webnovel

Reputasi & Harga Diri

BAB 10

"Jadi, Qomar Shia Putra itu juga hidup di Tanah Deli pada tahun 1932? Dan kita berdua juga mengenalnya?"

Kenny Herry mengangguk mantap. "Begitulah… Tapi, kau belum mengingat sampai sana, Gel. Tunggu sampai kau sudah bisa mengingatnya, aku akan menceritakannya secara lengkap kepadamu."

Angela tampak mangut-mangut mendengarkan penuturan Kenny Herry. Dia teringat ke satu hal.

"Ada satu hal yang terus membuatku penasaran selama ini. Apakah… Apakah kita – aku dan kau – berakhir dengan tragis?"

Kenny Herry menatap Angela lekat-lekat. Dengan sebersit senyuman kecut, dia membuang pandangannya ke arah lain. Akhirnya, dia mengangguk mengiyakan.

Angela merasa sedikit sedih. "Sudah kuduga… Setiap kali memikirkan bagaimana kita bisa berakhir dan berpisah di kehidupan lampau, hatiku sakit sekali. Air mata ini ingin menetes turun saja."

Kenny Herry tampak menerawang ke cakrawala malam.

"Pada awalnya aku bahkan tidak ingin melihat dunia luar. Tidak dapat melihatmu, aku tidak ingin melihat dunia luar. Aku mengunci diriku dalam sebuah dunia kegelapan. Sepuluh tahun berlalu dan akhirnya aku bertemu dengan Boy dan Jacky – dua sahabatku – yang selama sepuluh tahun itu juga mengunci diri mereka dalam dunia kegelapan masing-masing. Bertiga kami mengembara bersama-sama dan juga menjadi saksi dari kemerdekaan negeri ini pada tahun 1945 dan 1949. Pada tahun 1950 kami didatangi oleh Dewa 5 Unsur. Ada perjanjian antara kami bertiga dengan Dewa 5 Unsur. Akhirnya, kami mengemban tugas yang diberikan oleh Dewa 5 Unsur, sampai sekarang seperti yang kaulihat."

"Dengan syarat kalian tidak boleh membocorkan rahasia identitas kalian sendiri?"

"Begitulah…" senyuman kecut Kenny Herry terpancar lagi dari wajahnya.

Rasa haru kembali meruak di relung-relung hati Angela. "Kau mengunci dirimu dalam sebuah dunia kegelapan… Dunia apa itu, Ken?"

"Berupa sebuah benda – benda yang sering kugunakan semasa hidup."

Kenny Herry membuka telapak tangan kanannya dan muncullah sebuah swipoa kuno, terbuat dari kayu berkualitas bagus dan berwarna cokelat muda. Angela berlumang takjub melihat swipoa kuno itu. Satu pikiran mencuat ke permukaan setelah ia melihat swipoa kuno tersebut.

Tampak Kenny Herry dalam pakaian model China klasik warna biru dan Belinda Yapardi dalam baju model China klasik warna merah muda dengan motif bunga melati – duduk di ruang tamu rumah mereka yang dulu. Tampak Belinda Yapardi menyuguhkan segelas teh hangat dan sepiring kecil kue tar rasa blueberry untuk sang suami. Tampak Kenny Herry yang sedang menghitung semua penerimaan dan pengeluarannya selama satu bulan itu. Tangannya lincah sekali menari-nari dengan kecepatan tinggi di atas swipoa kuno miliknya. Belinda Yapardi berlumang takjub melihat teknik penghitungan sang suami yang sangat cepat.

"Jangan melihatku seperti itu. Grogi jadinya aku… Nanti aku bisa salah hitung…" kata sang suami sedikit berseloroh.

"Mana mungkin… Kenny Herry Yanto Wangdinata yang sudah terkenal sebagai seorang pengusaha muda dengan teknik penghitungan dan teknik permainan swipoanya yang jarang sekali silap, tidak mungkin bisa salah dalam penghitungan beberapa jurnal penerimaan dan pengeluaran kas sederhana seperti ini."

"Kau selalu berhasil dalam membuat suamimu ini besar kepala, Belinda…"

"Tanganmu cepat sekali dalam memainkan manik-manik swipoa ini. Sebenarnya aku selalu merasa penasaran. Waktu penghitungan, apakah kau masih melihat ke manik-maniknya atau kau hanya melihat ke jejeran angka-angka yang ingin kauhitung itu?"

Penghitungan selesai. Kenny Herry mencantumkan jumlah yang didapatnya. Dia menyingkirkan sejenak swipoa dan laporan neraca keuangannya. Dia mulai mencicipi teh dan kue tar yang disuguhkan sang istri.

"Ala bisa karena biasa, Belinda. Itu akan menjadi teknik rahasia kita ketika jari-jari tangan kita sudah terbiasa dengan manik-manik yang ada pada swipoa ini."

Tampak senyuman cerah sang istri mendengarkan penuturan sang suami.

"Oh ya… Aku ingat sekarang. Sebagai seorang pengusaha sawit muda pada waktu itu, aku sering melihatmu menggunakan ini untuk menghitung kas masuk dan kas keluar segala transaksimu, Ken. Astaga… Benda ini masih ada rupanya. Kau masih bisa menggunakannya?"

"Aku lebih terbiasa menggunakan swipoa daripada kalkulator zaman now, Gel…"

Angela terbahak sejenak. "Ya… Bisa dibilang kau termasuk ke golongan orang tua yang berumur 100 tahun lebih sekarang."

"Aku sudah tua sekarang… Sangat tua… Kau tidak sadar kau sedang bersama-sama dengan seorang kakek tua sekarang?" terdengar Kenny Herry sedikit berseloroh lagi. "Bagaimana kalau suatu hari nanti kekuatanku hilang dan aku menjadi terlihat sangat tua?"

"Bagus dong itu… Dengan demikian bukan hanya aku yang menua. Aku akan minder jika hanya aku sendiri yang menua sementara kau tetap tampak muda. Jika kau terlihat tua, aku tidak perlu minder lagi. Aku bisa memperkenalkanmu sebagai kakekku, sebagai ayahku, sebagai pamanku, sebagai abangku, dan kemudian sebagai kekasihku yang sudah lama berpisah."

Angela merebahkan kepalanya ke bahu sang malaikat biru.

"Walau pada awalnya kita berdua itu dijodohkan, aku senang bisa mengenalmu dan menjadi istrimu, Ken. Akankah kita menjadi suami istri lagi di kehidupan sekarang?"

Kenny Herry mengangguk. "Akan kupastikan kau menjadi istriku lagi di kehidupan sekarang, Gel. Sudah 80 tahun aku menunggu. Tentu saja aku takkan membiarkan kesempatan ini terbang pergi begitu saja."

Angela tersenyum cerah. Dia yakin pada perkataan sang malaikat birunya. Asa bahagia perlahan menggelincir di padang sanubari Angela.

"Aku harus kembali sekarang, Gel. Masih ada banyak laporan kereta api pengantar yang belum aku selesaikan. Sebelum langit terang besok pagi nanti, aku sudah harus menyerahkan laporan tersebut kepada Dewa 5 Unsur."

"Laporan apaan sih? Aku tidak habis pikir ketika sudah menjadi malaikat sekalipun, kau masih harus disibukkan oleh segudang laporan – sama seperti ketika kita hidup di Tanah Deli dulu. Aku yang bantu kau ketikkan saja laporan-laporan itu. Kau bacakan dan aku ketikkan."

"Kau yakin? Kau bisa terjaga sepanjang malam loh…" Kenny Herry sedikit mengerutkan dahinya.

"Dan aku juga yakin kau pasti bisa membuatku tidak mengantuk malam ini, besok pagi sampai besok malamnya. Iya kan?"

"Tapi sekali tidur, kau bisa tidur sampai Senin malamnya…"

"Gampang… Kau bisa bantu aku mengantarkan surat izinku ke kampus dan ke PT. Keramik Rusli pada Senin paginya kan?" tampak Angela sedikit cengengesan. "Kepada ayah ibuku, aku bisa bilang ke mereka aku ke Berastagi barengan teman-teman kantorku sampai dengan Senin malam. Dengan demikian, aku bisa tidur di kereta api magis saja sampai dengan Senin malamnya. Oke kan?"

Tampak Kenny Herry mendengus sebentar dan kemudian merapatkan sepasang bibirnya. "Dari dulu sama saja… Kau selalu punya akal jika kau sudah bertekad mendapatkan apa yang kauinginkan."

Angela terbahak sejenak. Kenny Herry membuka telapak tangan kanannya lagi. Muncullah sebuah mesin tik kuno. Dia mengibaskan tangannya. Muncullah sebuah meja kerja dan sebuah kursi di depannya. Mata Angela terpana dengan apa yang dilihatnya.

"Sekarang mesin tik. Apakah dulu kau juga mengunci diri di dalam mesin tik ini, Ken?" Angela tampak berlumang takjub.

"Tidak… Mesin tik ini punya Boy. Aku pinjam darinya karena memang aku akan menyelesaikan laporanku kepada Dewa 5 Unsur dengan mesin tik ini," tampak Kenny Herry melemparkan sebersit senyuman santai.

"Wah, jadi Boy selama sepuluh tahun itu juga mengunci dirinya di dalam mesin tik ini. Jadi Jacky mengunci diri di mana ya, Ken?"

"Dulu semasa hidup dia ada menerima beberapa murid privat les bahasa Inggris dan bahasa Belanda di rumahnya. Dia menggunakan semacam kartu-kartu petunjuk ketika mengajarkan mengenai tanda-tanda baca kepada murid-murid privatnya. Nah, dia mengunci diri di dalam kartu-kartu itu."

Angela menepuk ringan jidatnya sejenak. "Kalau itu sekarang namanya adalah flash cards. Jadi kau mengunci diri di dalam swipoa kuno milikmu; Boy mengunci diri di dalam mesin tik; dan Jacky mengunci diri di dalam kartu-kartu petunjuk pengajarannya."

"Begitulah… Jadi jangan kau kira jadi malaikat dan jadi hantu itu enak ya, Gel… Kami harus melalui serangkaian derita dan gulana untuk mencapai tahap kami yang sekarang," Kenny Herry melemparkan sebersit senyuman kecut.

Angela tampak cengengesan. "Kau membuatku jadi merasa bersalah karena begitu meninggal, aku langsung menyeberangi lautan reinkarnasi dan terlahirkan di kehidupan yang selanjutnya."

"Oke deh… Lupakan masalah swipoa, mesin tik, dan flash cards itu dulu. Tadi kau bilang kau akan membantuku mengetikkan laporan-laporanku kan? Kau tidak bermasalah memakai mesin tik saja, bukan komputer?"

"Tentu saja tidak ada masalah. Kan susunan huruf-hurufnya sama saja. Untuk mengetik, aku ada sertifikatku – asal kau tahu saja. Jadi, aku bisa mengetikkan 80 hingga 90 kata per menit."

"Oke deh… Kita mulai saja… Aku jadi penasaran apakah sekarang kau bisa mengetik secepat itu. Seingatku dulu kau hanya pintar bicara. Satu huruf secara tertulis pun kau tidak kenal," Kenny Herry tergelak sejenak.

"Zaman sudah berubah," tampak Angela sedikit bersungut-sungut. "Aku hidup di zaman modern sekarang dan tidak bersuamikan pria kaya raya seperti dulu. Minimal yah aku harus menguasai huruf A sampai Z, angka 0 sampai 9 untuk bertahan hidup."

"Oke… Oke… Bercanda… Bercanda… Kita mulai ya…"

Angela mengangguk. Kenny Herry mulai membacakan nama-nama arwah yang sudah pernah dijemput oleh kereta api pengantar dan alasan-alasan kematian mereka. Mulai terdengar suara mesin tik memecah kesunyian malam. Meski suara mesin tik terdengar begitu nyaring, sama sekali tidak ada satu tetangga pun yang membuka jendela kamar dan memarahi mereka. Semuanya seolah-olah tidak mendengar suara mesin tik tersebut. Mesin tik terus berbunyi menembus udara malam yang dingin – begitu menghentak, begitu konsisten, begitu berkesinambungan.

Cinta merambak dan perlahan menyelangkupi batin Kenny Herry.

***

Medan, 20 Mei 2018

Kereta api magis berjalan di atas relnya, dalam dimensinya seperti biasa.

Para pembantu menyiapkan tiga cangkir teh, tiga piring kecil kue tar – masing-masing dengan warna biru langit, hijau muda, dan merah muda. Tiga sahabat The Amazing Boys muncul dengan kostum masing-masing dan duduk di depan kue tar masing-masing. Tampak ketiganya mulai melahap kue tar yang disuguhkan.

"Aku suka makan kue tar dan minum teh di pagi hari setelah semalaman bekerja keras. Itu seperti hadiah dan penghargaan bagi diriku sendiri," Kenny Herry tampak sangat menikmati kue tarnya.

"Bekerja keras semalaman? Sepertinya kemarin malam kau melarikan diri dari tugas dan pergi berkencan dengan Angela." Boy Eddy sedikit mengerutkan dahinya. Dia bertukar pandang sejenak dengan Jacky Fernandi.

Jacky Fernandi melemparkan sebersit senyuman santai, "Jangan-jangan kau minta tolong pada Angela untuk mengetikkan semua laporan itu."

Kenny Herry mengulum senyumannya dan membuang pandangannya ke arah lain. Boy Eddy yang sedang menyesap teh hangatnya di pagi hari mendadak tersedak. Jacky Fernandi hanya tampak tersenyum santai.

"Jadi benar kau minta Angela yang bantu ketikkan? Dengan kekuatanmu, kau buat ia terjaga sepanjang malam?" tanya Boy Eddy dengan pandangan tidak percaya.

Kenny Herry mengangguk mantap. "Sebagai gantinya, besok pagi aku akan mengantarkan surat izinnya ke kampus dan tempat kerjanya. Dia akan izin satu hari."

"Hebat kali kau, Ken… Bisa membuat seorang gadis izin kuliah izin kerja satu hari gara-gara membantumu mengetikkan laporan," celetuk Boy Eddy.

"Mmm… Ada satu hal yang belum aku bilang ke kalian, Boy, Jack… Angela sudah tahu nama asliku. Dia juga sudah tahu dia adalah Belinda Yapardi di kehidupan lampau."

Boy dan Jacky memajukan tubuh mereka ke depan beberapa senti.

"Sama dengan Felisha kalau begitu."

"Dan sama dengan Carvany…" tukas Jacky Fernandi santai.

Ketiga malaikat meledak dalam tawa renyah mereka.

"Tapi Angela hanya mengingat kira-kira 40% sih… Belum semuanya… Bagaimana dengan Felisha dan Carvany?"

"Carvany juga hanya kira-kira 40% begitu. Dia ada ketemu satu orang tua murid yang begitu tertarik padanya. Namun, Carvany sama sekali tidak tahu orang tua murid itu adalah Rio Augusto Wiranata di kehidupan lampau. Dia bahkan belum ingat siapa Rio Augusto itu," kata Jacky Fernandi.

"Felisha lebih banyak aku rasa. Dia ada dijodohkan oleh orang tuanya lagi sekarang ke seorang pria yang merupakan anak pemilik sebuah penerbitan terkenal di Jakarta sana. Namanya adalah Hengky Fredieco Godwin. Felisha langsung tahu Hengky Fredieco ini adalah Terry Liandy di kehidupan lampau."

"Angela juga sedikit porsi ingatannya, Friends… Tapi, aku yakin perlahan-lahan dia akan mengingat semuanya. Dia punya tekad yang kuat untuk membawa semua pikirannya dari kehidupan lampau ke kehidupan ini."

"Jadi ketiga kekasih kita sudah mengetahui jati diri kita bertiga tanpa kita sendiri yang membocorkannya bukan? Tinggal selangkah lagi kita bisa kembali ke jati diri dan kehidupan kita yang dulu, Friends…" Boy Eddy memandangi kedua sahabatnya dengan sinar mata penuh arti.

"Iya… Aku sudah menunggu hari itu selama 80 tahun. Aku sudah menunggu selama 80 tahun untuk bisa bersama-sama dengan Ivana lagi…" kata Jacky Fernandi dengan pandangan menerawang.

Kedua sahabatnya meletakkan tangan mereka di bahu Jacky Fernandi.

"Jangan khawatir, Jack…" senyum Kenny Herry.

"Hari itu akan segera tiba…" sahut Boy Eddy.

Jacky Fernandi membalas perkataan kedua sahabatnya dengan sebersit senyuman santai. Kereta api magis terus melaju di atas relnya sendiri, menyambut datangnya hari yang baru, dengan harapan dan perjuangan yang baru.

***

Mobil Kenny Herry berhenti di depan sebuah rumah di kompleks perumahan daerah Timor Baru. Dari luar, rumah tersebut tampak cukup elite. Terdapat pekarangan yang luas, taman yang cukup asri dan terlihat orang perlu jalan beberapa langkah dari pintu pagar ke pintu depan rumah.

Angela menarik napas dalam-dalam. Dia menekan bel rumah. Tak lama kemudian, keluarlah seorang pembantu paruh baya yang membukakan pintu.

"Siapa ya?" tanyanya agak ragu karena ia tidak pernah melihat kedua tamu ini sebelumnya.

"Apakah betul ini rumahnya Audina Ivander Chianago?" dari data rumah sakit yang diperoleh Kenny Herry, memang gadis yang mati bunuh diri itu bernama Audina Ivander Chianago.

"Betul… Tapi Nona Audina sudah meninggal beberapa hari lalu…" tampak si pembantu tak ingin mengatakan lebih lanjut. "Anda-anda ini siapa ya?"

Mulailah Angela sedikit berbohong sesuai dengan petunjuk dari sang malaikat birunya. "Kami teman-teman sekampus Audina Ivander, Bi. Kami juga kuliah di Universitas Cahaya Sempurna. Kami tahu kematian Nona itu adalah karena suatu ketidakadilan. Kami di sini untuk membantu keluarga Nona ini menuntut suatu keadilan. Boleh kami masuk, Bi?"

Tampak si pembantu agak ragu. "Tunggu ya… Saya tanyakan sebentar ke dalam dulu…"

"Oke…"

Si pembantu masuk ke dalam. Angela bertukar pandang dengan Kenny Herry dan menghela napas panjang sejenak. Kira-kira satu dua menit kemudian, si pembantu keluar sambil menenteng kunci. Pintu pagar dibuka; si pembantu mempersilakan kedua tamunya masuk; dan pintu pagar dikunci kembali. Kenny Herry dan Angela mengikuti si pembantu berjalan masuk ke dalam rumah.

Si pembantu mempersilakan kedua tamunya duduk di ruang keluarga. Dia segera menghilang ke dalam.

Kenny Herry melarikan pengamatannya ke seisi rumah yang cukup elite dengan segala perabotannya yang cukup mewah nan elegan. Tak lama kemudian, turun dua orang dari lantai atas. Kedua-duanya sudah berada di akhir empat puluhan mereka. Sekali lihat, Angela dan Kenny Herry sudah tahu ini adalah ayah ibunya Audina Ivander.

"Siang," kata si tuan rumah berusaha melemparkan sebersit senyuman ramah, namun senyuman tersebut sarat akan duka yang masih mendalam.

"Aku Angela Thema dan ini pacarku…" belum sempat Angela memperkenalkan sang malaikat, sang malaikat sudah lebih dulu menyela dan memperkenalkan dirinya.

"Kenny Herry… Panggil saja Kenny…"

Angela tersenyum lebar. Dia geli sendiri karena sang malaikat biru tidak begitu suka menyebutkan nama lengkapnya di depan orang yang tidak begitu ia kenal. Kedua suami istri itu bersalaman dengan Kenny Herry dan Angela.

"Aku Livardo Chianago dan ini istriku…" Pak Livardo menunjuk ke sang istri.

"Clara Bella Bolwin Chianago… Panggil saja Bu Clara…" kata si istri memperkenalkan dirinya dengan sebersit senyuman cerah, tapi lagi-lagi senyuman tersebut sarat akan luka dan duka yang mendalam.

Pasangan suami istri Chianago bersalaman dengan Kenny Herry dan kemudian dengan Angela Thema. Mereka mempersilakan Kenny Herry dan Angela Thema duduk.

"Kata pembantuku tadi kalian adalah teman sekampus Audina ya…?" tanya Pak Livardo.

"Apakah… Apakah… Apakah kalian tahu Audina sudah tidak ada lagi di dunia ini?" diam-diam Bu Clara Bella menitikkan air matanya. Tangan mulai mengambil sehelai tisu dari atas meja.

Kenny Herry dan Angela mengangguk.

"Iya… Kami dengar dia meninggal karena bunuh diri," kata Angela sengaja memelankan kalimatnya.

"Dia mati bunuh diri karena dicampakkan begitu saja oleh laki-laki yang teramat sangat dicintainya, tetapi telah mengkhianatinya. Apakah… itu benar?" tanya Kenny Herry memandang lekat-lekat ke mata pasangan suami istri Chianago.

Suami istri itu bertukar pandang sejenak.

"Dari mana kau mendengar gosip itu, Anak Muda?" tanya Pak Livardo sengaja membelokkan arah pembicaraan mereka. "Audina memang bunuh diri. Tapi, kami sendiri tidak mengetahui apa penyebabnya. Kami yang jadi orang tua saja bisa tidak tahu. Kenapa kau bisa tahu, Anak Muda?"

"Pak Livardo yakin Pak Livardo dan Bu Clara Bella benar-benar tidak tahu?" Kenny Herry meluruskan sorot matanya ke depan. Jelas-jelas kedua suami istri ini berbohong.

"Iya… Audina memang bunuh diri. Tapi, kami sama sekali tidak tahu kenapa ia mesti berbuat nekad begitu. Dia bekerja sebagai guru TK; termasuk guru yang sangat penyayang dan penyabar terhadap murid-muridnya. Malamnya dia kuliah. Di kampus dia juga selalu ikut kegiatan ini kegiatan itu; termasuk orang yang cukup aktif. Kami sama sekali tidak habis pikir kenapa ia mesti berbuat begitu," kali ini Bu Clara Bella meledak dalam tangisnya. Dia mulai menyeka ekor matanya dengan kertas tisu yang masih dipegangnya.

Angela bertukar pandang dengan sang malaikat birunya. Kenapa sampai detik ini, sampai tahap dan kondisi yang demikian, kedua orang tua Audina Ivander Chianago tidak ingin menceritakan yang sebenarnya? Sebegitu pentingkah status dan nama baik bagi mereka? Angela menghela napas panjang. Dia memberi isyarat mata ke sang malaikat birunya petanda dia tidak tahu lagi apa yang mesti dilakukan.

Arwah si gadis yang bunuh diri, dengan kondisi wajahnya yang rata tak berbentuk, kembali memunculkan diri dan duduk di hadapan mereka. Tentu saja, Angela tampak sedikit terperanjat kaget melihat kehadirannya yang mendadak nan tiba-tiba. Dia terus menunjuk-nunjuk ke sebuah kamar tidur yang terletak persis di samping ruang tamu.

"Kalau begitu, kami ingin memastikan sebentar, Pak Livardo, Bu Clara Bella. Itu adalah kamar pribadi Audina bukan?" tanya Kenny Herry mengindikasikan kamar yang ditunjuk-tunjuk oleh si arwah gadis yang mati bunuh diri.

Bu Clara Bella terkesiap di tempatnya. Dia memandang ke suaminya sebentar.

"Iya, benar… Tapi, sama sekali tidak ada petunjuk di sana jika itu yang kaupikirkan, Anak Muda. Kami sudah pernah membongkar seluruh isi kamar itu. Tidak ketemu barang apa pun yang bisa mengarah ke apa sebenarnya yang mendasari Audina bunuh diri, Anak Muda."

"Oke… Boleh kami masuk? Kami ingin melihat-lihat sebentar. Mana tahu ada sesuatu yang lolos dari pengamatan Pak Livardo," sahut Kenny Herry santai.

Mau tidak mau Pak Livardo mengangguk mengiyakan. "Janna! Ambilkan kunci kamar Nona!"

Bu Clara Bella mencengkeram erat tangan kiri sang suami dan kemudian berbisik,

"Kau yakin mau mengizinkan kedua orang ini masuk? Kau benaran sudah membuang semua barang pribadi Audina yang berhubungan dengan laki-laki itu?"

Pak Livardo mengangguk dengan senyuman menenangkan, "Iya… Sudah kusingkirkan semua barang-barang yang berhubungan dengan lelaki bajingan itu. Tentu saja aku tak mau orang-orang tahu bahwa sebenarnya Audina telah dihamili dan kemudian dicampakkan oleh laki-laki bajingan itu!"

Tampak gigi-gigi Pak Livardo bergemelutuk menahan amarah. Perasaan Angela kurang enak mendapati kedua suami istri itu berbisik-bisik di hadapannya. Dia melirik ke sang malaikat birunya sejenak. Tampak sang malaikat birunya sudah memiliki perencanaannya sendiri dan ia tampak tersenyum menenangkan ke arah Angela. Angela sama sekali tidak berani melihat ke arah si arwah karena tidak tahan melihat kondisi wajah si arwah yang sudah tak berbentuk.

Si Janna datang membawa kunci kamar Audina Ivander. Dalam sekejap, kamar dibuka. Kedua suami istri Chianago membawa Kenny Herry dan Angela masuk. Angela mengekor di belakang sang malaikat birunya. Kenny Herry langsung bergerak ke arah yang ditunjuk oleh arwah si gadis yang mati bunuh diri itu. Dia menemukan kantong plastik yang berisikan mainan huruf plastik yang banyak sekali.

"Itu adalah huruf-huruf plastik yang digunakan oleh Audina ketika mengajari murid-muridnya. Dia selalu membawa huruf-huruf itu ke sekolah tempat ia mengajar dan membawanya pulang kembali," Bu Clara Bella tak kuasa membendung deraian air mata lagi.

"Ini miliknya pribadi? Aku tidak paham, Ken… Kenapa dalam mengajar, Audina perlu mengambil alat peraga sendiri? Kan biasanya alat-alat peraga dan pembantu seperti ini sudah disediakan oleh pihak sekolah… Iya nggak sih?" Angela mengerutkan dahinya.

Kenny Herry sengaja menjatuhkan kumpulan huruf-huruf plastik itu ke lantai. Mendadak entah dari mana datangnya angin kencang yang mulai menjatuhkan barang-barang yang ada di dalam kamar. Tampak Angela bersembunyi di belakang sang malaikat biru. Kedua suami istri Chianago mulai merasa gentar. Kenny Herry tetap tampak santai berdiri di tempatnya dan tidak bergeming sedikit pun.

"Ada apa ini, Livardo? Apakah ini menunjukkan arwah Audina masih ada di rumah ini? Kenapa sampai sekarang arwahnya masih belum tenang juga?" teriak si istri.

Si suami mencengkeram lengan kanan atas si istri, "Jangan ngawur bicaramu! Tidak ada yang namanya arwah di sini! Tetaplah bersikap tenang sebelum kau membocorkan segalanya dengan kepanikanmu itu!"

Mendadak saja sekumpulan huruf-huruf plastik mulai ikut terbang tertiup angin. Huruf-huruf plastik tersebut berputar-putar layaknya angin puting beliung kecil. Beberapa langsung menempel pada dinding dan sisanya kembali jatuh menumpuk di lantai. Beberapa huruf yang menempel di dinding membentuk kata 'hadiah'.

"Oh, jadi huruf-huruf plastik ini adalah hadiah?" Kenny Herry menampilkan sebersit senyuman santai. "Tidak heran Audina sering mempergunakan huruf-huruf plastik ini sebagai alat peraga dalam mengajar dan membawanya pulang pergi antara rumah dan sekolah."

Kedua suami istri itu terjengat di tempat masing-masing. Wajah keduanya pucat pasi dan tampak keduanya membisu seribu bahasa.

"Hadiah dari siapa kalau aku boleh tahu, Audina?" Kenny Herry sengaja memelankan suaranya sehingga kedua suami istri itu bisa mendengarnya dengan jelas. Tampak kedua suami istri Chianago memandangi Kenny Herry dengan bola mata mereka yang terbelalak lebar.

"Apa maksudmu? Jangan bicara seolah-olah Audina ada di sini, Anak Muda! Jangan gila kau!" suara Pak Livardo mulai berdentum.

Kenny Herry hanya membalasnya dengan sebersit senyuman santai. Angin kencang datang lagi. Sekumpulan huruf-huruf plastik kembali beterbangan dan beberapa di antaranya kembali menempel pada dinding kamar. Terbentuk kata 'Qomar' di dinding. Semuanya terhenyak kaget melihat nama itu bisa muncul di dinding, termasuk juga Kenny Herry.

"Hah? Apa tidak salah itu, Ken? Qomar ada hubungannya dengan Audina Ivander yang mati bunuh diri ini!" pekik Angela lembut.

Di samping Angela, mulai terdengar jeritan dan lolongan ketidakberdayaan si arwah. Namun, yang membuat Angela bergidik adalah bukan air mata yang keluar, melainkan darah.

"Iya… Memang itu adalah kata 'Qomar' kan? Sejak awal aku memang menduga laki-laki itu ada hubungannya dengan Audina Ivander ini. Namun, sungguh tidak kusangka ternyata Qomar Shia Putra ini adalah laki-laki yang telah mencampakkannya," Kenny Herry kini memandang ke suami istri Chianago dengan tajam.

"Oke, Pak Livardo, Bu Clara Bella… Bagaimana kalian menjelaskan tulisan yang ada di dinding itu? Masih mau mengelak dan menghindar bahwa Audina tidak ada di sini?"

"Tidak! Tidak! Tidak! Tidak mungkin! Tidak mungkin!" tampak Pak Livardo mundur beberapa langkah. "Dia sudah mati! Dia mati bunuh diri! Dia sudah tidak ada! Kenapa dia masih bisa berada di sini?"

"Kematian bukanlah akhir dari segalanya, Pak Livardo. Aku rasa itu adalah hakikat dasar dari kehidupan yang harus kaupahami," kata Kenny Herry menghembuskan napasnya yang dingin nan membekukan sumsum tulang ke sepasang suami istri Chianago.

Udara dingin mengalir dan mengenai sepasang mata kedua suami istri tersebut. Keduanya memejamkan mata mereka sejenak. Begitu mereka membuka mata, penampakan arwah anak perempuan mereka dengan kondisi wajah yang sudah rata dan tulang punggung yang sudah terpatah-patah terasa begitu jelas dan nyata di depan mereka. Bu Clara Bella kontan menjerit dengan lengkingan tinggi delapan oktaf. Pak Livardo memandangi kondisi fisik anak perempuannya dengan sepasang mata yang membelalak lebar.

"Audina tidak bisa bicara lagi… Kalau dia bicara, hanya aku dan Angela yang memiliki kemampuan anak indigo yang bisa memahaminya. Oleh sebab itulah, aku menyuruhnya menggunakan media huruf-huruf plastik ini untuk berkomunikasi dengan kalian," Kenny Herry mendekati sepasang suami istri Chianago masih dengan sebersit senyuman santai di wajahnya.

"Sudah saatnya berterus-terang, Pak Livardo, Bu Clara Bella. Mungkin kami bisa membantu kalian semua menegakkan keadilan di sini. Bagaimanapun juga, Qomar Shia Putra harus bertanggung jawab atas apa yang telah dia lakukan bukan?"

"Tidak heran kau bisa menuduhku telah merebut kekasihmu, Audina…" Angela memberanikan diri berbicara dengan si arwah. Masih tampak Audina Ivander yang terisak-isak dengan tetesan darah yang mengguyur turun tiada henti.

"Kau anak jahanam! Kau menyerahkan dirimu pada laki-laki itu! Enak-enak kau melakukannya dengan lelaki itu, kau diam-diam saja! Diam-diam selama ini kau merusak nama baik keluarga ini! Diam-diam selama ini kau membawa aib ke dalam keluarga ini! Sudah hamil, baru kaudatangi kami dan kaukatakan kepada kami bahwa kau hamil! Anak kurang ajar kau!"

Pak Livardo memberikan pukulan kepada arwah anak perempuannya secara bertubi-tubi. Arwah si anak tidak melawan ataupun membalas. Hanya terdengar tangisan dan lolongan ketidakberdayaannya yang semakin menjadi-jadi. Bu Clara Bella dan Angela berusaha menghentikan gerakan-gerakan tangan Pak Livardo yang semakin kuat dan kencang.

"Hamil ya…? Jadi ke mana anak itu sekarang? Kau menggugurkannya?" tanya Kenny Herry dengan nada santai lagi.

Si arwah menggeleng. "Aku melahirkannya… Aku menginginkan anak itu, tapi aku tidak tahu bagaimana cara membesarkannya. Aku tidak tahu bagaimana masa depannya jika ia hidup tanpa seorang ayah. Aku tidak tahu bagaimana dia menghadapi masyarakat ini jika semuanya tahu ia lahir di luar nikah. Jika demikian, aku berpikir, lebih baik dia tidak punya ibu juga. Jika ia tidak mempunyai ayah dan ibu, ia hanya akan dianggap sebagai seorang anak yatim. Setidaknya ia masih memiliki kakek dan nenek yang akan membesarkannya."

Angela menyampaikan pesan si arwah kepada kedua suami istri Chianago. Tampak sinar mata sang ayah yang semakin menyala-nyala.

"Kau meninggalkan anak itu di sini, di depan pintu rumah ini! Sekarang apa kau ingin mencarinya lagi? Maaf sekali… Anak itu sudah tidak ada! Dia sudah tidak ada di rumah ini!"

Dahi Kenny Herry dan Angela berkerut mendengar pernyataan Pak Livardo.

"Jangan bercanda denganku! Jelas tidak mungkin aku akan membiarkan seorang anak haram tinggal di rumahku, yang nantinya akan merusak nama baikku! Aku tidak mau menjadi bahan perbincangan di antara para tetangga dan kalangan sesama pebisnis!"

"Jadi ada di mana anak itu sekarang?" pekik Angela lembut.

"Sudah kujual…" kini tampak sebersit senyuman mengerikan nan sinis dari raut wajah Pak Livardo.

Angela menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Terdengar lagi jeritan dan lolongan ketidakberdayaan dari arwah si gadis yang mati bunuh diri.

"Kepada siapa kaujual anak itu, Pak Livardo?" masih terdengar nada suara si malaikat biru yang santai tak bergejolak.

"Entahlah… Dia yang kenal orangnya. Aku tinggal serahkan anaknya kepada wanita setengah baya itu setelah dia transfer uang lima puluh juta ke rekeningku. Beres kan?" senyuman sinis nan mengerikan masih terpancar dari wajah Pak Livardo.

"Siapa wanita yang membeli anak itu, Bu Clara Bella? Siapa dia?" Angela terus memberondong Bu Clara Bella. Bayangan sang atasan dengan penampakan seorang anak laki-laki kecil yang terus mendorong-dorong kepalanya terus berkelebat dalam memori kesadarannya.

Bu Clara Bella hanya bisa mengangguk lirih. Mau tidak mau dia mengangkat kedua bola matanya dan menjawab, "Rekomendasi dari salah satu teman arisanku sih… Namanya Jessica… Jessica Wong… Aku sebenarnya juga tidak mengenalnya. Dia datang ke rumah melihat anak itu sebentar. Keesokan paginya, uang sudah masuk ke rekening suamiku dan dia bawa pergi anak itu."

"Kalian begitu tega! Kalian begitu tega!" terjawab sudah semua pertanyaan dan kesangsian Angela. Tanda tanya sudah berubah menjadi tanda seru. Masih terdengar lolongan dan jeritan ketidakberdayaan dari arwah si gadis yang mati bunuh diri itu.

"Anak ini bukan anakku! Dan anak laki-laki yang dilahirkannya itu bukanlah cucuku! Dia itu anak haram! Dia hanya mendatangkan aib dan mencoreng nama baik keluarga ini! Aku bisa menyingkirkannya dengan cara mudah sekaligus dapat uang yang banyak dalam semalam! Kenapa tidak kulakukan! Kenapa tidak iya kan? Benar kan? Ini namanya sambil menyelam minum air. Begitu mudah… Kenapa tidak kulakukan? Iya kan? Iya kan? Iya kan?"

Akhirnya emosi Pak Livardo mencapai klimaks. Dia pingsan dalam kegelapan yang berbintang-bintang dan langsung ambruk ke tempat tidur anak perempuannya. Si istri mulai panik dan menggoyang-goyangkan tubuh suaminya.

"Livardo! Livardo! Sadarlah, Livardo…! Sadarlah, Livardo!"

Kenny Herry mengeluarkan telepon genggamnya dan menelepon ambulans. Dia menyimpan kembali telepon genggamnya ke dalam saku celananya.

"Aku sudah memanggil ambulans ke sini, Bu Clara Bella. Tidak usah digoyang-goyang lagi. Suamimu sepertinya menderita stroke berat pada saraf-saraf otaknya. Dia kelihatannya akan lumpuh selamanya – sampai akhir hayatnya. Jangan khawatir… Masih bisa bicara dan mengenali orang kok… Makan, minum, berak, kencing semuanya masih lancar. Hanya kedua tangan dan kakinya yang sudah tidak bisa berfungsi lagi…"

"Dari mana kau bisa begitu yakin? Kenapa kau bisa seyakin itu? Siapa kau sebenarnya? Siapa kau sebenarnya?" Bu Clara Bella menatap malaikat biru Angela dengan kedua bola matanya yang terbelalak lebar.

"Aku siapa sama sekali tidak penting, Bu Clara Bella. Yang penting adalah sesuatu yang harus kauketahui ini. Memang benar apa kata Pak Livardo tadi. Dia menyelam sambil minum air… Sungguh suatu pekerjaan yang mudah; bisa menyingkirkan aib dalam keluarga kalian dan mendapatkan uang banyak hanya dalam semalam. Kenapa nggak? Iya nggak? Sayang sekali… Sayang sekali… Pak Livardo tidak tahu dia sedang menyelam di dalam air laut yang sangat asin. Semakin diminum, air asinnya akan menaikkan tekanan darahnya yang menuntunnya pada stroke hari ini. Dia akan menghabiskan uang lima puluh juta itu untuk mengobati strokenya sampai akhir hayatnya."

Kembali Kenny Herry melemparkan sebersit senyuman santai.

"Jangan khawatir, Bu Clara Bella. Lima menit lagi ambulans akan tiba di sini."

Kenny Herry berpaling ke Angela yang masih berdiri menyaksikan semua kejadian tersebut dengan tatapan nanar, "Ayo kita pergi, Gel… Sudah selesai di sini. Berikutnya kita tinggal cari atasanmu yang bernama Jessica Wong itu."

"Apa salah kami? Kenapa Livardo harus menderita stroke di sini setelah dia berusaha keras untuk menyelamatkan nama baik dan reputasi keluarga kami? Apa salah kami? Apa salah kami?" terdengar tangisan dan lolongan ketidakberdayaan Bu Clara Bella sekarang.

Kenny Herry dan Angela menghentikan langkah-langkah mereka.

"Menyelamatkan harga diri sendiri dengan mengorbankan nyawa orang lain jelas-jelas adalah hal yang salah, Bu Clara Bella…" terdengar nada suara Angela yang lirih.

"Kami tidak pernah meminta Audina melahirkan anak itu sebelumnya! Anak itu tidak seharusnya dilahirkan ke dunia ini! Anak itu akan menyusahkan banyak orang! Anak itu akan membahayakan nama baik dan reputasi keluarga kami! Anak itu patut disingkirkan!" teriak Bu Clara Bella di puncak kemarahannya.

"Anak itu juga tidak minta dilahirkan, Bu Clara Bella… Jadi, apa kalian tidak merasa kalian itu terlalu egois menyingkirkannya hanya gara-gara nama baik, harga diri, reputasi, dan tetek bengek sebangsanya? Anak itu sudah mati sekarang. Kalian telah melakukan suatu pembunuhan secara tidak langsung. Jadi, harga diri dan nama baik kalian sudah aman, sudah terselamatkan sekarang. Namun, di balik harga diri, nama baik, dan reputasi itu, ada satu harga yang harus kalian bayar dengan sangat mahal – sangat mahal dan tidak kalian sangka-sangka sebelumnya…"

Kenny Herry melemparkan sebersit senyuman lagi. Dia membawa Angela berjalan keluar. Dia menjentikkan jarinya dan kereta api magis segera berhenti di hadapan mereka. Keduanya naik ke dalam kereta api magis. Kereta api magis mulai bergerak meninggalkan kediaman keluarga Chianago.

"Maafkan Ibu, Nak… Maafkan Ibu, Nak… Maafkan Ayah & Ibu, Nak… Maafkan kami… Kami hanya melakukan yang terbaik sehingga saudara-saudaramu yang lain juga tidak terkena imbas dari aib yang kautinggalkan. Berkatilah ayahmu ini, Audina. Berkatilah ayahmu sehingga apa yang dikatakan oleh si malaikat biru tadi tidaklah menjadi kenyataan. Berkatilah dia, Audina…"

Si arwah sama sekali tidak bisa membuka mulutnya dan berbicara. Dia hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya. Perlahan-lahan, bayangannya semakin memudar dan akhirnya ia menghilang dari tempat itu. Tinggallah Bu Clara Bella dengan suaminya yang sudah tidak sadarkan diri.

"Janna! Janna! Bantu Tuan berbaring di atas tempat tidur dulu ini! Janna!" teriakan panik Bu Clara Bella berkumandang sampai ke seisi rumah.

Janna berlari-lari kecil masuk ke dalam kamar. Ia tampak terperanjat kaget melihat kondisi si tuan rumah yang sudah tidak sadarkan diri di samping tempat tidur anak perempuannya. Ia memutar kepalanya ke kiri dan ke kanan. Kedua anak muda itu sudah tidak terlihat lagi di sini. Kunci pintu pagar ada sama aku terus dari tadi. Aku belum buka tuh pintu pagar. Dari mana kedua anak muda itu keluar dari rumah ini? Janna sedikit gemetaran. Sedikit perasaan ngeri menggelimuni rangkup pikirannya. Dia cepat-cepat menepis perasaan ngeri tersebut.

Janna cepat-cepat membantu si nyonya rumah membaringkan si tuan rumah ke atas tempat tidur sembari menunggu sampai ambulans datang. Benar saja… Beberapa saat kemudian, ambulans datang. Pak Livardo digotong ke dalam mobil ambulans untuk kemudian dibawa ke rumah sakit.

ตอนถัดไป