, Paman…"
"Ayah dan Ibu tinggal di Medan nih?" tanya Pak Erwan lagi dengan pandangan menyelidik.
"Tidak… Mereka di Jakarta. Ini rencananya kami mau buka cabang baru di Medan, jadi begitu aku tamat, aku langsung ke Medan untuk meninjau lokasi, sekaligus untuk… untuk menemui Felisha. Aku sudah rindu sekali pada Felisha." Sebersit senyuman tipis tampak menghiasi ujung bibir Boy Eddy.
Sekali lagi Felisha berdecak kagum dengan kebohongan yang keluar dari mulut Boy Eddy.
"Bisnis apa kalau Paman boleh tahu?" Pak Erwan Viraluo mulai menunjukkan ketertarikannya terhadap latar belakang yang diceritakan oleh Boy.
Felisha Aurelia merasa sedikit muak dengan raut wajah ayahnya. Entah jadi Roberto Fang, entah jadi Erwan Viraluo, sejak dulu kau tidak pernah berubah, Ayah… Selalu saja menilai segala sesuatu dari uang, harta, dan jabatan…
"Pabrik ban, Paman… Kami menjual segala jenis ban, sampai ke ban truk, gerobak dan mobil container."
Felisha Aurelia berdehem sebentar. Dia terbatuk-batuk ringan mendengar kebohongan yang berhasil dikarang oleh Boy Eddy.
"Oke… Oke… Jadi, ini rencananya memang mau mengantar Felisha pergi ke kantor? Tidak sarapan dulu?" Bu Quenby Clara berusaha menunjukkan senyumannya yang paling manis. Namun, beberapa saat kemudian dia langsung tersadarkan Hengky Fredieco masih berdiri di sana. Tentu saja Hengky Fredieco tidak boleh diabaikan.
"Ini ada satu teman Felisha juga, Boy. Kami tidak tahu kau dan Felisha itu… itu… sudah berpacaran sejak duduk di bangku SMA. Jika seandainya kami tahu, kami tentu saja takkan… takkan…" Bu Quenby Clara kehabisan kata-kata bagaimana menjelaskan kekakuan tersebut.
Hengky Fredieco masih berdiri di tempatnya dengan tatapan nanar. Boy Eddy berpura-pura kebingungan dan tidak memahami situasi yang tengah terjadi.
"Siapa lelaki ini, Fel?" tampak senyuman tipis menghiasi sudut bibir Boy.
"Dia rencananya… rencananya… rencananya mau dijodohkan oleh Ayah dan Ibu kepadaku. Sorry, Boy… Aku rencananya mau tunggu sampai kau balik baru memperkenalkanmu kepada Ayah dan Ibu. Aku sungguh tidak menyangka Ayah dan Ibu sudah memiliki pilihan mereka sendiri yang akan mereka jodohkan kepadaku," Felisha mengikuti jalur permainan akting sang pangeran pujaan.
"Oh… Begitu ya… Salahku juga sih selama empat tahun belakangan ini tidak pernah mengklarifikasi hubungan kita di depan Paman dan Tante."
"Tidak apa-apa… Tidak apa-apa…" Kali ini Pak Erwan Viraluo berdiri dan meletakkan tangannya di bahu Boy Eddy. "Semuanya adalah teman bukan? Karena Hengky sudah berada di sini, bagaimana kalau kalian bertiga pergi sarapan sama-sama saja, dan habis itu Boy baru mengantar Felisha ke kantor?"
"Ada yang ingin aku luruskan dengan Felisha di sini, Paman…" celetuk Boy tiba-tiba.
Pak Erwan Viraluo sedikit mengerutkan dahinya.
"Apa itu, Boy?" Felisha Aurelia juga terlihat sedikit mengerutkan dahinya.
"Jadi… Jadi… kau berencana menyetujui perjodohan yang diatur oleh Paman dan Tante, dan… dan… dan akan menikah dengan Hengky ini?" tanya Boy Eddy menatap lurus-lurus ke mata Felisha.
Felisha menundukkan dan kemudian mengangkat kepalanya lagi, "Bagaimana baiknya kalau menurutmu, Boy? Sudah… Sudah banyak yang kita lalui bersama, dan sudah banyak yang kauberikan kepadaku. Apakah… Apakah… Apakah kau akan meminta semua itu kembali jika aku memang berencana menikah dengan Hengky?"
"Kembalikan semua jika kau memang ingin mengembalikannya. Jika kau tidak ingin mengembalikannya, jangan kembalikan apa pun. Bawalah pergi semua yang telah kuberikan kepadamu…"
Felisha Aurelia kini tersenyum cerah dan penuh semangat, "Oke… Aku takkan mengembalikannya. Aku akan membawa semua yang telah kauberikan kepadaku selama ini, termasuk juga… termasuk juga… dirimu…"
Senyuman cerah juga merekah di sudut bibir Boy Eddy. Tangan naik dan membelai-belai kepala dan rambut sang putri pujaan. Hengky Fredieco sedikit menundukkan kepalanya dan langsung mundur dari tempat tersebut. Bu Saniyem membuka pintu dan mempersilakan tamunya keluar.
Hengky Fredieco masuk ke dalam mobil. Dia menginjak pedal gas kuat-kuat. Dengan secepat kilat, mobil langsung meninggalkan areal halaman depan rumah Felisha Aurelia. Ingatanku tidak sepenuhnya kembali. Apakah di masa lampau, aku telah berutang sesuatu pada si Boy Eddy Wangsa ini sehingga di kehidupan ini lagi-lagi aku kalah darinya? Felisha sudah lebih dulu terjun ke dalam pelukannya. Felisha terlihat sangat mencintainya. Felisha terlihat akan rela menyerahkan hati dan masa depannya ke tangan si Boy Eddy Wangsa ini. Sial! Sial! Sial!
Pak Erwan Viraluo hendak mencegah kepergian Hengky Fredieco, tapi langkah-langkah pemuda itu begitu cepat nan tak terukur. Dalam sekejap, Hengky Fredieco sudah menghilang ke balik pintu depan.
Pak Erwan Viraluo dan Bu Quenby Clara hanya bisa saling berpandangan sejenak sepeninggal Hengky Fredieco dari rumah mereka.
Tak ada yang bicara lagi setelah itu. Tampak Boy Eddy dan Felisha Aurelia hanya mengumbar kemesraan mereka di depan kedua orang tua Felisha.