webnovel

"Mike...

Devan tak tau maksud dari kata jarang tidur dirumah itu memang arti sesungguhnya. Sejak perbincangan malam itu, Mike tak terlihat lagi dipandangannya, bahkan ini sudah satu minggu. Devan jadi merasa tak enak, apa karena ada dirinya Mike jadi tak pulang? Tapi setelah dipikir lagi, jika tak nyaman ada dirinya kenapa ada beberapa lembar uang dengan note 'untuk belanja, buat makananmu dengan penuh gizi! Kau terlalu kurus boy.'

Devan melangkahkan kakinya di tengah hiruk pikuk keramaian, biarlah ia melepas beban dihati dan pikirannya. Hembusan nafas panjang mengawali senyum indah yang membuat beberapa wanita tersenyum girang. Tampilan Devan memang membuat orang yang menatapnya berdecak kagum. Wajah manisnya dibalut dengan jaket merah kebesaran menutupi hampir seluruh paha atasnya yang hanya memakai celana sebatas lutut. Para pria pun berkali-kali menatapnya dengan senyum mesum.

"Hey… Kau orang yang pernah ku temui di lift itukan?"

Tepukan di bahu sempitnya membuat Devan memutar badan. Seorang wanita dengan tubuh tinggi semampai ada dihadapannya. Devan merasa kecil sekarang, bagaimana bisa seorang pria sepertinya menatap dengan mendongakkan kepala kepada wanita?

"Ehmm…"

"Aku Gista… yang bertemu dengan kau dan pria seksi itu," ucapnya dengan senyum lebar sembari menjetikkan jari ke arahnya.

"Pria seksi?"

"Heem…Mike, si pria seksi no 1 di gedung apartement kita."

"Ohh…" jawab Devan dengan sedikit tak berminat.

"Ingin makan es krim denganku?"

"Heh…"

"Ayolah!"

Gista menarik tangan Devan untuk mengikutinya. Devan sebenarnya sedang ingin berjalan-jalan sendiri, tapi karena terpaksa, ia ikut saja. Lagipula ia juga tak hafal daerah ini.

"Tanganmu ternyata halus sekali ya, Ehm… siapa namamu?" tanya wanita yang masih dengan menggenggam tangan milik Devan.

"Devan."

"Wow…. Nama yang cocok sekali denganmu, terdengar imut."

"Benarkah?" tanya Devan sedikit berbasa-basi. Devan tak mau dianggap sebagai orang yang sombong, meski sebenarnya itu terlihat munafik.

"Sungguh," balasnya dengan mengayun-ayunkan genggaman tangan mereka. Gista terlihat sumringah berbanding terbalik dengan Devan yang nampak menahan malu pada setiap orang yang menertawakannya. Mereka terlihat seperti bocah SD sekarang.

Dan setelah menempuh perjalanan yang lumayan singkat, disinilah mereka berada. Duduk nyaman di sebuah kedai dengan dua mangkuk es krim berbeda rasa.

"Hemmm…. Es krim coklat selalu tak mengecewakan," lirih Gista terlihat begitu menikmati.

"Kau terlihat seperti pecandu coklat sekarang," canda Devan yang membuat keduanya menyemburkan tawa.

"Aku tak menyangka kalau kau pandai bercanda juga."

"Tidak juga."

Mereka terdiam cukup lama, sibuk menyegarkan kerongkongan di tengah terik matahari yang cukup menyengat.

"Kenapa kau sendiri, mana Mike?"

"Tak tau," jawab Devan dengan mengernyitkan dahi, untuk apa wanita itu mencari Mike?

"Apa kalian sedang bertengkar?"

"Tidak… Dia pergi dan aku tak tau ia kemana."

"Jadi kau sendirian di apartement? Bagaimana kau bisa?"

"Maksudmu?"

Devan sedikit risih sekarang, wanita ini terlihat seperti ingin tau sekali tentang Mike. Devan tiba-tiba merasa tak suka, ia sedikit cemburu, mungkin?!

"Menurutku, kau tegaslah sedikit! Pria itu harus dikasih sedikit kekangan jangan biarkan ia terlalu bebas."

Wanita itu memajukan wajah ke arahnya, Devan tak nyaman hingga membuatnya malah menyenderkan tubuh di sandaran kursi menjauhkan tubuhnya.

"Aku itu juga pria… Tapi maaf nona, aku tak mengerti maksudmu."

"Seluruh penghuni di apartement tau kalau Mike memang ya… sedikit playboy. Tapi menurutku kau itu yang paling cocok dengannya. Maafkan aku bicara yang seperti itu, bukan maksudku merusak hubungan kalian."

"Dia bicara apa? Jangan bilang kalau ia menganggap aku adalah kekasih Mike," batin Devan berteriak histeris.

"Sepertinya aku harus pergi, terimakasih atas traktirannya."

"Kau marah padaku, ya? Sungguh aku tak bermaksud membuat suasana hatimu buruk, tapi…."

"Tak apa, bisa aku pergi?"

Devan melepas pelan cekalan tangan gadis itu. Mengulas sedikit senyum yang lebih terlihat canggung.

"Baiklah, tapi ingat aku, ya! Gista no. 234 lantai 23."

Devan melenggang pergi dari kedai tersebut. Berjalan pelan dengan pikiran sibuk melayang. Devan tak tau kenapa saat Gista bicara tentang Mike hatinya berdebar sangat cepat. Rasa ini membuatnya tak nyaman.

"Kau ini kenapa Dev?" tanyanya pada diri sendiri. Jangan sampai kebaikan Mike ia sia-siakan dengan kehadiran perasaan konyol yang ada di hatinya. Ia tak mau lagi kejadian lama terulang. Sudah bagus ia ditampung, jangan ada sifat tak tau diri dengan berharap lebih!

Bersyukur pada dirinya yang masih hafal letak jalan pulang. Sebentar, jalan pulang? Bahkan sekarang ia menganggap apartement itu sebagai rumahnya?

Menghembuskan nafas panjang, berusaha menghilangkan pikiran-pikiran yang semakin membuatnya bingung. Devan sedikit merutuki sifatnya yang gampang sekali terbawa suasana. Sepertinya ia butuh tidur sekarang. Memencet kode keamanan yang telah dituliskan Mike pada note tertempel di kulkas. Melangkah masuk dan langsung mengarahkan kakinya ke kamar yang ia tempati sebelum suara seseorang mengintrupsinya. "Kau darimana?"

Degg…

Pandangan Devan menyusuri setiap ruangan hingga matanya bertemu dengan mata tajam yang sedang fokus menatap layar ponsel. Tubuh besarnya berbaring di sofa yang akhirnya pandangan itu teralih ke arahnya.

"Mike... kau kembali?" tanya nya dengan senyum lebar menghiasi wajah manisnya. Devan tak menampik, ia merasa bahagia sekali sekarang. Dadanya bergemuruh, suhu badannya secara drastis naik beberapa derajat.

"Tentu, inikan masih tempatku," jawab Mike dengan mendudukkan diri di tempatnya. Tangannya terangkat mengkode Devan untuk mendekat.

"Oh ya…"

Dengan langkah pelan ia berjalan mendekat dan mendudukkan badannya sedikit menjaga jarak dengan Mike.

"Kau darimana? Ku pikir kau sudah pergi."

Devan menggigit pipi dalamnya gemas saat secara tiba-tiba Mike mendekatkan tubuhnya hingga membuat lengan mereka bersentuhan. Devan hampir melupakan cara bernafas saat tangan itu mengacak rambutnya.

"Kau memakai shampoo ku? Wanginya ku rasa tak cocok untukmu."

Devan mengangkat pandangannya dan entah seberapa dekat mereka hingga membuat hidung keduanya bersentuhan. Cepat-cepat Devan mengalihkan pandangannya, ia tak ingin sikapnya membuat Mike tak nyaman terhadapnya.

"Apa aku membuatmu kehilangan privasi?" tanya Devan dengan menundukkan kepala. Ia harus lebih menahan sikap sekarang, bagaimanapun ia masih membutuhkan bantuan Mike untuk terus melanjutkan hidup.

"Kenapa kau mulai lagi," balas Mike dengan gemas mencubit pipi mulus Devan.

"Maaf."

Devan mencebikkan bibir bawahnya. Cubitan Mike cukup sakit bahkan meninggalkan bekas kemerahan di pipi kirinya. Mike hanya terkikik geli melihat betapa menggemaskannya Devan sekarang.

"Hemm…. Kostum itu cocok untukmu. Kau terlihat manis," goda Mike dengan menaik-turunkan ke dua alis.

"Hah… Apa kau menyindirku? Aku baru saja meminjam jaket ini, apa kau mau aku langsung mencucinya?"

Mike hanya meringis pelan mendapat jawaban Devan. Ia tak menyangka secepat itu perubahan sikap Devan.

"Kenapa kau selalu salah paham terhadapku, sih?!"

Mike tau sekarang, bahkan hanya dengan berbincang beberapa kali dengannya ia sudah menyadari sifat Devan yang masih ke kanak-kanakkan. Ia gampang sekali berubah emosi yang seringkali membuat Mike tercengang. Dan fakta baru lagi, ia mudah sekali berspekulasi hingga membuatnya seringkali berburuk sangka.

"Wajah datarmu yang selalu membuatku salah paham."

"Benarkah? Tapi kenapa orang-orang malah berpikir aku bertambah seksi?"

"Sesukamu!"

Mike tertawa terbahak-bahak, tangannya menarik bahu sempit itu ke arahnya. Mendekap erat sekali lagi tangannya tak bisa diam hingga membuat rambut Devan jadi tak terbentuk.

"Kenapa tidak ada makanan, apa kau sudah makan?" tanya Mike dan secara tiba-tiba kepalanya tersampir di bahu sempit Devan.

"Belum," jawab Deva sedikit gugup. Devan harus bersikap biasa, bukankah ini biasa dilakukan oleh sesama pria?

"Kenapa tak memesan makanan yang bergizi saja, bukankah aku sudah meninggalkan cukup uang? Seminggu makan telur terus apa tidak muak?"

"Kau tau?" balas Devan dengan menolehkan pandangannya pada Mike.

"Hemm… Saat tubuhmu berubah jadi tulang kau baru tau rasa."

"Kenapa aku berpikir kalau kau seperti mengkhawatirkanku, ya?" ucap Devan dengan nada menggoda, bahu yang digunakan untuk Mike bersandarpun digoyang-goyangkan hingga membuat Mike menggeram kesal.

"Ya... setidaknya itu terlihat seperti bercandaan dua pria, kan?" batin Devan menenangkan.

ตอนถัดไป